Sebelumnya: Menyikapi Radikalisme Agama… (1)
Takfiri dan Silang Sudut Pandang
Akhir-akhir ini lazim kita temui umpatan ‘kafir,’ ‘sesat’ berseliweran di lini media sosial. Hal itu bisa kita telisik setidaknya mulai Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 sampai dengan saat ini. Terminologi tersebut seolah menjadi konsumsi publik yang tak pernah lekang terutama jika menyangkut tafsir keagamaan. Meski sesungguhnya narasi kebencian baik dengan non-Muslim maupun sesama Muslim itu sudah lama menggejala. Setidaknya hal itu (kembali) ramai ketika menjelang kontestasi politik. Dengan kata lain, tumpang tindih dan gejolak riuh pemahaman keagamaan itu sesungguhnya disebabkan oleh fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu kontestan politik dan pendangkalan pemahaman (teks) keagamaan.
Akibatnya teks-teks suci menjadi corpus yang eksklusif atas pembacaan yang lain. Padahal Islam itu historis, oleh karenanya ia tak bisa dipahami hanya sekadar tekstualis semata. Islam harus dipahami dalam konteks yang menyertainya agar Islam kembali menjadi agama yang sangat apresiatif dan penuh perasaan dalam merespon masalah umat. Bukan malah menjadi agama yang seolah tampak tak peka dan keras (Wahid [ed.], 2009).
Dalam fenomena takfiri dan pendangkalan pemahaman Islam ini, Gus Dur jauh-jauh hari juga sudah mengalami. Ia dihujat oleh banyak orang, baik dari kalangan NU maupun lainnya hanya karena salah memahami ungkapannya. Gus Dur menjadi ladang penghakiman saat mengatakan bahwa ‘Assalâmu’alaikum’ dapat diganti dengan ucapan lain. Namun bukan Gus Dur namanya kalau tidak nyeleneh dan melawan arus.
Syukron Makmun dari Kebayoran Baru (Jakarta Selatan) pada saat itu menuduh Gus Dur ingin mengubah salah satu bacaan dalam rukun salat (salam) dengan ucapan ‘selamat pagi atau sore.’ Dengan santai, Gus Dur menjelaskan duduk perkara dan yang dimaksud boleh mengganti ucapan ‘Assalâmu’alaikum’ itu dalam konteks ungkapan atau sapaan ketika kita bertemu dengan orang lain, bukan dalam hal peribadatan, sebagaimana lazim dilakukan oleh para syaikh yang menjadi dosen di Universitas AlAzhar, Kairo yang sering mengubah “tanda perkenalan” tersebut dengan ‘selamat pagi yang cerah’ (shabâh al-nûr).
Maka sesungguhnya seringkali orang lupa dengan sabda Nabi Muhammad Saw yang terkenal: “Barang siapa mengafirkan saudara yang beragam Islam, justru ialah yang kafir (man kaffara akhâhu musliman fahuwa kâfirun)”(Wahid, 2006).
Maka prahara yang terjadi di kalangan umat Muslim Indonesia saat ini—salah satunya—hanya menyangkut perbedaan sudut pandang semata dan jauh-jauh hari Gus Dur sudah meneladani dengan menyikapi secara bijak tanpa harus menghakiminya. Sehingga jika kita mau saling ber-tabayun dan membuka mata, Indonesia sebetulnya layak dijadikan prototipe sebagai bangsa Muslim teramah (smiling face of Islam) sedunia dengan pusparagam khazanah tradisi, budaya dan agamanya.
Saya jadi eling dengan kata-kata M. Jadul Maula (2019), bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesungguhnya adalah “Negara Islam”-nya umat Islam Indonesia, setidaknya itu menurut keyakinan Nahdlatul Ulama (NU). Jadi proyek (ilusi) negara Islam atau segala formalisasi syariat Islam yang sampai sekarang masih menjamur adalah konsepsi yang keliru karena pada hakikatnya nilai-nilai dasar agama Islam sudah tercermin dalam ke(be)ragam(a)an bangsa Indonesia.
Bagi Gus Dur (2010), selama pemerintah bisa mencapai dan mewujudkan keadilan dan kemakmuran, hal itu sudah sesuai dengan kemauan Islam. Sebab menurut Gus Dur, ada yang jauh lebih penting ketimbang kekuasaan—apalagi hanya memperdebatkan perbedaan (sudut pandang) agama, ras, suku maupun budaya—yaitu kemanusiaan. [AZH]