Zunly Nadia Dosen STAISPA Yogyakarta

Sahabat Perempuan dan Subjektivitas dalam Meriwayatkan Hadis

2 min read

Peran perempuan dalam periwayatan hadis menjadi salah satu bukti keterlibatan perempuan dalam transmisi pengetahuan dalam Islam. Pada masa Nabi, majelis-majelis taklim tidak hanya dihadiri oleh para lelaki, tetapi juga dihadiri oleh para sahabat perempuan.

Para sahabat perempuan ini juga tidak malu dan sungkan untuk langsung bertanya kepada Nabi tentang berbagai persoalan tidak hanya persoalan agama tetapi juga persoalan sosial kemasyarakatan. Mereka inilah yang kemudian berperan aktif dalam menyebarkan dan meriwayatkan hadis.

Selain berperan sebagai agen transmisi pengetahuan agama, keterlibatan perempuan dalam ruang publik juga menjadi hal yang diperbolehkan bahkan lumrah pada masa Kanjeng Nabi. Dari sini, teks-teks hadis yang diriwayatkan oleh sahabat perempuan menjadi gambaran  bagaimana keterlibatan sahabat perempuan dalam berbagai ruang publik, bahkan lebih jauh lagi, teks-teks hadis tersebut juga menggambarkan bagaimana konstruksi gender di dalam masyarakat Arab masa itu.

Di antara sekian banyak perempuan, Aisyah merupakan periwayat yang paling banyak meriwayatkan hadis dengan cakupan tema yang beragam. Tidak hanya terkait persoalan domestik tetapi juga  persoalan  publik (sosial kemasyarakatan). Setelah itu Ummu Salamah yang meriwayatkan kurang lebih 622 hadis. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah juga banyak menceritakan tentang berbagai macam hal termasuk persoalan rumah tangga.

Hampir semua istri kanjeng Nabi meriwayatkan tentang peristiwa dan aktivitas mereka yang dilakukan bersama dengan Kanjeng Nabi, kecuali Saudah binti Zam’ah. Beliau yang paling sedikit meriwayatkan hadis, yakni 9 hadis. Meskipun dia adalah istri yang paling lama mendampingi Nabi Saw, namun demikian kedekatan dan intensitas pertemuan Saudah memang tidak sebanyak istri Nabi yang lain.

Selain para istri Kanjeng Nabi, terdapat 16 sahabat perempuan lain yang juga tercatat pernah meriwayatkan hadis. Mereka ini masih mempunyai hubungan keluarga dengan Rasulullah, diantaranya adalah sayyidah Fatimah (putri Nabi), putri dari istri-istri Nabi Saw seperti Zainab binti Abi Salamah dan Habibah binti Ubaidillah bin Jahsy, saudara sepupu Nabi Saw, bibi Nabi Saw, mertua Nabi Saw serta saudara ipar Nabi Saw seperti Asma binti Abu Bakar, dan Hamnah binti Jahsy.

Baca Juga  Mengamini Gerakan Muda Yang Berperan Aktif Dalam Menghadapi Isu Radikalisme

Selain itu, terdapat 107 sahabat perempuan di luar keluarga Nabi saw yang meriwayatkan hadis Nabi Saw. Dari 107 sahabat perempuan tersebut yang meriwayatkan hadis terbanyak adalah Nusaibah binti Ka’ab atau Ummu Atiyah yang meriwayatkan 119 hadis dan Safiyah binti Syaibah yang meriwayatkan 116 hadis.

Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat perempuan di luar keluarga Nabi Saw ini juga meriwayatkan hadis terkait dengan aktivitas atau peristiwa yang dilakukan bersama Nabi Saw. Seperti perang, baiat perempuan, haji, shalat berjemaah dan lain sebagainya.

Sebagai perempuan, mereka tentu mempunyai subjektivitas perempuan dalam meriwayatkan sebuah hadis. Subjektivitas di sini maksudnya menyangkup sebuah konsep yang terkait dengan kesadaran, kepribadian, agensi, realitas dan kebenaran (Paola Rebughini: 2014).  Dalam konteks masyarakat patriaki, dimana perempuan harus mempunyai bahasa sendiri yang mendefinisikan apa yang ada padanya dan bukan dari bahasa yang tidak berpihak kepadanya.

Dari sini kemudian, proses periwayatan hadis oleh periwayat perempuan tidak hanya memperlihatkan peran perempuan dalam transmisi ilmu pengetahuan, tetapi juga memperlihatkan perempuan sebagai aktor dan bukan dalam bentuk yang didominasi oleh institusi sosial.

Dengan demikian, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat perempuan tidak lepas dari subjektivitas mereka. Terkait dengan hal ini, penulis mengkategorikan beberapa hal yang menunjukkan subjektivitas periwayat perempuan di dalam hadis yang diriwayatkan.

Misalnya, pengaruh peran dan ideologi politik periwayat perempuan, sebagaimana hadis Aisyah dan Asma binti Abu Bakar. Dan, kedua, pengaruh profesi periwayat perempuan. Dalam hal ini baik aktivitas yang terjadi di ruang publik maupun aktivitas yang dilakukan secara pribadi, juga pengaruh profesi perempuan dan persoalan perempuan seperti haid, nifas, massa iddah, dan najis.

Baca Juga  Haruskah Wanita yang Menjalani ‘Iddah Stay at Home? Begini Analisis Fikihnya

subyektifitas perempuan dalam periwayatan hadis ini memperlihatkan historisitas sahabat perempuan yang cukup kental berpengaruh terhadap hadis yang mereka riwayatkan. Hal ini menunjukkan betapa sebenarnya sahabat Nabi bukanlah orang yang sempurna dan tidak terjamah atau jauh dari konteks kemanusiaan, dan justru sebaliknya hal ini menunjukkan bagaimana sahabat Nabi Saw adalah manusia biasa yang bertindak dan berperilaku sebagaimana manusia pada umumnya.

Adakalanya terjadi perselisihan antar-sahabat, saling tidak bertegur sapa, tetapi adakalanya juga mereka saling berbagi dan saling bekerjasama dengan yang lainnya.

Selain itu, subjektivitas periwayat perempuan ini setidaknya memberikan rujukan bagi konstruksi gender di dalam masyarakat muslim, dimana keterlibatan mereka dalam ruang publik dan dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan bukanlah hal yang tabu. Aksi protes yang dilakukan perempuan juga menjadi hal yang biasa terjadi di dalam dinamika sosial masyarakat. Sebuah gambaran bagi sebuah masyarakat yang sangat moderat.

Tanpa visi dan misi yang revolusioner dan diiringi dengan aksi nyata dalam sebuah gerakan sosial oleh Nabi Saw, tidak mungkin ajaran Islam bisa dengan mudah dikenal dan menyebar di seluruh penjuru dunia.

Dengan demikian, upaya untuk mengembalikan posisi perempuan sebagaimana era Nabi Saw bukanlah dengan membatasi peran mereka di ruang publik, tetapi justru  dengan memberikan kesempatan, keamanan dan kenyamanan bagi perempuan untuk berkiprah di ruang publik. Memposisikan mereka sebagai subjek dan bukan sebagai objek.

Memandang mereka secara sosial dan intelektual yang bisa memberikan kontribusi bagi masyarakat yang luas, bukan hanya sekadar  memandang mereka secara seksual. Posisi setara  (egaliter) tanpa memandang perbedaan jenis kelamin dan status sosial di dalam masyarakat muslim inilah yang menjadi konsepsi ideal dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Karena hanya sisi ketakwaanlah yang akan membedakan manusia di hadapan Tuhannya. [AA]

Zunly Nadia Dosen STAISPA Yogyakarta