Siti Aminah Tardi Feminis dan Komisioner Komnas Perempuan

Pendidikan Akhlak Seksual Sebagai Upaya Mencegah Dispensasi Nikah (2)

3 min read

Pendidikan Akhlak Seksual: Dari Usia Dini sampai Dewasa

“Mengapa pagi-pagi sekali membawa handuk?” tanya saya kepada anak laki-laki kami di suatu pagi. Saat itu ia berusia sekitar 13 tahun.

I get a wet dream” ujarnya santai menuju kamar mandi. Saat itu saya gembira sekaligus was-was, karena satu fase pertumbuhannya sebagai anak laki-laki telah terlewati dan menunggu fase berikutnya yang harus dipantau dan dibimbing. Sebagai perempuan, saya tentu tidak memiliki pengalaman mimpi basah, hanya memberikan informasi bagaimana mekanisme tubuhnya akan bekerja menjelang pubertas.

Setelah pengalaman pertamanya, kami menyepakati menjadi tugas ayahnya untuk menjadi teman diskusi perkembangan seksualnya. Walau kami juga tidak menutup kemungkinan ia mencari informasi dari sumber lainnya.

Kami beruntung menjadi orangtua yang memiliki pengetahuan cukup tentang kesehatan reproduksi, sehingga kemudian memberikan pendidikan seks pada anak, mendasarkan pada referensi pendidikan kesehatan reproduksi. Namun, kita harus mengakui karena sosialisasi pemahaman bahwa seks adalah tabu, urusan orang dewasa dan akan mengajarkan hubungan seks sebelum perkawinan, menjadikan orangtua merasa tidak nyaman membahasnya.

Hal ini diakui oleh Amiruddin yang mengidentifikasi hambatan orangtua dalam memberikan pendidikan seks yaitu kurangnya pengetahuan untuk menjawab pertanyaan mengenai seksual dan reproduksi, tidak efektifnya komunikasi anak dan orangtua dan tidak terciptanya suasana keterbukaan, kenyamanan antara anak dan orang tua. (hal 97).

Dengan menjadikan pendidikan seks sebagai pendidikan akhlak seksual, maka ia menjadi bagian keseharian dari perilaku sehari-hari, dari usia dini sampai dewasa.

Rentang bahasan dari usia dini sampai dengan usia dewasa menunjukkan bahwa menjadi orangtua tidaklah sekedar membuahi, hamil, melahirkan dan menyusui. Didalamnya terdapat kewajiban untuk membimbing anak-anaknya sesuai nilai etika dan moral yang dibangun keluarga bersangkutan.

Baca Juga  Semangat Berhalal bi Halal ala New Normal

Dalam buku ini Amirudin membagi dalam empat fase usia anak yaitu anak usia dini, tamyiz, muraqabah, bulugh dan dewasa (hal 107-316). Secara ringkas bersama pengalaman pribadi dapat digambarkan berikut:

Pertama: usia Dini (0-6 tahun). Pada fase ini pendidikan seksual menekankan pada menjaga kebersihan alat kelamin, adab membuang hajat baik kecil maupun besar (toilet training), khitan bagi anak laki-laki, dan menanamkan rasa malu 107-130.

Pengalaman saya mendidik pada usia dini adalah selain hal diatas adalah memperkenalkan bagian-bagian tubuh dengan istilahnya seperti vagina, penis bukan istilah ‘burung’, mana yang tidak boleh disentuh atau dijadikan mainan, siapa yang diijinkan menyentuh dan bolehnya ia menolak sentuhan dari siapapun ketika ia tidak nyaman dengan mengatakan ‘tidak boleh’.

Kedua: usia Tamyiz atau Masa Pra Pubertas (7-12 tahun). Pendidikan akhlak seksual pada usia ini diantaranya memisahkan tempat tidur, mengenalkan waktu berkunjung yaitu sebelum Shalat Subuh, di tengah hari dan sesudah Shalat Isya atau meminta ijin dengan mengetuk pintu kamar orangtua, menanamkan memelihara pandangan mata, menutup aurat, memperkenalkan mahram dan non mahram (hal 132-182). Saya selalu ingat bagaimana orangtua saya memperkenalkan ‘baris wali’ ketika mengunjungi kerabat, termasuk kepada sepupu laki-laki. Juga mengingatkan saya untuk tidak bergaul rapat dan tidak boleh dinikahi dengan alasan baris wali.

Ketiga: usia Muraqabah atau Masa Pubertas (12-14 tahun). Pendidikan akhlak seksual pada usia ini meliputi: pemahaman untuk tidak berkhalwat, berhias sesuai Syariat Islam, pengertian tentang ikhtilam (mimpi basah), membedakan mani, madzi dan wadhi wudju dan yang membatalkan, haid, sifat darah haid, larangan yang sedang haid, dan junub (hal 183-239). Selain itu, saya pikir tetap memberikan materi tentang kebersihan organ kelamin, termasuk rambut kemaluan, mencuci pakaian dalam, sampai memilih dan menggunakan pembalut.

Baca Juga  Bukan Hanya Orang, Islam Juga Ada yang Pribumi dan Nonpribumi (1)

Masa ini adalah masa turbulensi bagi anak. Selain karena ada perubahan dalam mekanisme tubuhnya, berkembang aspek-aspek emosional, sosial juga penggunaan internet untuk bermain, berelasi melalui media sosial ataupun mengekpresikan diri. Maka fase ini pola komunikasi orangtua dan anak menjadi penting terbangun dengan baik dan nyaman agar rasa keingintahuan dan  keterbatasan pengalama anak, terarahkan dengan baik.

Keempat: usia Bulugh (15-18 tahun). Pendidikan akhlak seksual pada usia ini meliputi: pemahaman tentang bahaya zina, macam-macam zina, cara menghindari zina, puasa untuk mengelola hasrat seksual, dan perkawinan (hal 241-282). Jika melihat usia dispensasi nikah diajukan umumnya pada rentang usia ini. Pada usia ini baik anak laki-laki maupun anak perempuan akan mengalami jatuh cinta, bahkan patah hati. Kami memberikan reaksi positif, karena pengalaman jatuh cinta atau patah hati adalah pengalaman emosional yang baik dan membantu setiap anak mengenali diri dan mengelola emosinya.

Maka pada usia ini, menurut saya, penting pula untuk menyampaikan makna cinta, relasi yang setara, dan mengekpresikan perasaan dan menggarahkan tujuan hidup anak untuk mencapai target hidupnya. Misalkan kuliah dimana dan ketrampilan apa yang harus dikuasainya terlebih dahulu dan bagaimana zina, perkawinan dini akan menjauhkan dari target atau tujuan hidupnya.

Kelima: usia Dewasa (18 tahun ke atas). Pendidikan akhlak seksual pada usia ini meliputi: etika hubungan seksual suami-isteri, yang didalamnya meliputi berhias diri, ramah tamah terhadap pasangan, foreplay, membaca doa, lemah lembut dalam bersengama, shalat sunah sebelum bersengama, memilih waktu yang baik dan juga merahasiakan apa yang terjadi ketika bercinta. Kemudian mandi junub, nifas dan wiladah (hal 285-323).

Walau dalam buku ini, materi diberikan setelah usia 18 tahun, menurut saya materi ini dapat diberikan menjelang perkawinan anak-anak kita atau ketika hamil dan melahirkan. Akan lebih baik dengan pasangannya, agar menjadi pengetahuan bersama. Sebelumnya, pemahaman dapat merujuk pada materi untuk usia bulugh dengan metode yang lebih bersifat pengawasan dan dialoq antara orangtua dan anak.

Baca Juga  Bolehkah Kampanye Politik Praktis Dalam Masjid?

Buku ini,  karena menjadi buku pegangan kuliah mahasiswa universitas islam, dipenuhi dengan kutipan Alquran dan Hadits yang relevan terkait dengan materi akhlak seksual. Sayangnya bahasan belum dikontekskan dengan perkembangan pengetahuan, pola pergaulan anak-anak pada masa ini dan kebutuhan orangtua khususnya yang tidak mengenyam pesantren.

Kekuatan buku ini menjawab salah satu tantangan Ibu Shinta, yaitu menggunakan bahasa komunitas mayoritas muslim dan memberikan pentahapan materi yang diberikan pada anak. Untuk kemasan popular, buku ini terlalu tebal dan tidak praktis untuk menjawab kebutuhan bacaan cepat bagi orangtua. Pada tatanan bisnis, buku panduan pendidikan akhlak seksual dapat menjadi salah satu kado perkawinan.

Di kemudian hari, saya berharap materi-materi akhlak seksual juga hadir di arrahim.id. Mengingat portal ini digawangi oleh para sarjana Muslim dan ditujukan untuk  menumbuhkembangkan wawasan dan perilaku keagamaan yang moderat melalui sumber Al-Quran dan Sunnah, wawasan keIndonesiaan, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ke depan, pendidikan seks tidak lagi ditabukan karena pendidikan seks adalah bagian dari kehidupan Muslim. Sehingga kita benar-benar mengambil langkah nyata untuk mencegah perkawinan anak. (AA)

Sebelumnya: Pendidikan Akhlak Seksual… (1)

Siti Aminah Tardi Feminis dan Komisioner Komnas Perempuan