Suwendi Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Diktis Kementerian Agama RI; Dewan Pakar Persada-NU (Persatuan Dosen Agama Nahdlatul Ulama); dan Ketua DPP FKDT (Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah)

Semangat Berhalal bi Halal ala New Normal

3 min read

Foto: https://www.alkawthartv.com/

Pasca-Idul Fitri, masyarakat Muslim Indonesia biasanya melakukan tradisi halal bi halal sebagai ajang komunal dalam bersilaturahim. Tradisi yang menurut catatan sejarah dicetuskan oleh K.H. Wahab Chasbullah, seorang ulama besar Nahdlatul Ulama, ini telah dilaksanakan secara istikamah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi mulia ini dimaksudkan untuk merekatkan hubungan, mencairkan suasana, merajut kebersamaan, dan melepaskan berbagai konflik, mulai konflik politik, sosial, bahkan hingga konflik pribadi. Intinya, silaturahim dan keharmonisan sosial menjadi tujuan utama dari Halal bi Halal ini.

Meski dalam situasi masa pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19), semangat berhalal bi halal tetap demikian besar. Di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, telah dimulai kegiatan halal bi halal secara virtual persis di hari pertama masuk kerja, Selasa, 26 Mei 2020. Demikian juga di sejumlah keluarga besar komunitas dan kerabat famili, telah dilangsungkan halal bi halal dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi. Artinya, substansi silaturahim tetap kita laksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan, menjaga jarak (physical distancing), serta menghindari kerumunan dan bersentuhan.

Wabah Covid-19 telah dan akan terus melahirkan kebiasaan new normal (normal baru). Kebiasaan yang semula bisa jadi dinilai kurang “sreg”, kini “dipaksa” untuk melakukannya. Namun, tidak mengurangi aspek substansi silaturahim. Meminjam hukum kekekalan energi dalam disiplin fisika, jumlah energi dari sebuah sistem tertutup itu tidak berubah, ia akan tetap sama. Energi tersebut tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan, namun ia dapat berubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain. Dalam konteks halal bi halal, substansi silaturahim tetap terpelihara, meski dengan mekanisme pelaksanaannya yang berbeda-beda.

Terminologi new normal diciptakan oleh Roger Mcnamee (2004), seorang investor teknologi paling sukses belakangan ini. Dalam karyanya, The New Normal: Great Oportunities in Time of Great Risk, ia menjelaskan lima belas aturan dalam berinvestasi agar dalam kondisi krisis tetap bertahan. Istilah new normal ini menunjukkan sebuah situasi pasca-krisis ekonomi (2007-2008) dan resesi global (2008-2012), yang di saat seperti itu harus ada kesediaan untuk menggunakan aturan yang baru dalam jangka waktu panjang. Dalam konteks Covid-19, new normal (normal baru) menjadi suatu keniscayaan di Indonesia, baik pada aspek ekonomi untuk mencegah perekonomian yang semakin memburuk pasca-diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun pada aspek sosial untuk mempatahankan dan meningkatkan imunitas kesehatan dan tubuh.

Baca Juga  Presiden dan Buku: Selamat Hari Buku Nasional!

Semangat berhalal bi halal, dengan ala new normal sekalipun, sesungguhnya linier dengan jati diri manusia. Sebab, memang pada dasarnya, manusia diciptakan dalam “gen” ketergantungan terhadap orang lain. Keberadaannya tidak dapat berdiri tegak dengan ketersendiriannya. Membutuhkan bantuan dan partisipasi pihak lain menjadi ciri khas dari “gen” manusia.

Dalam Q.S. al-Tīn [96]: 2, ditegaskan bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT dari al-‘alaq. Secara bahasa, menurut al-Raghib al-Ashfahani, al-‘alaq dimaknai al-tasyabbutsu bi al-syay`, (memegang sesuatu). Dari makna ini, muncul pengertian bahwa al-‘alaq adalah sesuatu yang bergantung dan berdempet. Bisa jadi, bagi ilmuwan biologi, al-‘alaq dipahami dengan sesuatu yang berbentuk darah beku yang berasal sperma kemudian bergantung dan melekat pada dinding rahim secara kuat. Atas dasar ini, dalam terjemahan Alquran, seringkali al-‘alaq diartikan dengan segumpal darah atau segumpal daging. Akan tetapi, bagi para ilmuwan psikologi, al-‘alaq lebih dipahami dengan “sifat ketergantungan”, karena memang pada dasarnya kata al-‘alaq artinya bergantung/memegang kepada yang lain. Secara faktual, manusia tidak bisa hidup sendiri, membutuhkan bantuan dan peran serta orang lain.

Dalam konteks silaturahim, memahami bahwa manusia diciptakan dari “sifat ketergantungan” tampaknya memiliki relevansinya tersendiri. Terlebih dalam tradisi halal bi halal, kita disadarkan akan hakikat kemanusiaan yang selalu menergantungkan kepada orang lain. Silaturahim yang terdiri atas kata silat (menyambung) dan al-rahīm (kasih sayang), menunjukkan betapa manusia diminta untuk benar-benar kembali ke jati dirinya: membangun relasi sosial yang positif karena ia tidak bisa hidup secara sendiri. Sehebat apapun seseorang, ia tidak mampu mengerjakan segala sesuatunya dengan ketersendiriannya. Karenanya, membangun hubungan harmonis antar-sesama merupakan sebuah keniscayaan.

Dalam hadis qudsi, Allah berfirman: “Aku adalah al-Rahmān (Dzat Yang Maha Pengasih). Dan kata al-Rahīm (kasih sayang) itu dikeluarkan menjadi salah satu nama-Ku. Siapa yang menyambungkan kasing sayang (silaturahim), maka aku sambungkan ia dengan nama-Ku (al-Rahīm) itu. Siapa yang memutuskan kasih sayang (silaturahim), maka aku putuskan ia dengan nama-Ku (al-Rahīm) itu.” Hadis ini mengungkapkan reward dan punishment yang dijanjikan Tuhan bagi perilaku manusia. Kasih sayang Tuhan yang demikian besar hanya akan diberikan bagi manusia yang mau menjalin keharmonisan antar-sesama. Sementara bagi yang mengabaikan, keharmonisan itu akan dijauhkan dari kasih sayang-Nya.

Baca Juga  Klaim Kecurangan Pemilu atas Nama Agama

Syaikh Hafizh Hasan Al-Mas’udi, ulama al-Azhar Mesir abad ke-20 M, dalam karyanya Taysīr al-Khalaq, secara tuntas membahas etika silaturahim baik dengan orang tua, keluarga-kerabat, tetangga, dan dalam interaksi sosial antar-sesama dengan demikian detail. Menurutnya, rasa persaudaraan (al-ukhuwwah) antara satu orang dengan orang lain harus mampu memunculkan kasih sayang yang mendalam (al-mawaddah). Untuk memunculkan itu, kita dituntut untuk memiliki sikap lapang dada, saling membantu baik secara materi, tenaga, maupun sikap batin, seperti memaafkan, ketulusan, dan kesetiaan.

Singkatnya, silaturahim dengan berbagai mekanisme dan cara, meski dalam situasi Covid-19, tetap kita lakukan. New normal akan mengubah tentang cara dan bentuknya saja, sebagaimana hukum kekekalan energi, tetapi tetap menjaga substansi. Kasih sayang dan keharmonisan antar-sesama tetap kita jaga, sebab itu adalah substansi dan kebutuhan dari “gen” manusia, dengan mewujudkan halal bi halal yang diselaraskan dengan situasi dan kondisi masing-masing. Selamat berhalal bi halal; semoga tetap sehat fisik dan suci batin. Amin. [MZ]

Suwendi Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Diktis Kementerian Agama RI; Dewan Pakar Persada-NU (Persatuan Dosen Agama Nahdlatul Ulama); dan Ketua DPP FKDT (Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *