Suwendi Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Diktis Kementerian Agama RI; Dewan Pakar Persada-NU (Persatuan Dosen Agama Nahdlatul Ulama); dan Ketua DPP FKDT (Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah)

Merevitalisasi Peran Perguruan Tinggi Keagamaan Islam

4 min read

Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) merupakan perguruan tinggi plus. Ia memiliki kelebihan tersendiri, mengungguli perguruan tinggi-perguruan tinggi lainnya. PTKI telah melakukan peran-peran penting yang sekaligus menjadi pembeda (distinction) antara PTKI dengan perguruan tinggi lainnya.

Sekurang-kurangnya, ada dua kelebihan mendasar yang dimiliki oleh PTKI dibanding dengan perguruan tinggi lainnya, yakni, pertama, PTKI memiliki kemampuan dalam mengharmoniskan relasi Islam dan ilmu pengetahuan; dan kedua PTKI memiliki kontribusi besar dalam membangun relasi Islam dan negara dengan baik.

Relasi Islam dan Ilmu Pengetahuan

Dalam amatan penulis, dunia perguruan tinggi di Indonesia ini dalam aspek keilmuan sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) bidang ilmu yang ditekankan. Pertama, disiplin ilmu-ilmu pengetahuan umum-murni, seperti disiplin sosial-sains dan sosial-humaniora, yang ini dikembangkan oleh sejumlah perguruan tinggi umum, terutama di bawah naungan Kemendikbud, seperti UI, ITB, UGM, dan lain-lain. Keilmuan yang dikembangkan oleh sejumlah perguruan tinggi itu lebih banyak menekankan pada disiplin ilmu-ilmu umum murni, sehingga lulusannya menghasilkan berbagai sarjana di bidang keilmuan yang digelutinya itu. Sementara disiplin ilmu agama Islam cenderung kurang mendapatkan tempat yang cukup.

Kedua, perguruan tinggi yang berorientasi pada disiplin keislaman murni yang berorientasi pada mutafaqqih fī al-dīn, menghasilkan ahli-ahli agama Islam. Disiplin keilmuan ini dikembangkan oleh Ma’had Aly dan beberapa fakultas keislaman murni pada PTKI, seperti Fakultas Ushuluddin, Syariah, dan lain-lain. Lulusan dari Ma’had Aly dan fakultas-fakultas keislaman murni pada PTKI ini adalah para ahli keislaman, yang menguasai kajian-kajian kitab kuning, metodologi istinbāt al-hukm, ahli ilmu kalam, mufassir, muhadits dan lain-lain. Sementara disiplin ilmu sosial-sains dan sosial-humaniora (murni) mendapatkan tempat yang minimal.

Ketiga, perguruan tinggi yang mengintegrasikan kedua disiplin itu, yakni di samping menguasai bidang ilmu-ilmu umum murni, seperti disiplin sosial-sains dan sosial-humaniora, juga ia menguasai bidang keislaman. Perguruan tinggi yang mampu menghasilkan ini adalah UIN atau IAIN yang membuka fakultas atau program studi pada rumpun ilmu pengetahuan sosial-sains dan sosial-humaniora. Lulusan yang diharapkan dari fakultas atau program studi sosial-sains dan sosial-humaniora pada UIN atau IAIN adalah memiliki prototipe semacam Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Jabbar, Ibnu Batutah, dan lain-lain. Para sarjana ini adalah di samping ahli di bidang sosial-sains dan sosial-humaniora, juga ahli di bidang keislaman.

Dalam konteks ini, yakni pada perguruan tinggi yang mengintegrasikan disiplin ilmu keislaman dengan disiplin sosial-sains dan sosial-humaniora ini, PTKI memiliki kontribusi besar dalam menjembatani relasi Islam dan ilmu pengetahuan dengan baik. Sebab, dalam sejarah umat beragama, tercatat sejarah cukup kelam yang mengkonflikkan antara agama dengan ilmu pengetahuan.

Baca Juga  Stigma Negatif terhadap Ulama: Perlunya Berpikir Kritis dan Tabayyun

Pada abad tanggal 13 Pebruari 1633, sang filsuf, astronom, dan pakar matematika asal Italia, Galileo Galilei, telah diadili oleh otoritas gereja karena dianggap menemukan teori ilmu pengetahuan yang dianggapnya bid‘ah, bertentangan dengan doktrin gereja. Galileo Galilei mengafirmasi temuan Copernicus dengan teori heliosentrisme, yang menyatakan bumi mengitari matahari; sementara dalam doktrin gereja berkeyakinan pada teori geosentrisme, yang menyatakan bahwa bumi sebagai pusat alam semesta. Atas temuan yang dianggap bidah ini, Galileo Galileo harus menerima inkuisisi yang digelar Gereja Katolik dan pada April 1633 bersedia mengaku bersalah untuk mendapatkan hukuman.

Membangun relasi agama (Islam) dengan ilmu pengetahuan merupakan persoalan yang sangat serius. Perbincangan mengenai hal ini, hampir tidak pernah habis. G. Ian Barbour, fisikawan dan teolog, dalam karyanya berjudul When Science Meets Religion, (San Francisco: Harper San Francisco, 2000) memaparkan setidaknya terdapat empat pola relasi, yakni konflik, independen, dialog dan integrasi. Dalam keempat relasi ini terus digali dan dicari pola-pola konstruksi yang produktif. Dalam konteks ini, PTKI yang melakukan integrase keilmuan ini memiliki kontribusi besar dalam menjembatani relasi Islam dan ilmu pengetahuan dengan baik.

Di samping itu, integrasi keilmuan dimaksudkan untuk memperkuat peran dan kontribusi umat Islam dalam pembangunan bangsa. Di tengah tuntutan partisipasi dalam pembangunan yang demikian besar, sarjana Muslim diminta untuk mengisi ruang-ruang sosial dengan memiliki kecakapan dan integritas keilmuan yang memadai guna membangun bangsa. Melalui PTKI, diharapkan dapat melahirkan sarjana Muslim yang menguasai keahlian di bidang sosial-sains dan sosial-humaniora secara masif.

Relasi Islam dan Negara

Peran penting yang tidak dapat dipisahkan dari PTKI adalah menjadi katalisator sekaligus dinamisator yang mampu merawat dan menjalin hubungan harmonis antara Islam dan negara dalam konteks keindonesiaan. Relasi Islam dan demokrasi di Indonesia dapat berjalan dengan apik, saling mengisi dan mutualistik. Peran sosial yang amat dahsyat ini hampir diakui oleh semua kalangan bahwa PTKI merupakan garda terdepan dalam membangun demokrasi di Indonesia. Kehidupan berdemokrasi di tengah-tengah keragaman keindonesiaan, yang tidak hanya pada aspek wilayah, suku, dan sosial budaya, tetapi juga keragaman pada kehidupan keagamaan yang demikian plural, mampu dibangun dengan penuh cinta damai dalam bingkai kesadaran keindonesiaan berdasarkan Pancasila. Tentu, peran ini menjadi kontribusi PTKI yang tak ternilai yang sekaligus menjadi tantangan tersendiri agar PTKI tetap konsisten dan tidak terkontaminasi dengan ideologi dan gerakan-gerakan yang mengaburkan relasi agama dan negara yang telah lama dibangun oleh bangsa ini.

Baca Juga  Makna Puasa Menurut Jalaluddin Rumi

Diakui, belakangan telah terjadi polarisasi di sebagian masyarakat yang tetap kokoh dengan ideologi keagamaan yang produktif terhadap ideologi kebangsaan, di satu sisi, dan munculnya sebagian kelompok masyarakat yang mempertentangkan ideologi kebangsaan berdasarkan paham keagamaan, di sisi lain. Polarisasi ini semakin menguat terutama dengan menyeret-nyeret paham keagamaan demi kepentingan politik-praktis, terutama saat hajat Pilkada atau Pemilu berlangsung. Walhasil, politisasi agama dan keagamaan yang politis semakin menguat. Polarisasi dan politisasi agama ini jika dibiarkan akan berdampak destruktif bagi kelangsungan ini.

PTKI di bawah naungan Kementerian Agama RI telah merawat, terus menekadkan diri serta membangun kebersamaan untuk menghalau gejala-gejala tersebut sekaligus meneguhkan kembali akan kiprah dan peran PTKI, yakni dalam bentuk moderasi beragama. Sejumlah kebijakan dan pendirian rumah moderasi beragama di setiap PTKI merupakan salah satu wujud nyata akan semangat moderasi beragama itu.

Saat ini, moderasi beragama telah menjadi bagian penting dari instrumen modal sosial dalam membangun bangsa. Melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, moderasi beragama ditempatkan sebagai bagian dari strategi pembangunan sumber daya manusia di bidang penguatan karakter. Ini berimplikasi pada moderasi beragama menjadi “khittah” yang tak terpisahkan dari denyut nadi program dan kerja pada PTKI, secara khusus, dan Kementerian Agama, secara umum.

Menurut hemat penulis, setidaknya ada 2 (dua) ciri moderasi beragama itu, agar dapat dirumuskan dan diturunkan ke dalam langkah taktis-operasional. Pertama, memahami dan mempraktekkan agama yang diarahkan sesuai dengan hakikat dan fungsi agama itu sendiri. Hakikat beragama adalah memanusiakan manusia. Sebab, agama diturunkan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia. Yang butuh terhadap agama adalah manusia, bukan Tuhan. Oleh karenanya, beragama itu harus mampu menyelesaikan problem-problem kemanusiaan, bukan sebaliknya, yakni beragama menjadi sumber masalah bagi manusia. Untuk itu, kita perlu melakukan upaya agar agama itu dapat dipahami dengan bahasa-bahasa kemanusiaan dan berdampak terhadap kemasalahatan bagi manusia.

Baca Juga  Bijak dalam Menghadapi Politik Identitas yang Mungkin Terjadi di Pilpres 2024

Kedua, moderasi beragama itu harus mampu meletakkan fondasi paham keagamaan yang sesuai dengan paham kebangsaan, sehingga paham keagamaan dengan paham kebangsaan itu saling mendukung dan mengisi, bukan saling memperhadapkan dan menegasikan. Mencintai tanah itu merupakan bagian dari implementasi keimanan. Di samping sebagai umat beragama, kita juga sebagai warga negara Indonesia, yang harus dapat diwujudkan secara sinergis dan saling menguatkan.

Dalam konteks merevitalisasi moderasi beragama di lingkungan masyarakat kampus, PTKI terus memperkuat gagasan-gagasan para pemikir dan tokoh bangsa yang telah sukses meletakkan fondasi moderasi beragama dengan baik. Terdapat sejumlah nama untuk disebut. Kuntowijoyo yang berhasil membangun gagasan Islam-Transformatif, Nurcholish Madjid yang membangun hubungan antara Islam, Indonesia, dan Kemanusiaan, Abdurrahman Wahid dengan ide Pribumisasi Islam, M. Quraish Shihab dengan perspektif Membumikan Alquran, dan lain-lain. Ide dan gagasan brilian ini perlu direplikasi dan didiseminasi serta dikembangkan lebih lanjut, terutama dalam penyelenggaraan tridarma perguruan tinggi.

Selain itu, PTKI juga perlu melakukan penguatan moderasi beragama yang tidak hanya melalui pengembangan dan kapasitas akademik an sich, tetapi juga memperkokoh praktek-praktek kebudayaan yang telah lama dilakukan oleh masyarakat. Merevitalisasi kebudayaan masyarakat sebagai entitas dasar keindonesiaan merupakan langkah strategis yang perlu digarap PTKI.

Indonesia dibangun atas dasar keanekaragaman kebudayaan, sehingga tidak perlu dilakukan unifikasi menjadi satu kebudayaan tertentu. Masing-masing negara-bangsa juga memiliki kebudayaannya sendiri, yang sangat ditentukan oleh berbagai faktor. Oleh karenanya, antara kebudayaan di Indonesia dengan kebudayaan di luar sana tidak perlu untuk dipaksa untuk disamakan. Termasuk, kebudayaan dalam wujud tata berpakaian, misalnya, yang menjadi ciri khas sebuah negara tertentu tidak perlu untuk dipaksakan untuk digunakan.

PTKI juga hendaknya menyadarkan masyarakat agar tidak perlu mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia tidak lebih baik dari kebudayaan luar sana. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita patut bangga akan budaya Indonesia, mengembangkan dan memperkuat identitas kebudayaan bangsa, termasuk kebudayaan lokal daerah masing-masing sebagai kebijakan lokal (local wisdom). Dengan memperkuat kebudayaan masing-masing, itu akan semakin memperluas wawasan dan kearifan masyarakat dalam memahami sebuah realitas.

Suwendi Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Diktis Kementerian Agama RI; Dewan Pakar Persada-NU (Persatuan Dosen Agama Nahdlatul Ulama); dan Ketua DPP FKDT (Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *