Mungkin masih pekat di rerimbun ingatan, pada awal pekan kedua April 2020, nurani kesadaran kita dilumatkan dengan berita penolakan pemakaman jenasah seorang perawat positif Corona di Taman Pemakaman Umum Sewakul, Ungaran Timur, Semarang, Jawa Tengah. Juga, bantuan sosial yang hanya diperuntukkan untuk kelompok agama-agama tertentu. Contoh-contoh miris semacam ini adalah fenomena masyarakat yang terpolarisasi, lantaran, untuk derajat yg tinggi, memuliakan primordialisme sempit. Sebuah cerminan dari masyarakat yang mabuk agama.
Karenanya, dalam rangka perayaan hari perawat internasional 12 Mei 2020, pada 16 Mei 2020, alumni Mindanao Peacebuilding Institute (MPI) Indonesia, yang terhimpun dalam organisasi Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI), telah melaksanakan satu forum webinar silaturahmi alumni. Tema yang ditandu adalah “Tantangan para Pekerja Perdamaian di Era Covid-19”. Forum tersebut terbuka untuk peserta publik.
Adalah Izak Y.M. Lattu, PhD, akademisi studi agama-agama dari UKSW Salatiga, dan Nur Hidayah, akademisi UIN Alauddin Makassar, yang didapuk sebagai narasumber. Bung Izaak, yang merupakan seorang seorang survivior Covid-19, telah dirawat di RS sebagai pasien positif Covid-19, setelah balik ke Indonesia pasca menjalani kegiatan kunjungan akademik ke Amerika Serikat. Dia mengisahkan bagaimana pengalaman, yang penulis sebut interfaith solidarity, yang dialaminya selama menjalani perawatan di RS Kariadi Semarang membantu proses kesembuhannya. Sementara Nur Hidayah, mantan perawat dan saat ini aktif mempromosikan perdamaian melalui kesehatan beberapa tahun terakhir, membeberkan sejarah lahirnya hari perawat internasional dan juga tantangan para perawat dalam bertugas di era Covid-19.
Narasi inspiratif dari dua narasumber tersebut telah menguakkan apa yang bisa disebut sebagai “solidaritas lintas iman”, di mana para perawat dalam bertugas merawat pasien Covid-19 tidak memandang entitas primordialisme etnik dan agama. Misalnya, terdapat kegiatan doa lintas iman (masing-masing berdoa dengan keyakinannya) di RS tersebut untuk kesembuhan bung Izaak. Dalam hal ini, bung Izaak mengatakan, “tidak menjadi soal siapa yang mendoakan, tetapi yang penting adalah doa itu sendiri”.
Di sini, tujuan menjaga harkat kemanusiaan adalah utama, yang dalam Islam disebut sebagai hifzun nafsi (menjaga jiwa), salah satu tujuan syariat. Menurut penulis, mandat seorang peacebuilder adalah menjaga harkat kemanusiaan. Karenanya, solidaritas lintas iman penting dimekarkan di tengah badai Covid-19, yang belum tahu kapan berakhir.
Kisah-kisah “solidaritas lintas iman” adalah ibarat “oase di padang pasir” di Indonesia, yang dirundung semangat primordialisme sempit. Berikut ini kisah solidaritas lintas iman inspiratif dan mengharukan. Beberapa waktu lalu, dalam sebuah video singkat yang viral, di Papua tanah ajaib yang tidak pernah kering praktik kerukunan—sebagai harta karun terakhir, sejumlah pemuda pemudi di satu gereja kota Biak telah mendendangkan salawat badar. Dalam hal ini, Elga Sarapung, Direktur Yayasan Interfidei, menyatakan, “Dua hari lalu saya terima kabar ini. Saya telpon beberapa teman Papua. Jujur, saya mau nangis waktu lihat dan mendengar itu. Maklum, kita tahu bersama bagaimana isu agama-agama, khususnya Muslim-Kristen (Katolik/Protestan) di Papua. Salawat sendiri kalau di gereja kami di Yogya, sudah beberapa kali dinyanyikan oleh interfaith voice. Sudah biasa. Termasuk lagu Deen Assalam. Bagus. Tapi, di Papua? Ini satu tanda positif.”
Kisah yang lain adalah seorang bidan Muslim yang didoakan keselamatannya oleh komunitas Kristen setempat. Cerita yang penulis peroleh dari lapangan, sang bidan yang bertugas di Kairatu, Seram Selatan, Maluku, yang positif Covid-19 dijemput Gugus Tugas untuk dihantar ke RS Rujukan di kota Ambon. Di tengah perjalanan, mobil tersebut dihentikan dan didoakan oleh warga Kristen dan di-support.
Dari sudut pandang dialog antar agama/iman, apa yg dilakoni pemuda pemudi Kristen Biak dan komunitas Kristen di Kairatu, sebagai dialog performatif yang sedang menunjukkan apa yang disebut Hermansen, “one creates and transforms an imaginary spaces and gestures function as much to persuade as do actial verbal utterance.” Menurut saya, dialog performatif dari contoh di atas adalah “solidaritas lintas iman” sebagai satu cara untuk mendorong, membangun dan mengawetkan budaya toleransi beragama di tanah air.
Singkatnya, kisah di atas adalah praktik dialog antar agama yang melampaui model dialog teologis, yang lebih banyak berkutat di ruang-ruang seminar dan konferensi agama. Meskipun berguna membuat kesadaran akan perbedaan, namun model elit semacam ini tidak mencerahkan masyarakat akar rumput yang hidup penuh kecurigaan antar komunitas agama yang berbeda.
Lebih jauh, model di atas bisa disebut dialog kehidupan. Misalnya, contoh ekstrem yang dipraktikkan oleh Charles De Foucauld (18580-1916), misionaris Perancis yang menabur budi dan cinta kasih di tengah umat Islam di Aljazair Afrika. Namun, karena fanatisme primordial sempit dia dibunuh dengan kejam. Kisah-kisah misionaris di tanah Papua saya kira memiliki spirit yang sama: harkat kemanusiaan. Mungkin kita perlu contoh sederhana yang lain, dialog kehidupan seperti umat Islam yang membagikan daging kurban atau berbagi suka cita dengan membagikan makan di hari Idul fitri dengan tetangga yang non-Muslim.
Pun, cerita-cerita dialog kehidupan yang penulis alami sebagai pembelajaran. Saat melakukan kunjungan di komunitas Towani Tolotang di Sidrap, Makasar, setiap sahur penulis dibangunkan untuk sahur dan telah disiapkan makanan oleh pimpinan komunitas agama lokal tersebut. Pengalaman terkini penulis di Perth beberapa warga non-Muslim telah menghubungi untuk menyalurkan bantuan sosial dan makanan buka puasa buat mahasiswa Muslim juga bagian dari dialog kehidupan. Juga, sahabat yang beragama Yahudi yang selalu membantu saat-saat saya menjalani sepinya karantina mandiri 14 hari di rumah. Bahkan, beberapa waktu lalu saya pernah didoakan oleh ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Papua (PGGP) untuk keselamatan dan kelancaran urusan. Dalam kasus terakhir, yang penting adalah doa itu sendiri, tidak penting siapa yang mendoakan, seperti yang juga diyakini bung Izaak.
Mungkin bagi sebagian penganut agama yang mabuk agama, praktik-praktik solidaritas iman di atas dipandang membahayakan akidah. Tapi, bagi siapapun mereka yang percaya adanya jalan keselamatan di dalam semua agama, atau yang disebut Berger sebagai “pluralisme teologis” (theological pluralism), maka praktik-praktik solidaritas lintas iman di atas adalah peristiwa ruhani, yang menjadi ekspresi dari keimanan yang murni. []