Koyo ngene rasane wong nandang kangen
Rino wengi atiku rasane peteng
Tansah kelingan kepingin nyawang
Sedelo wae uwis emoh tenan
Cidro janji tegane kowe ngapusi
Nganti sprene suwene aku ngenteni
Nangis batinku nggrantes uripku
Teles kebes netes eluh neng dadaku… Hok a Hok e…
***
Ambyar!!! Ambyar sak Ambyar Ambyare… !!! Obituari Sang Maestro menghentak tak perlu permisi. Hati siapa yang tidak kehilangan? Yah, ini yang namanya ditinggal pas lagi sayang-sayangnya Pak Dhe.
Saya kira lagu Pak Dhe Didi Kempot ini tidak hanya berdendang di ruang akademik, kampus, pasar tradisional, mall papan atas, stasiun televisi nasional, lokal bahkan di pedalaman Sumatera, Kalimantan, lintas suku. Pernah sahabat-sahabat di luar negeri dari Amerika dan Eropa berkata kepada saya, “cak, kalau saya kangen Indonesia, sesekali dengerin lagunya Didi kempot”. Spontan saya menimbali, “kalau saya dengerinnya di bus trayek Jogja -surabaya, bahkan saat ikut gali kuburan kadang di putar itu lagu Didi Kempot.”
Dugaan saya, sekalipun di militer yang ketat begitu, pesantren yang sakral, bahkan di Istana Presiden yang masyallah elit itu, jika lahu ini diputar sedang kalau mereka tak ikut bergoyang, maka dipastikan minimal kaki dan tangannya ikut gerak-gerak sendiri, mengayunkan dengan otomatis, ibarat suara hati yang terpantul dalam gerakan. Hah mbok yakin. Ada kabar, dalam penjara para jihadis pun suka dengan lagu-lagu itu, mungkin karena ambyar kali yah.
Didi kempot, dalam sudut tertentu, mewakili wajah psikologi massa bangsa Indonesia yang sedang banyak di landa patah hati. Tidak hanya terkait percintaan dan sayang-sayangan, tetapi juga patah hati oleh berbagai keadaan dan kondisi. Segmennya luas, misalnya, sahabat-sahabat saya yang tak kunjung berkuasa, mereka yang tak kunjung bisa merealisasikan ide-ide untuk berpihak pada rakyat, hingga mereka yang tak kuat melihat para pimpinannya begitu-begitu saja. Mereka merefleksikan dengan obat suntik sementara yang bernama obat nyanyian lagu ambyar. Yah, pada siapa lagi bersandar kalau tidak pada sang Maesto, The Godfather of Broken Heart.
Secara pribadi, lagu-lagu nya itu, apalagi di warnai dengan bossanova Java, sungguh sangat menarik untuk diulas dalam beberapa evaluasi kedalam diri sendiri. Bahkan dalam sisi tertentu, meski kadang lagunya tampak tidak sesuai dengan kenyataan hati dan perasaan, tetap saja lagunya punya magnet tersendiri, ia mencoba mengajak, melipir, serta mengacak-acak ruang rindu kelembutan hati. Dari sinilah pribadi kita membaca fungsi lagu dalam relaksasi diri sendiri.
Jadi, dalam hal selera lagu, terkadang kita tak bisa memilih dengan sangat sederhana, ia datang sebagai suguhan yang tertata di meja alam pikiran dan perasaan, begitu sebaliknya. Lagu membawa kita pada taraf visi misi tertentu. Namun, ia juga bisa membawa keindahan dan kebahagiaan dalam sisi lainnya. Ada sebuah adagium, “kalau kata-kata itu muncul dari hati, pasti dia akan membekas dalam hati.”
Selamat Jalan Pak Dhe. Alfatihah buat jenengan. Berat memang, tapi kita dipaksa ikhlas. Kita harus belajar pada manusia yang konsisten dan Istiqomah berkesenian seperti ini!
[HM]