Ust. Nurbani Yusuf Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah di Ranting Gunungsari Kota Batu dan Ustaz di Komunitas Padang Makhsyar yang Tinggal di Batu, Malang.

Perbedaan Kecil antara Khilafah dan Imamah ala Syiah

1 min read

Jika khilafah di Indonesia tegak, siapakah yang paling pantas menduduki kursi khalifah itu?

Apakah seorang yang ma’shūm menjadi salah satu syarat calon khalifah untuk dianggap pantas menduduki tahta suci khalifah?

Konsep khilafah masih debateble—banyak yang pro, pula banyak yang kontra. Dan banyak pula dipolitisisasi dan tumpang tindih baik konsep maupun data. Apalagi kemudian masuk pada wilayah yang sangat politis.

Khilafah itu adalah sistem teokrasi yang menjadi antitesis demokrasi. Pada sistem Khilafah suara rakyat bukan suara Tuhan. Suara rakyat tidak lagi menjadi ukuran dan penentu siapa yang bakal memimpin. Kebebasan memilih tiada ada lagi, sebab telah diwakilkan pada syura. Pada majelis itulah semua mekanisme pemilihan, syarat dan pertanggungjawaban khalifah ditetapkan.

Jadi tak ada musyawarah untuk mufakat apalagi kampanye atau coblosan. Pesta demokrasi dibuang. Hak rakyat untuk memilih ditiadakan, sebab khilafah bukan urusan rakyat. Khalifah tidak bertanggungjawab jawab kepada rakyat tapi dewan atau majelis syura.

Periodesasi jabatan juga tiada, mau dua, tiga atau seumur hidup—sebab khalifah itu ‘ma’shum’ tidak boleh atau tidak bisa dipersalahkan. Khalifah itu bersandar Nubuwah jadi tak ada kritik apalagi impeachment karena kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Demo juga tak boleh sebab rakyat tak patut bicara urusan khilafah.

Ini bukan pertanyaan mengada-ada tapi lazim diajukan dalam sebuah kerja politik, menegakkan khilafah adalah realitas agar tidak terjadi semacam beli kucing dalam karung.

Sebagai muslim saya juga berhak bertanya bagaiamana Majelis Syura dibentuk — siapa saja mereka dengan cara apa dipilih. Hal ini sangat urgent mengingat majelis syura inilah yang berkewenangan memilih, mengangkat dan menetapkan khalifah untuk masa yang tidak terbatas.

Tegasnya, model Khilafah mematahkan semua perangkat demokrasi. Kekuasaan bukan lagi di tangan rakyat, tidak lagi ada musyawarah mufakat, tidak ada lagi Pilpres, Pileg dan Pilkada yang dianggap sebagai sumber masalah. Khilafah bukan urusan umat, tapi nubuwah itu kata kuncinya.

Baca Juga  Nietzsche, Aku dan Kejengahan terhadap Sikap Chauvinistik Gerakan Sosial

Menurut salah satu pandangan dalam doktrin Imamiyah, bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah dari kemaslahatan-kemaslahatan umum yang diserahkan kepada pertimbangan umat, dan yang mengendalikan urusan itu diangkat dengan pemilihan. Tetapi imamah itu adalah suatu rukun agama, suatu aqidah, tidak boleh Nabi membiarkannya dan menyerahkannya kepada umat.

Penganut paham Syiah Itsna ‘Asyariyyah berpendapat bahwa para imam diketahui bukan melalui sifat-sifat mereka, melainkan penunjukan orangnya secara langsung. Kepemimpinan ‘Alī bin Abi Thālib–‘Alī menjadi imam adalah melalui penunjukan Nabi Muhammad saw kemudian dia menunjuk penggantinya berdasarkan wasiat dari Nabi Muhammad yang disebut al-awshiya–para penerima wasiat.

Syiah Imamiyah telah sepakat bahwa keimaman ‘Ali ra telah ditetapkan berdasarkan nash yang pasti dan tegas dari Nabi saw, dengan menunjuk langsung dirinya, bukan dengan penyebutan sifat orangnya, tidak dikampanyekan, tidak dimusyawarahkan, apalagi dipilih lewat voting di bilik suara, mekanisme al-awshiya–diyakini dapat meminimalisir konflik dan perpecahan sebagaimana sistem demokrasi yang kerap memproduksi keributan.

Saya tidak akan menarik benang merah perbedaan dan kesamaan khilafah yang diusung HTI, FPI atau ISIS dan Imamah yang diyakini Syiah Imamiyah Istna’ Asy’ari dalam satu kerangka konseptual ideologis dan politis — tidak ada penilaian baik dan buruk apalagi benar dan salah, sekali lagi saya hanya penikmat fenomenologi.

Ust. Nurbani Yusuf Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah di Ranting Gunungsari Kota Batu dan Ustaz di Komunitas Padang Makhsyar yang Tinggal di Batu, Malang.