Hampir setiap Muslim di Indonesia, bahkan di semua negeri Muslim, pernah belajar bahasa Arab (karena harus mengaji Alquran), mengucapkannya, dan bahkan tidak sedikit yang bisa fasih Bahasa Arab.
Generasi tahun 70-an atau 80-an (generasi saya), kami belajar bahasa Arab di Madrasah, di tempat ngaji, di Surau, di Musala, dan di Pesantren. Selain SD Negeri, saya juga masuk madrasah Daarul Ma’arif sore hari karena persiapan mau masuk Pesantren.
Di Pesantren, kami diwajibkan ngomong bahasa Arab setiap hari. Saya senang dengan bahasa Arab dan bisa berbicara Arab Fushah dengan cukup baik. Di masa-masa itu, kami anak-anak remaja/muda Muslim sering berbahasa Arab dan senang juga zikir-zikir termasuk kalimat Tahlil “Lā Ilāha illā Allah”.
Pakai sarung dan peci, kami memeluk Alquran di dada kami. Tetapi, bahasa Arab, ke-Arab-an, Alquran yang kami baca, dan zikir-zikir kalimat thayyibah tidak pernah kami “benturkan” dengan negara dan masyarakat. Kegiatan itu adalah kegiatan kultural, kegiatan sehari-hari sebagai Muslim Indonesia.
“Kita adalah anak kandung tradisi dan kebudayaan tempat kita lahir dan berkembang”, begitu kata cendekiawan Muslim. Ulama dan kiai-kiai dulu juga banyak sekali yang menulis kitab atau surat dalam bahasa Arab atau tulisan Arab Pegon. Tidak pernah terpikir oleh kami kegiatan bahasa Arab, mengaji Alquran, dan kalimat Tahlil itu kami anggap sebagai “ideologi” yang harus “tabrakan” dengan negara dan masyarakat. Itu berlangsung lama sekali dalam praktik Islam Indonesia.
Memang ada kelompok kecil, kecil sekali, yang sayup-sayup membawa ideologi “negara Islam” atau “politik Islam” saat itu, tapi tiarap entah di mana karena harus berhadapan dengan moncong senjata tentara Orde Baru. Kelompok itu kecil sekali dan takut berhadapan dengan negara dan publik secara luas.
Tetapi, dalam 20 tahun terakhir, pelan tapi pasti, muncul kelompok-kelompok Muslim, semakin hari semakin banyak, berbicara bahasa Arab dan membawa kalimat Tahlil “Lā Ilāha illā Allah” dengan motif politik yang mau “tabrakan” dengan negara dan masyarakat Muslim selain mereka.
Bahasa Arab dan Tahlil itu jadi jargon politik yang eksklusif. Kalau tidak ikut idiom-idiom Islam dan bahasa Arab mereka, kami dianggap bukan Muslim “yang murni”; kami Muslim “yang najis”.
Tiba-tiba kami merasa “asing” dengan bahasa Arab mereka. Bahasa Arab kami yang tadinya inklusif, menyatu dengan urat nadi budaya Indonesia, kini jadi kampanye Khilafah—atau apa pun namanya—yang mau “mencabut” akar-akar Islam Indonesia, yang puluhan tahun kami cium dan peluk.
Bahasa Arab kami dan mengaji Alquran kami yang kultural, yang dengan itu puluhan tahun kami hidup damai berdampingan dengan berbagai budaya, agama dan keyakinan, kini jadi “Bahasa Arab Politik” dan “Aquran Politik” yang tidak semata mau menurunkan “garuda Pancasila” karena dianggap “thāgūt” alias berhala, tetapi juga mendorong fanatisme beragama yang tertutup, dan mendorong segregasi dan perpecahan di negeri ini.
Karena itu, Ketika Saiful Mujani (SM), ilmuwan hebat ahli ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyampaikan orasi kebangsaan “Merajut Kebinekaan Kita Sebagai Negara-Bangsa” (18 Agustus 2020) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan di akhir orasi menyampaikan kegelisahannya tentang “keislaman yang dikonsumsi publik secara luas berupa Arabisasi Islam dan Arabisasi Indonesia”, sesungguhnya kegelisahan itu adalah kegelisahan kita semua, sebagian besar kita.
Saya yakin yang dimaksud Arabisasi Islam dan Arabisasi Indonesia adalah pertama, “Arabisasi politik”, karena Arabisasi kultural sejatinya tidak bisa dilepaskan dari (dan telah lama jadi praktik) Islam Indonesia. Kedua, menganggap Bahasa Arab dan ke-Arab-an satu-satunya yang paling autentik untuk Islam. Ekspresi, cara dan bentuk-bentuk budaya lain dalam mempraktikkan Islam (di luar ibadah mahdah), selain Arab, dianggap tidak atau kurang autentik.
Padahal Nabi sendiri menegaskan “tidak ada keistimewaan Arab dan non-Arab kecuali kualitas takwanya”. Tentu saja, Tuhan yang Mahaagung “memahami” bahasa dan ekspresi semua umat manusia.
Menurut SM, Islam tidak identik dengan Arab. Islam universal, sementara budaya Arab adalah lokal. Islam Indonesia tidak harus mengikuti budaya Arab. Berislam dengan budaya Indonesia (ekspresi Indonesia) seharusnyalah yang dikembangkan oleh Muslim Indonesia. Tentu saja, dalam pengertian ini, dulu Gus Dur menegaskan bukan berarti “mengganti bacaan salat dan bahasa Alquran dengan bahasa Indonesia”.
SM menekankan berkali-kali “Pribumisasi Islam” warisan Gus Dur dan “Islam yang cerah”, “Islam modern”, “Islam terbuka”, “Islam berkeadaban” warisan Cak Nur, yang seharusnya diteruskan dan dikembangkan di kampus-kampus Islam “untuk memperkuat produk pemikiran Islam, dan untuk merajut kebinekaan kebangsaan kita secara kolektif”, kata SM.
Kritik SM itu masih sangat relevan hari ini, dan tidak mesti dianggap ia “anti-Arab”. [MZ]