Penyair sufi besar awal abad 13 Jalaluddin Rumi dalam magnum opus-nya yang sangat terkenal, Matsnawi, menggambarkan puasa sebagai hidangan dari langit. Makna puasa bagi Rumi ialah hadiah dari Allah untuk manusia yang sangat membutuhkannya. Sebab, puasa bukan hanya bermanfaat untuk tubuh jasadiah saja, melainkan juga untuk jiwanya dan rohani (spiritual). Rumi bersenandung:
Sebenarnya tidak semua orang dalam lapar bertahan
Karena di dunia makanan datang berlimpahan.
Puasa hanya anugerah Tuhan bagi orang istimewa
Dengan lapar mereka menjadi singa yang berwibawa
Mana mungkin lapar diberikan kepada setiap gelandangan
Karena di hadapan matanya teronggok banyak makanan.
(Matsnawi, vol. 5)
Maksud syair Rumi di atas bahwa dalam konteks puasa, lapar menjadi sebuah bentuk “penyiksaan dan penderitaan”, yang intinya terjadi pengendalian diri dan sekaligus ujian kesabaran. Hanya mereka yang bersungguh-sungguh yang akan mendapat faedah dan rahasia (sirr) dari puasa.
Sekiranya tidak ada puasa, maka selain kegagalan pencernaan
juga ratusan musibah lainnya akan muncul di permukaan
Sungguh musibat lapar lebih baik dari semua musibat
Puasa itu melembutkan, meringankan, dan memudahkan taat
Di dalamnya ada ratusan faedah dan manfaat.
(Matsnawi, vol. 5)
Rumi sedang memberi isyarat bahwa puasa di satu sisi dapat mendorong seseorang dalam ketaatan dan perbuatan baik. Pada sisi lain, puasa mematikan keinginan untuk berbuat maksiat dan mengalahkan hawa nafsu. Inilah yang dalam istilah Al-Quran dikenal dengan sebutan nafs al-ammarah, yaitu nafsu yang senantiasa memerintahkan manusia untuk berbuat keburukan. Allah berfirman, “Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan…” (QS. Yusuf [12]: 53).
Sedangkan dalam keadaan kenyang, kita punya kekuatan untuk berbuat kemaksiatan. Sebagaimana kata Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din, makan dan minum adalah bahan bakar untuk hawa nafsu.
Menurutnya, kenyangnya perut dapat menggerakkan dua syahwat yang berbahaya, yaitu syahwat faraj dan syahwat bicara. Dahulu, para sufi ketika menyajikan makanan untuk muridnya, sering berkata, “Jangan berikan ilmu kepada perut-perut yang kenyang, karena mereka akan mengubahnya menjadi mimpi. Jangan berikan sajadah kepada mereka, karena mereka akan menjadi kasur.”
Dalam syairnya yang lain, Rumi berkata:
Berpuasalah dengan segenap jiwa, karena puasa adalah raja dari segala obat
Dengarkan, simpan puasa dalam hatimu, jangan kau hinakan
Karena puasa menjadi manis semua yang tak enak.
(Matsnawi, vol. 5)
Rumi ingin memberi tahu bahwa puasa bisa menjadi obat, sebagaimana pula dalam hadis dikatakan, “Berpuasalah, niscaya kamu akan sehat” (HR. Thabrani). Puasa memberikan banyak manfaat bagi seorang sha’im agar terhindar dari berbagai penyakit fisik maupun psikis.
Sabda Rasulullah dan perkataan Rumi ini juga telah dibuktikan oleh berbagai studi yang menemukan bahwa berpuasa khususnya puasa Ramadan dapat mengurangi kecemasan, depresi, dan stres. Selain itu, berpuasa juga membuat seseorang berdamai dengan dirinya dan meningkatkan relasi sosial dengan orang lain.
Dalam konteks manfaat puasa pada kesehatan fisik, telah juga dibuktikan oleh berbagai riset ilmiah, salah satunya ilmuwan Jepang, Profesor Yoshinori Ohsumi tahun 2016. Menurutnya puasa atau melaparkan diri berkaitan erat dengan autofagi, yaitu kemampuan sel dalam tubuh untuk menghancurkan dan mendaur-ulang komponen tertentu di dalam sel yang sudah tua—seperti organel-organel sel, protein, dan membran sel—yang terjadi ketika tubuh tidak memiliki cukup energi untuk mempertahankannya.
Melalui mekanisme autofagi, sel membersihkan dan memperbarui dirinya sendiri, serta melindungi dirinya dari serbuan virus dan bakteri yang bisa menimbulkan berbagi gangguan penyakit. Meski begitu, autofagi yang optimal adalah yang tidak terjadi secara ekstrim. Artinya, seseorang tidak boleh kelaparan atau sama sekali tidak makan sehingga proses autofaginya berlebihan tidak terkendali, dan tidak boleh pula terlalu banyak dan selalu kenyang sehingga mematikan proses autofagi.
Temuan tersebut mendukung ketepatan perintah Allah terkait kaifiah berpuasa dalam Islam, sebagaimana puasa Ramadan (menahan makan dan semua yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari) kita kerjakan hanya sekitar 12-13 jam selama sebulan. Begitu pula ajaran Nabi untuk berhenti makan sebelum kenyang atau makan secukupnya, tetapi Nabi juga melarang muslim untuk berlebih-lebihan dalam ibadah, termasuk dalam puasa.
Hal tersebut menandakan bahwa syariat Islam yang diperintahkan untuk umat Islam selalu tepat dan seimbang, sebagaimana telah dibuktikan oleh penelitian ilmiah bahwa puasa bermanfaat baik bagi manusia. Maka, benar bahwa Rumi mengatakan puasa adalah raja bagi segala obat, baik untuk ruhani, nafs, dan tubuh manusia. Wallahu alam. [AR]