“Kita ini bangsa yang tidak cukup main-main jadi. Bangsa kita ini kan bangsa yang beragam tapi bersepakat–untuk membentuk–satu negaraPara kyai selalu mengkaji, kenapa kita ini mayoritas umat muslim harus menghargai orang lain; ya karena nenek moyang kita ketika mendirikan bangsa dengan berbeda suku dan agama ini menggunakan konsep rasul tentang masyarakat yang berbeda-beda tetapi hidup dengan saling bertanggung jawab ‘kullukum ro’in wa kullukum mas’ulun ‘an roiyatihi’”. Gus Muwafiq dalam podcast Helmy Yahya Bicara.
Statemen kiai nyetrik ini, Ahmad Muwafiq yang lebih dikenal dengan Gus Muwafiq , menekankan bahwa Indonesia merupakan negara yang menggunakan konsep ra’iyyah yang di Indonesia menjadi kata ‘rakyat’. Menurutnya Indonesia merupakan satu-satunya bangsa muslim yang sanggup menerapkan konsep tersebut kepada bangsanya.
Masih menurut Gus Muwafiq, masyarakat Indonesia sebenarnya tidak perlu khawatir karena kaum muslim sebagai kelompok mayoritas tidak akan menjadi diktator. Alasannya sederhana, karena pada prinsipnya negara Indonesia telah menggunakan konsep ra’iyyah yang merupakan konsep yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
Pernyataan Gus Muwafiq tersebut pada dasarnya sangat wajar untuk disampaikan kepada khalayak umum guna kekhawatiran dan menanggapi besarnya potensi konflik yang mengatasnamakan perbedaan yang seringkali mencuat dan menjadikan masyarakat tersegregasi, khususnya terhadap mereka yang selalu menggunakan perspektif mayoritarianisme atas nama ‘umat Islam’.
Salah satu bentuk ancaman yang mengatasnamakan perbedaan yakni politik identitas yang selalu digunakan sebagai strategi jitu para politisi untuk mendulang suara mayoritas. Namun menilik masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, dari segi agama maupun suku budayanya, politik identitas menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari.
Pada dasarnya, politik identitas tidak selamanya buruk, namun penggunaan politik identitas dengan konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia memililiki dampak yang lebih buruk dan bahkan terus berkelanjutan sebagaimana yang pernah terjadi pada saat Pilkada DKI 2017 dan Plpres 2019.
Istilah identitas dalam kamus sosiologi diartikan sebagai struktur keanggotaan individu dalam kelompok seperti ciri, kategori, dan peranan sosial. Mereka yang memiliki identitas yang sama memiliki persamaan kebudayaan seperti agama, suku, maupun bahasa yang kemudian menumbuhkan perasaan dan kesadaran bersama (Lestari, 2019). Sementara politik identitas menurut Agnes Heller memiliki definisi sebagai gerakan politik yang terfokus pada perbedaan sebagai kategori utamanya (Anam, 2019).
Merujuk pada definisi tersebut, pada dasarnya politik identitas bisa dilakukan oleh siapa saja baik oleh kelompok minoritas ataupun mayoritas. Dalam skala global misalnya, bangsa Indonesia perlu mengedepankan identitas diri sebagai jati diri bangsa.
Dengan kata lain, politik identitas tidak selamanya buruk. Hanya saja, dalam sejarah politik Indonesia, politik identitas digunakan dengan cara yang tidak santun, penuh amarah dan kecamuk sehingga meninggalkan dampak buruk yang berkelanjutan. Karenanya politik identitas kini selalu dikaitkan dengan politik kotor.
Penggunaan Poitik Identitas di Peta Perpolitikan Indonesia
Penggunaan politik identitas sebagai sebuah strategi nyatanya sangat relevan untuk mendapatkan kemenangan seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilpres tahun 2019. Sebelum itu, di berbagai tempat politik identitas mungkin saja ditemukan namun masih dilakukan secara tersirat dan tidak menyulut perhatian masa. Namun, pada tahun 2017, Pilkada DKI Jakarta, penggunaan politik identitas bahkan menjadi sorotan dunia dan dianggap sebagai ancaman paling mematikan bagi demokrasi Indonesia.
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) merupakan Gubernur DKI Jakarta yang berasal dari etnis China dan beragama Kristen. Sebagai Gubernur, Ia berpidato di Pulau Pramuka di Kepulauan Seribu yang menyinggung Surat Al Maidah ayat 51. Video tersebut diedit dan diunggah di media sosial dan kemudian memicu amarah sebagian besar umat muslim. Hal tersebut berbuntut panjang hingga memunculkan aksi Bela Islam yang dimotori oleh Gerakan Nasional Pengaal fata Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) dan berhasil menggerakkan massa umat Islam untuk menuntut Ahok secara hukum karena dianggap telah menodai agama Islam.
Di tengah kemelut tersebut, Ahok bersama wakilnya Djarot Saeful Hidayat kembali mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Salah satu pesaing petahana terkuat yakni pasangan Anis Baswedan dan Sandiaga Uno. Memanfaatkan kondisi Ahok-Djarot, pasangan Anies-Sandi mendekati kaum muslim, menggunakan politik identitas dan berakhir dengan kemenangan dengan suara sebanyak 57, 96% dari total seluruh suara yang sah (Lestari, 2019).
Penggunaan politik identitas kembali terjadi pada Pilpres 2019 ketika Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya. Keputusan untuk menggandeng Ma’ruf Amin sebagai cawapres didasarkan pada pegalaman Jokowi di pemerintahan yang mana sosok figur agamawan mampu memberikan sumbangsih dalam suksesi pemenanangan untuk mendapatkan kursi kepemimpinan. Akhirnya, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin memang berhasil memenangi Pilpres 2019 dengan memanfaatkan basis identitas Ma’ruf Amin untuk mendulang suara dari kelompok muslim tradisional (NU).
Menyambut Pilpres 2024 dengan Bijak
Menjelang Pilpres 2024 sangat mungkin politik identitas kembali digunakan untuk menjadi strategi pemenangan. Bahkan sejak tahun 202, telah mencuat wacana munculnya poros Islam yang merupakan aliansi dari partai-partai Islam yang terdiri dari PKS, PPP, PKB, PBB dan partai-partai Islam lainnya (Hamdani, 2021).
Tak ayal, kritik terhadap wacana poros ‘hijau’ (Islam) tersebut pun banyak bermunculan dari berbagai pihak. Namun, agaknya wacana kemunculan poros tersebut mungkin tidak akan terjadi jika mengingat sejauh ini para bakal calon presiden (bacapres) yang telah dideklarasikan semuanya berasal dari partai nasionalis. Meskipun wacana kemunculan poros tersebut hampir bisa dipastikan tidak mungkin, namun penggunaan politik identitas melalui strategi menguatkan bacapres dengan menggandeng bakal calon wakil presiden dari kalangan figur tokoh muslim–atau setidaknya yang mempunyai afiliasi kuat dengan ormas keislaman–sangat mungkin terjadi.
Mengingat cairnya dunia politik, kita tidak bisa menebak strategi seperti apa yang akan digunakan oleh para elit politik untuk mendapatkan kemenangannya. Tetapi setidaknya, kita tetap bisa ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi dengan bijak dan tetap mawas diri agar tidak terperosok pada strategi-strategi kuno politik identitas ‘kotor’ yang merongrong persatuan bangsa.
Apa yang terjadi di tahun 2017 dan 2019 selayaknya bisa kita ambil pelajaran agar kita tetap ikut mengontrol jalannya demokrasi tanpa harus terpancing dengan propaganda-propaganda politik identitas ‘kotor’ yang sekiranya bisa memecah belah bangsa.
Literature
Anam, H. F. (2019). Politik Identitas Islam dan Pengaruhnya Terhadap Demokrasi di Indonesia. Jurnal Pemikiran Politik Islam, POLITEA, 2(2).
Hamdanny, D. R., & Mukhtar, K. (2021). Wacana Poros Partai Islam untuk PILPRES 2024: Politik Identitas atau Penggalangan Suara Oposisi?. Politea, 4(2), 190.
Lestari, D. (2019). Pilkada DKI Jakarta 2017: Dinamika Politik Identitas Di Indonesia. JUPE: Jurnal Pendidikan Mandala, 4(4), 12-16.