Salah satu buku yang memberi andil cukup penting dalam membangun kesadaran intelektual dan moral saya adalah Nietzsche karya St. Sunardi. Buku inilah gerbang pertama di mana saya dengan penuh kegairahan dan kegilaan menikmati buku-buku Nietzsche lain.
Masih teringat, saat membaca buku ini pertama kali, saya seperti orang kesurupan, gemeteran dan melayang. Saya seperti dirasuki roh Nietzsche hingga imajinasi saya sedemikian kuat membayangkan bagaimana ia gemetaran sujud di depan altar sebagai calon imam hingga menanggalkan jubah keimanannya dan berteriak “Tuhan Telah Mati”!.
Beberapa malam saya tak bisa tidur nyenyak. Semesta kebenaran yang sealama ini nyaman saya tempati tetiba hancur lebur. Sekalipun saya saat itu lebih banyak membatinkan Nietzsche dalam konteks keagamaan saya, melalui Nietzsche saya menggairahi pemikiran “Post-Postan” yang membongkar mitos esensialisme yang terpaku-bakukan di atas pondasi kebenaran universal.
Melalui jalan Nietzsche pula saya akhirnya berkenalan dengan konstruktivisme. Baik sebagai pendekatan maupun teori, konstruktivisme memang “seksi” sehingga nyaris tidak ada akademisi yang tidak mewiridkannya. Bahkan tidak sedikit aktivis gerakan sosial yang turut bergenit-genit melafalkannya.
Namun, pengalaman saya sejauh ini (tepatnya, sependek ini) menemukan hanya sedikit orang yang sunggu-sungguh menyadari konsekuensi dari pendekatan ini. konstruktivisime meletakkan dirinya sebagai penantang esensialisme yang selama ribuan tahun membuat manusia merasa sebagai makhluk yang telah menemukan kebenaran. Bahkan sebegitu yakinnya atas kebenaran yang telah digenggamnya itu hingga perang dan pemusnahan dilakukan atas nama kebenaran esensialis itu.
Konstruktivisme menolak adanya kebenaran universal yang diyakini ada begitu saja, sudah dari sononya. Menurut konstruktivisme, apa yang kita peluk sebagai kebenaran hanyalah ide-ide dan definisi-definisi, sebuah regulator potensial tentang berbagai cara di dalam mana sesuatu didefinisikan dan dipahami.
Ide secara terus menerus diproduksi, diubah, dan dimodifikasi. Tidak ada kebenaran yang fixed di dalam dirinya sendiri sebagaimana yang diyakini para esensialis yang tidak bisa mengenali bahwa kebenaran itu dikontruksi.
Oleh karena itu, maka ide dan pengalaman kebenaran juga selalu dalam perubahan. Yang disebut sebagai benar tidak merujuk pada sebuah fondasi universal yang absolut, tapi merupakan satu ide spesifik dalam budaya dan periode sejarah tertentu. Kebenaran terbentuk secara historis.
Berbagai kategori dan konsep yang kita terima apa adanya dan kita anggap sebagai natural, kokoh, dan pasti sesungguhnya adalah label-label yang bersifat historis dan sosial. Intinya, tidak ada kebenaran dan pengalaman akan kebenaran yang bersifat esensial, semuanya dikonstruksi dalam sejarah tertentu.
Coba, betapa “menakutkannya” perspektif konstrutivis ini. tidak banyak orang yang sanggup menerima bahwa sebetulnya dirinya tidak memegang apapun dalam hidup ini, selain kebenaran yang dibangun di atas “prasangka” zaman. Di saat banyak orang yang meletakkan dirinya sebagia pusat kebenaran sambil tangannya menuding-nuding orang atau kelompok lain sebagai salah, jahat, immoral, abnormal, dsb, ternyata selruuh kategori itu sepenuhnya constructed.
Saya bilang banyak orang yang tidak sanggup menanggung konsekuensi pendekatan konstruktivis sekalipun gemar mewiridkannya, adalah karena begitulah beberapa kali pengalaman yang saya temukan. Di sebuah sidang akademik, beberapa orang professor dan doktor yang selama ini berbangga dengan teori konstruktivisme dalam kajian-kajian akademiknya, mendebat seorang kandidat doktor yang sedang mengangkat tema transgender.
Menurut para akademisi agung itu, individu transgender bisa “dinormalisasi” karena hal itu hanyalah konstruksi sosial. Sebagai yang paling junir, saya lama terdiam hingga akhirnya tidak tahan dengan mengatakan bahwa identitas gender yang kita miliki dan kitang anggap sebagai normal ini pun sebetulnya adalah constructed.
Inilah yang saya katakana bahwa orang bisa mewiridkan teori konstruktivisme, tapi tidak sanggup menanggung akibatnya. Bahkan tidak jarang menyalahgunakannya untuk menghakimi orang lain sebagai korban konstruksi dan meletakkan dirinya sebagai individu otentik. Dia tidak sadar bahwa dirinya juga adalah hasil kontruksi, dan bahwa konsep “normal”, “otentik”, “benar” dsb adalah konsep yang lahir dan memiliki maknanya dalam penggal sejarah tertentu.
Apakah penyakit ini hanya ditemukan di kampus? Tidak. Di gerakan sosial kita juga dengan mudah menemukan para aktivis yang berpandangan esensialis ini, sekalipun mungkin gemar diskusi teori-teori poststrukturalisme, konstruktivisme, hingga dekonstruksi ala Derrida.
Coba lihat seorang aktivis yang mengambil salah satu isu dalam gerakannya, tiba-tiba dunia yang sangat beragam ini dilipat hanya menjadi satu isu sebagaimana pilihan gerakannya. Dunia diesensialisasi. Tidak ada sudut pandang lain yang dibiarkan memberi makna dan arti. Di luar isunya, tidak ada. Atau, boleh ada, tetapi keberannya harus sesuai dengan standarnya
Chaunisime itu selalu memuakkan. Tak peduli dipraktekkan politisi, akademisi, maupun aktivisi sosial.
Salam penutup, “Kami telah menghapus dunia sejati, dunia apa yang tersisa”? Nietzsche. (mmsm)