Himbauan Presiden Joko Widodo untuk beribadah di rumah, bekerja, dan belajar dari rumah telah dimulai sejak pertengahan Maret 2020 sebagaimana dilansir oleh media CNN tanggal 15 Maret 2020. Akibat yang mengikuti himbauan tersebut adalah semua kegiatan praktis dilakukan di rumah, dan hanya keluar saat mendesak saja.
Rumah, saat ini menjadi masjid, menjadi surga, meminjam istilah Prof. Ali Aziz, Baiti Masjidi Baiti Jannati.
Pada kesempatan yang kebetulan oleh Allah diarahkan untuk menemukan surga di rumah, marilah kita sejenak memperhatikan rumah masing-masing. Manusia sebagai khalifah di muka bumi seyogyanya mempertimbangkan segala sesuatu dengan tanggungjawabnya sebagai pemimpin. Rumahmu apakah sudah engkau atur sedemikan rupa dengan penuh tanggungjawab?. Rumah yang didirikan di atas bumi harusnya tidak dibangun dengan angkuh dan semena-mena terhadap bumi. Rumah harus dibangun dengan ramah. Rumah ramah bumi dapat dicapai dengan mengikuti kaidah bangunan gedung hijau.
Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki peraturan dalam membangun, yaitu mengikuti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat no. 02/PRT/M/2015 tentang Bangunan Gedung Hijau (selanjutnya disebut BGH). Peraturan mengenai BGH menjadi bukti kehadiran serta komitmen pemerintah dalam menjaga dan merawat bumi. IPCC Fourth Assessment Report on Climate Change 2007 menyatakan bahwa pada tahun 2030, diperkirakan 1/3 total emisi CO2 dunia berasal dari bangunan gedung, dengan penyumbang terbesar dari negara-negara di Asia.
Agak menyedihkan memang. Kabar baiknya adalah, jika peraturan bangunan dan standar diterapkan dengan baik akan menjadi salah satu instrumen pengurangan emisi yang ramah lingkungan dan hemat biaya. Tentu ini berlaku pula untuk rumah, dengan bonus demografi di Indonesia yang menyumbang potensi akan kebutuhan rumah yang semakin tinggi. Penerapan BGH untuk rumah yang akan dibangun, maupun penyesuaian atau retrofit pada rumah yang telah dibangun menjadi penting.
Bangunan gedung hijau (BGH). Apakah yang ada dipikiran anda mengenai ini? Gedung yang warnanya hijau kah? atau gedung yang banyak tanaman dan bunga nya?.
Permen PUPR No.02/PRT/M/2015 menjelaskan bangunan gedung hijau adalah bangunan yang memenuhi persyaratan bangunan gedung dan memiliki kinerja terukur secara signifikan dalam penghematan energi, air, dan sumber daya lainnya melalui penerapan prinsip BGH sesuai dengan fungsi dan klasifikasi dalam setiap tahapan penyelenggaraannya. Sederhananya, BGH adalah bangunan yang memenuhi kaidah-kaidah hemat energi, air, dan sumber daya lainnya.
Rumah dan gedung dengan skala kecil memang tidak wajib, istilahnya bukan mandatory untuk menerapkan kaidah bangunan gedung hijau, tetapi tidak ada salahnya untuk diikuti sebagai wujud sumbangsih kita terhadap kelestarian bumi. Bandung menjadi kota pertama di Indonesia yang memberlakukan insentif dan penyertaan bangunan hunian skala kecil untuk mengikuti kaidah bangunan gedung hijau.
Menurut analisa perhitungan IFC berdasarkan data pemkot Bandung per Juni 2019 dari 3.001 bangunan yang memenuhi ketentuan peraturan berpotensi menurunkan emisi CO2 sebesar 57.440.000 ton serta potensi penghematan biaya tagihan listrik tahunan hingga $ 7.500.000. Prediksi penghematan lain, total potensi penghematan kota Semarang hingga tahun 2030 dapat mencapai lebih dari Rp 1.400 Miliar untuk penghematan listrik, lebih dari 112 Miliar untuk penghematan dari air, serta lebih dari 932.000 ton penurunan emisi CO2.
Sila membayangkan jika rumah kita mengikuti ketentuan BGH, maka pengeluaran untuk biaya operasional rumah baik listrik, dan air akan juga dapat dihemat. Apalagi dalam masa pandemi yang diprediksi selesai Juni hingga akhir tahun 2020, seluruh kegiatan dilakukan di rumah, maka bisa dipastikan biaya operasional rumah juga meningkat.
Ketentuan peraturan bangunan gedung hijau idealnya diimplementasikan saat akan membangun hunian mulai dari perencanaan hingga tahap pelaksanaan konstruksi. Prinsip bangunan gedung hijau setidaknya meliputi 7 aspek yaitu pengelolaan tapak, efisiensi energi, efesiensi air, kualitas udara dalam ruang, material ramah lingkungan, pengelolaan sampah, serta pengelolaan limbah.
Jika anda berencana untuk membangun rumah, semoga ini bisa menjadi pertimbangan. Tetapi jika anda sudah ‘kadung’ terlanjur punya rumah, ini menjadi penilaian mandiri saja, lalu perbaikilah apa yang bisa diperbaiki.
Aspek pertama ketentuan BGH yaitu pada pengelolaan tapak. Dalam merencanakan rumah kita sering kali mempertimbangkan mengenai orientasi bangunan terhadap posisi matahari agar kita tahu kapan rumah kita mendapatkan sinar matahari dan menjadi panas. Pertimbangkan pula bagaimana sirkulasinya, adakah lahan terbuka hijau, dan bagaimana sistem pencahayaan serta penghawaan. Perencanaan yang baik pada tapak akan berdampak pada efisiensi energi dari penggunaan listrik akibat pemakaian penerang maupun pendingin ruangan.
Pengelolaan tapak yang baik akan menyumbang hampir 50% penghematan jika diasumsikan penggunaan penerang dan pendingin ruangan hanya digunakan selama 12 jam dari sore mulai tenggelam matahari hingga terbit matahari. Selain itu dengan pengelolaan tapak yang baik akan menjamin ketersediaan udara yang berkualitas karena mudahnya udara berganti dalam ruangan.
Efisiensi air diwujudkan dalam penyediaan penyimpanan air mandiri dan meminimalkan penggunaan air tanah. Penggunaan material ramah lingkungan dapat dicapai dengan penggunaan material yang telah dinyatakan ramah lingkungan (eco labeling: recycled, eco friendly, and organic). Selain itu, kita juga perlu mempertimbangkan bagaimana pengelolaan sampah dan bagaimana pembuangan limbah rumah tangga.
Dengan mengikuti seluruh atau beberapa ketentuan bangunan gedung hijau (BGH) sebagaimana yang telah diuraikan, semoga kita semua termasuk hambanya yang amanah. Amanah karena telah berusaha memanfaatkan sumber daya yang dipercayakan Allah kepada kita dengan baik dan penuh tanggung jawab. Bukankah amalan sebesar dzarrah-pun akan ada balasannya?