Sumanto Al Qurtuby Direktur Nusantara Institute; Associate Professor di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Saudi Arabia

Mengelola Kelompok “Sempalan Agama”

1 min read

Setiap umat agama memiliki mekanisme atau cara berlainan dalam mengelola “sempalan agama”. Antara kelompok liberal, moderat, konservatif, dan militan agama biasanya berbeda-beda dalam menyikapi kelompok sempalan agama.

Kelompok liberal biasanya membiarkan aneka ragam sempalan agama berkembang asal tidak melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan anti-kemanusiaan. Kelompok liberal tidak mempermasalahkan perbedaan ajaran, doktrin, teologi, wacana, dan praktik keagamaan kelompok sempalan agama karena semua itu adalah bagian dari ekspresi hak-hak asasi dan fundamental umat manusia.

Kelompok moderat, dalam batas tertentu, juga agak / terpaksa membiarkan sempalan agama meskipun kadang mereka tidak / sulit menerima perbedaan teologi, ajaran, doktrin, wacana, dan praktik keagamaan kelompok “sempalan agama”.

Kelompok konservatif tidak menerima sempalan agama dan biasanya melabeli para pengikut sempalan agama ini dengan kata-kata miring: sesat, bid’ah/bidat, murtad, palsu, domba, kambing, onta, curut, cirit, dlsb.

Kelompok militan bukan hanya tidak menerima kelompok sempalan agama tapi langsung mengeksekusi mereka dengan aneka ragam tindakan kekerasan fisik (bukan hanya “kekerasan verbal” seperti kelompok konservatif) seperti penyerbuan, pengusiran, persekusi, vigilantisme dan paling ekstrem: terorisme.

Yang saya maksud dengan kelompok “sempalan agama” ini adalah kelompok yang memisahkan diri dari “kelompok besar” agama yang kemudian mendirikan ordo, sekte, komunitas, atau lembaga sendiri untuk “rumah” para pengikutnya. Sebetulnya agak “aneh” menyebut kata “sempalan” mengingat semua kelompok agama pada hakikatnya adalah sempalan.

Kelompok agama yang kini merasa dan mengklaim mayoritas karena kebetulan populasinya banyak itu pada mulanya adalah kelompok sempalan juga. Sunni, Syiah, Ibadiyah, Katolik, Protestan, Mahayana, Theravada, Vajrayana, Vaisyanisme, Shaivisme, dlsb semua adalah “kaum sempalan” agama.

Kenapa demikian? Karena semua umat agama itu bermula dari komunitas kecil dan informal. Mereka biasanya berawal dari segelintir pengikut setia (loyalis) para pendiri kelompok tersebut (biasanya figur karismatik apapun julukannya) yang menanamkan ajaran, doktrin dan tetek-bengek aturan agama bagi kelompoknya.

Baca Juga  Mendekati Masa PPDB, Orang Tua Harus Cermat Memilih Sekolah dan Pesantren Untuk Anak

Pada perkembangan selanjutnya, kelompok-kelompok agama ini ada yang mati/lenyap dari sejarah seiring dengan wafatnya sang pendiri sementara tidak ada “orang kedua” atau generasi berikutnya yang sanggup meneruskannya. Ada pula yang cuma “mati suri” karena kelak ada orang (nabi, pembaru, intelektual dlsb) yang melanjutkan dan menghidupkan kembali ajaran-ajaran sempalan agama tersebut. Ada kelompok “sempalan agama” yang bahkan butuh waktu ratusan tahun untuk “hidup” lagi.

Ada lagi kelompok sempalan agama ini yang bisa hidup (survive) tapi tidak bisa berkembang. Mereka hanya “uplak-uplek” di daerah tempat didirikan kelompok ini saja. Penyebabnya bermacam-macam: biasanya karena faktor keterbatasan resources (dana, kader, jaringan, dukungan dlsb).

Kemudian, ada lagi yang bisa mengembangkan sayap ke daerah atau bahkan negara lain tapi populasinya tetap terbatas. Tapi ada pula yang berkembang-biak dan bertambah besar populasinya di berbagai negara sehingga menjadi “kelompok agama transnasional”.

Kelompok sempalan agama yang bisa menjadi / menjelma menjadi kelompok agama transnasional ini biasanya karena mendapat dukungan politik yang kuat plus sumber dana dan sumber daya yang besar dan mumpuni (pengikut setia / loyalis, jaringan pendakwah seperti kelompok misionaris dan dai dlsb).

Sulit membayangkan Sunni, Syiah, Protestantisme, Katolik, Hinduisme dlsb yang kini pengikutnya “jumbo-jumbo” itu jika tanpa dukungan otoritas politik dalam bentuk Islamdom, Christendom, Hindudom dlsb.

Karena semua kelompok agama pada hakikatnya adalah kelompok sempalan, lalu apalah artinya kita menyesatkan kelompok agama yang berbeda dengan kita? Sesama kelompok sempalan agama harusnya saling menyadari dan menghormati. Mereka harus dikelola dengan baik dan dibiarkan bertumbuhkembang asal tidak melakukan aneka tindakan kekerasan dan perbuatan yang mengancam sendi-sendi kemanusian, berbangsa dan bernegara.

Pula, setiap kelompok agama tak perlu merasa diri paling “autentik” dan “paling murni” karena sesungguhnya tidak ada yang autentik dan murni di bumi ini. [MZ]

Sumanto Al Qurtuby Direktur Nusantara Institute; Associate Professor di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Saudi Arabia