Islah Gusmian Dosen IAIN Surakarta

Alquran dan Pesan Sainstifik di Tengah Pandemi Covid-19

4 min read

Pandemi Covid-19 yang terjadi di awal tahun 2020 telah menggoncang kehidupan spesies manusia. Makhluk yang seringkali merasa paling unggul di dunia ini, karena kemampuan akal yang dimilikinya, tetiba dibuat gagap oleh makhluk yang tak kasat mata, tetapi memiliki daya mematikan yang bernama virus Corona. Karena virus ini, orang-orang menjalani kehidupan dalam belitan ketakutan dan kepanikan. Bagaimana tidak, jutaan orang telah terjangkiti virus ini dan ribuan di antaranya meregang nyawa.

Para pemimpin negara-negara di dunia sibuk mencari solusi dan menerapkan kebijakan yang tepat untuk menyelamatkan nyawa warganya. Tapi, dengan kondisi masyarakat, latar belakang ekonomi dan sosial yang berbeda-beda, antarnegara tidak mudah untuk saling meniru kebijakannya, dan hasilnya pun juga berbeda-beda. Pada saat yang sama, para saintis di bidang medis, hingga kini belum menemukan vaksin yang tepat untuk menaklukkannya. Salah satu penyebabnya, karena virus Corona terus bermutasi secara cepat, sehingga tak mudah dikendalikan.

Pada 12 Mei 2020,  Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membuat rilis tentang delapan bakal calon vaksin virus Corona. Rilis ini disampaikan Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom  Ghebreyesus, dalam Pertemuan Ekonomi dan Sosial PBB. Tapi, toh belum ada kepastian tentang vaksin tersebut dan belum terbukti.

Di tengah para saintis sibuk di ruang laboratorium untuk menemukan vaksin atas virus yang mematikan tersebut, sebagian agamawan justru berdebat pada aspek-aspek teologis terkait virus Corona ini dan bahkan ada yang membumbuinya dengan teori konspirasi. Sebagai seorang Muslim yang mencintai dan mengimani Alquran, kedatangan virus Corona bagi kita membawa satu pesan penting, yakni tentang pentingnya kajian dan pengembangan bidang sains di kalangan umat Islam pada masa kini.

Umat Islam pernah memiliki para saintis yang hebat. Misalnya, Jabir bin Hayyan ahli kimia; Al-Biruni ahli fisika dan kedokteran; Al-Razi ahli fisika dan kedokteran; Ibn Sina ahli kedokteran; dan Ibn Haitsam ahli teknik dan optik.

Selama berabad-abad setelah masa keemasan itu berlalu, nama-nama besar mereka itu disebut sekadar romantisme sejarah masa lalu. Dan pada saat yang sama, Alquran lebih banyak didekati dan dieksplorasi dari sisi fikih, sastra dan tasawuf. Ratusan kitab tafsir telah lahir dari rahim intelektualitas umat Islam dari abad ke abad.

Baca Juga  Benarkah Agama Mandul Hadapi Virus Korona?

Namun sebagian besar karya tafsir itu didominasi oleh dua aspek keilmuan tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa selama berabad-abad pemikiran yang dominan dan berkembang di kalangan umat Islam yang diderivasi dari Alquran adalah fikih dan tasawuf. Kedua bidang kajian ini memang penting, tetapi bukan berarti lalu kita abai pada kajian sains. Bahkan, seakan kajian sains tak ada kaitannya dengan Islam atau bahkan ia bukan dari Islam. Repotnya lagi, Alquran justru sekadar dijadikan justifikasi atas berbagai temuan-temuan sains.

Alquran memang bukan kitab sains, tetapi di dalamnya terdapat banyak ayat yang memberikan isyarat dan inspirasi ilmiah dan saintifik. Menurut Syekh Thanthawi Jauhari di dalam kitab tafsir Al-Jawahir, dalam Alquran terdapat lebih  dari 750 ayat kauniyah (ayat tentang alam semesta), sedangkan yang berbicara masalah hukum (fiqh) sekitar 150 ayat.

Secara kuantitatif, kita bisa melihat bahwa Alquran sejatinya memberikan perhatian yang besar terhadap isu-isu sains. Ribuan kitab fikih telah ditulis oleh para ulama. Kitab-kitab itu dihasilkan dari praktik mengarungi jantung Alquran. Tetapi, kita tahu hanya sedikit yang memperhatikan dan mengkaji alam semesta dan segala hal di luar diri manusia dengan menelusuri inspirasi yang terpancar dari Alquran. Mereka berdebat dan beradu argumen secara keras dalam merumuskan produk pemikiran di bidang hukum dan teologi, tetapi nyaris kajian sains begitu saja gampang terlewatkan.

Padahal, secara nyata kita merasakan bahwa sains merupakan salah satu aspek yang memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia di dunia. Berbagai kemudahan yang kita nikmati dalam menjalani kehidupan sekarang, seperti mobil, kapal laut, pesawat terbang, komputer, telepon, dan berbagai teknologi yang lain, merupakan hasil rekayasa ilmiah yang berawal dari laboratorium ilmiah. Ia lahir dari eksperimentasi dan pengamatan secara kontinu, mendalam, teliti, dan sabar.

Baca Juga  Baghdad: Melihat Realitas Sekarang, Mengenang Kejayaan Silam

Kita tidak bisa menolak diktum knowledge is power yang dikemukakan oleh Francis Bacon. Kenyataannya, sains telah mengantarkan orang berkomunikasi dengan orang lain pada saat yang sama dari belahan bumi yang lain; sains juga membuat orang mudah dalam menjalani rutinitas kehidupan; sains juga memberikan kenyamanan hidup dan beribadah, meski kita juga harus sadar bahwa ia memiliki sisi gelap yang menakutkan bila dikendalikan oleh hasrat dan kepongahan. 

Kembali kepada Alquran, lihatlah bagaimana di dalamnya alam dan unsur-unsurnya dideskripsikan secara ekspresif dan demonstratif. Api, air, langit, bumi, bulan, bintang, matahari, zarrah, gunung, jenis-jenis hewan dan tumbuh-tumbuhan dibicarakan Alquran. Sekali lagi, Alquran bukan kitab sains, tetapi di dalamnya banyak inspirasi dan dorongan agar pembacanya mengeksplorasi lebih jauh dan mendalam beragam kata kunci dan perspektif yang dikemukakannya tersebut.

Mari kita lihat sejumlah contoh. Dalam QS. Al-Rum [30]: 25, Allah berfirman: “Dan di antara tanda-tanda-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradah-Nya. Kemudian bila Dia memanggilmu sekali panggil dari bumi, seketika itu kamu keluar.” Mengapa Allah mendeskripsikan langit dan bumi sebagai sesuatu yang berdiri, mengapa kata langit dideskripsikan dengan bentuk plural sedangkan bumi dalam bentuk tunggal? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tentu menarik bagi para fisikawan dan kemudian dikaji di laboratorium.

Pada QS. Al-Insan [76]: 17 dikemukakan bahwa salah satu minuman yang kelak disajikan kepada penghuni surga adalah “zanjabil”. “Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas minuman bercampur jahe.  Zanjabil oleh para penerjemah Alquran, termasuk tim Kementerian Agama RI, diterjemahkan dengan minuman jahe. Mari kita fokus tumbuhan jahe, bukan kenikmatan di surga. Mengapa yang dipakai contoh minuman di surga adalah sejenis tanaman jahe, bukan yang lain, dan ada apa dengan jahe?

Baca Juga  Bagaimana Asumsi Tentang Kekerasan Seksual Di Tongkrongan Remaja?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini selaiknya dikembangkan dalam bentuk riset dan diselesaikan di laboratorium. Ahli Alquran berkolaborasi dengan ahli gizi melakukan riset tentang kandungan yang bermanfaat bagi manusia dalam tanaman jahe tersebut. Di situlah Alquran memberikan inspirasi dan sekaligus menggerakkan pembacanya untuk berkhalwat melakukan riset di laboratorium.  

Pada tempat yang lain, Alquran mendeskripsikan tentang makhluk yang tak kasat mata dengan ungkapan yang sangat dramatis dalam QS. Al-Haqqah [69]38-39. Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Ayat ini memberikan informasi bahwa makhluk Tuhan tidak terbatas pada yang material dan secara empiris dapat kita lihat, tetapi juga yang imaterial.

Di sinilah kita diajarkan oleh Alquran untuk mengenali bahwa makhluk terdiri dari tiga keadaan fundamental, yaitu material, psikis dan spiritual. Dalam konteks manusia, pertumbuh fisik manusia termasuk pada aspek material. Situasinya dipengaruhi oleh asupan gizi yang masuk dalam tubuh dan keteraturan dalam beraktivitas setiap hari.

Selain itu, manusia juga memiliki kecenderungan, perasaan, hasrat, dan kasih sayang terhadap sesama makhluk. Dan pada tahap selanjutnya ia menaiki tangga spiritual, di mana ia mengalami pengalaman hubungan personal dengan Sang Maha  Pencipta. Di sinilah, Alquran mendorong pembacanya untuk mengembangkan bidang-bidang ilmu biologi, sosial dan psikologi. 

Singkat kata, pandemi Covid-19 ini selaiknya mendorong kajian-kajian Alquran dilakukan secara kolaboratif dan multidisipliner. Program studi Ilmu Alquran dan Tafsir yang ada di berbagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, saatnya tidak hanya dilengkapi dengan beragam rujukan teks-teks klasik maupun kontemporer, tetapi juga dilengkapi laboratorium sainstifik dan klinis sehingga  inspirasi-inspirasi yang diserap dari Alquran bisa dikembangkan dalam riset kolaboratif dan bisa jadi pemantik lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi.

Peristiwa apel jatuh di hadapan Isac Newton bisa melahirkan teori gravitasi, apalagi Alquran yang setiap hari dibaca umat Islam dan mengklaim dirinya sebagai petunjuk bagi umat manusia.  []

Islah Gusmian Dosen IAIN Surakarta

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *