Rindang Farihah dalam forum isu strategis perempuan dan anak pada Temu Nasional Gusdurian 2020, menyampaikan perihal perkawinan anak, nikah siri, dan perceraian. Ia mengatakan “Saya menyuplai data dari teman- teman pustaka yang sudah melakukan riset bersama BPS dan Bappenas UNICEF yang baru dilaunching 2020 tentang pencegahan perkawinan anak, percepatan yang tidak bisa ditunda,” tegas Rindang pada diskusi online Kamis (10/12) Siang.
Jadi realitanya menurut riset itu 1 dari 9 anak menikah di Indonesia menikah di usia dini. Perempuan yang menikah dibawah usia 18 tahun tahun 2018 diperkirakan mencapai 1.220.900 dan angka ini menempatkan Indonesia sebagai sepuluh negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia.
Kemudian jika perkawinan anak dikaitkan dengan kesehatan, disini mereka menemukan bahwa praktek inisiasi menyusui dini lebih banyak dilakukan oleh mereka yang menikah diusia 20 tahun keatas. Termasuk juga bagaimana mengakses layanan kesehatan itu juga lebih banyak diakses oleh mereka yang menikah diatas 18 tahun, ini realitanya.
Kemiskinan menurut mereka itu memang merupakan faktor perkawinan anak, tapi pada dasarnya hal itu bukanlah faktor satu satunya. Dikarenakan angka ini menyebar di seluruh Indonesia. Tidak hanya di pedesaan tetapi juga terjadi diperkotaan.
Sedangkan, terkait pernikahan siri yang disampaikan oleh Alissa Wahid yang berkaitan dengan usia anak, harus dilihat pula bagaimana tokoh agama atau oknum aparat kemudian melakukan keliling daerah terpencil, sebenarnya yang mereka lakukan sudah menambah angka perkawinan anak. Ini tentu bisa diartikan sebagai upaya menyembunyikan fenomena nikah anak yang seharusnya kita bongkar.
Lebih lanjut, Rindang mengatakan bahwa kalau menyoal terkait korban perkosaan yang selama ini seringkali dinikahkan dengan pelakunya, ini juga persoalan yang lain lagi. Kemudian saya setuju ketika keluarga menjadi pintu masuk kita dalam strategi menyelesaikan persoalan sosial ketika terjadi di komunitas, negara karena adanya kasus radikalisme, intoleransi, KDRT, broken home dan semuanya yang itu berkaitan dengan keluarga.
Jadi keluarga adalah inti dari masyarakat yang selama ini masyarakat kita itu selalu menaruh harapanya pada ibu, istri atau perempuan sehingga seolah-olah ketika terjadi persoalan rumah tangga, persoalan anak dianggap menyimpang tidak benar. Seolah ibu orang pertama yang harus tanggung jawab.
Perspektif yang berakar pada dunia patriarki ini yang seringkali menyudutkan perempuan atau ibu. Pendidikan dan peningkatan wawasan itu merupakan kunci strategi utama sebagai proses untuk membangun sebuah kesadaran.
Pertama, Rindang mengatakan bahwa yang bisa kita lakukan adalah memberikan kapasitas kepada teman- teman Gus Dur, khususnya untuk kalangan internal teman- teman Gusdurian. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, kesetaraan gender, mengetahui dan mengenali fungsi alat reproduksi dan dampak yang diterima akibat ketika ada praktek ketidakadilan gender, stigma, hal- hal yang tabu termasuk pengalaman khas- khas perempuan merupakan suatu diskursus yang harus diperdalam pemahamannya.
Kedua, mempromosikan nilai- nilai kemanusiaan, kesetaraan dan kemaslahatan sesuai yang diajarkan Gus Dur bahwa kemaslahatan adalah tujuan dari seluruh praktek kehidupan yang dijalani oleh umat manusia.
Ketiga, mengadakan kelas-kelas pra nikah menjadi program yang intens dengan konsep yang lebih inovatif, lebih kekinian, lebih millineal dan ini basisnya lintas iman. Ini hanya bisa terjadi kalau kita melakukan kerja sama dengan beberapa komunitas, beberapa organisasi kemasyarakatan dan keagamaan.
Sedangkan, untuk khalayak umum, Gusdurian perlu menggandeng remaja sebagai sasaran utama melakukan intervensi. Selain dengan orang tua itu juga penting. Dan kebijakan pemerintah dalam memberikan perlindungan jaminan khusus remaja dan anak itu juga penting. [AA]
Pewarta: Suci Amaliyah