Iffah Muzammil Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya; Pengasuh PP. Asshomadiyah Burneh Bangkalan Madura

Haruskah Wanita yang Menjalani ‘Iddah Stay at Home? Begini Analisis Fikihnya

4 min read

Pada tangga 18 Februari 2020 yang lalu, publik dikejutkan dengan berita kematian Ashraf Sinclair. Suami penyanyi Bunga Citra Lestari (BCL) ini dikabarkan meninggal karena serangan jantung. Tak pelak, jagad berita dibombardir dengan berita seputar kematian sang aktor. Mulai dari kisah cintanya, jejak karirnya, hingga bisnis yang digelutinya. Muka sembab BCL yang meratapi kepergian sang suami wara-wiri ditayangkan di berbagai media.

Tepat 10 hari sejak kematian Ashraf, publik kembali dikejutkan dengan berita kemunculan BCL menyanyi di panggung dalam acara yang digelar di Coca-Cola SQ Dome, Jakarta Selatan (tribunnews.com). Publik untuk kesekian kalinya dibuat heboh terutama bagi kalangan umat Islam terkait apakah yang dilakukan BCL dapat dibenarkan secara agama, mengingat dalam syariat Islam, seorang wanita yang ditinggal mati suaminya harus menjalani masa ‘iddah?

Hak dan Kewajiban Selama ‘Iddah

Secara bahasa, ‘iddah berarti hitungan. Secara istilah, ‘iddah adalah “waktu tertentu dimana seorang wanita menunggu dan tidak boleh menikah pasca-wafatnya suaminya atau terjadinya perceraian” (Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 2008).

Namun demikian, masa ‘iddah tersebut berbeda berdasarkan keadaan masing-masing. Bagi wanita yang putus pernikahan karena cerai hidup, jika dalam keadaan hamil, masa ‘iddah-nya sampai melahirkan (Q.S. al-Talāq [65]: 4). Jika tidak hamil, sudah dikumpuli, belum menopause ataupun belum/tidak pernah haid, masa ‘iddah–nya adalah tiga kali qurū’ (Q.S. al-Baqarah [2]: 228]. Mayoritas ulama berpendapat bahwa qurū’ adalah suci, sementara Hanafīyah dan salah satu riwayat Hanbalī berpendapat bahwa qurū’ adalah haid (‘Alī al-Sabūnī, Rawā’i’ al-Bayān, t.th.). Jika bercerai ketika sudah menopause atau belum/tidak pernah haid, masa ‘iddah-nya adalah tiga bulan (Q.S. al-Talāq [65]:4). Sementara jika bercerai sebelum dikumpuli, maka tidak ada ‘iddah (Q.S. al-Ahzāb [33]:49).

Kondisi kedua adalah putus pernikahan karena ditinggal mati. Jika tidak hamil, masa ‘iddah-nya adalah empat bulan sepuluh hari (Q.S. al-Baqarah [2]: 234). Masa ‘iddah ini berlaku, baik wanita itu dewasa atau masih kecil; sudah dikumpuli atau belum; sudah menopause atau belum atau memang belum atau tidak pernah haid. Oleh sebab itu, argumen sebagian ulama bahwa ‘iddah ditujukan untuk mengetahui bersihnya rahim tidak terlalu tepat, karena ternyata syariat ‘iddah ini berlaku bagi semua wanita yang disebut di atas, di mana sebagian mereka tidak mungkin hamil. Di samping itu, bersihnya rahim seorang wanita juga dapat diketahui dengan satu kali haid saja. Adapun dalam kondisi hamil, masa ‘iddah-nya adalah sampai melahirkan (Q.S. al-Talāq [65]: 4).

Baca Juga  Obituarium Sayyidah Khadijah: Keabadian Cinta dan Tonggak Perjuangan Perempuan

Dalam berbagai kitab fiqh seperti karya Ibnu Rushd, Wahbah al-Zuhaily, serta al-Jazīrī, dijelaskan, bahwa selama menjalani ‘iddah, ada beberapa hak dan kewajiban bagi wanita. Pertama, mendapatkan tempat tinggal, baik karena dicerai ataupun ditinggal mati (Q.S. al-Talāq [65]: 1).

Kedua, mendapatkan nafkah. Jika ditalak raj’ī ia berhak mendapat nafkah penuh, yakni sandang, pangan, dan papan, baik dalam keadaan hamil atau tidak. Jika ditalak bā’in, ia juga berhak mendapatkan nafkah penuh jika hamil (Q.S. al-Talāq [65]: 6), tapi jika tidak hamil, hanya berhak mendapatkan tempat tinggal, tanpa nafkah (Q.S. al-Talāq [65]: 6). Kewajiban menyediakan tempat tinggal dalam ayat tersebut berbentuk mutlak, baik wanita tersebut hamil atau tidak. Namun kewajiban memberi nafkah sandang dan pangan dipersyaratkan bagi yang hamil saja. Wanita yang ditinggal mati suaminya tidak berhak mendapatkan nafkah, karena kematian mengakhiri hubungan suami istri.

Ketiga, jika salah satu pihak meninggal sebelum masa ‘iddah berakhir dalam talak raj’ī, kedua pihak tetap saling mewarisi, sementara itu untuk kasus talak ba’in, menurut Shāfi’iyah tidak bisa saling mewarisi.

Adapun kewajiban/larangan yang berlaku selama menjalani ‘iddah, adalah: pertama, tidak boleh dipinang secara terang-terangan, baik wanita itu menjalani ‘iddah karena ditinggal mati atau bercerai, baik talak raj’i maupun ba’in. Adapun pinangan secara sindiran boleh dilakukan bagi wanita yang menjalani ‘iddah karena ditinggal mati (Q.S. al-Baqarah [2]: 235), serta wanita yang dicerai ba’in, baik sughrā atau kubrā.

Kedua, tidak boleh menikah dengan laki-laki lain (Q.S. al-Baqarah [2]: 235).

Ketiga, menjalani ihdād, yakni tidak berhias dan semisalnya. Ihdād didasarkan pada hadis Nabi antara lain dalam al-Muwatta Imam Mālik, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir ber-ihdād atas kematian seseorang melebihi tiga malam, “kecuali kepada suaminya 4 bulan 10 hari”. Namun demikian, sebagian ulama menyatakan bahwa hadis tersebut hanya menunjukkan hukum mubah.

Baca Juga  Perempuan-Perempuan Hebat dalam Lintasan Sejarah

Bolehkah Wanita yang Sedang Menjalani ‘Iddah Keluar Rumah?

Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh (2004), menjelaskan, setidaknya ada tiga pendapat di kalangan ulama mazhab mengenai hal tersebut. Pertama, Hanafīyah membedakan antara wanita bercerai dan wanita yang ditinggal mati. Jika wanita tersebut menjalani ‘iddah karena bercerai, baik raj’ī, maupun bā’in, maka haram baginya keluar rumah baik siang maupun malam berdasarkan Q.S. al-Talāq [65]: 1 dan Q.S. al-Talāq [65]: 6. Dalam ayat pertama, secara jelas wanita yang sedang ‘iddah dilarang keluar rumah. Sementara itu dalam ayat kedua ada perintah untuk ‘menempatkan’ mereka di rumah. Perintah untuk memberi rumah dapat dipahami sebagai bentuk larangan untuk keluar rumah.

Adapun bagi wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah karena ditinggal mati, larangan keluar rumah hanya berlaku pada malam hari saja, sementara pada siang hari mereka “boleh keluar rumah sebatas kebutuhan saja, sebab mereka harus mencari nafkah”. Hal ini berbeda dengan wanita bercerai dimana selama masa ‘iddah, nafkah mereka masih berada dalam tanggungan ‘mantan’ suaminya. Namun demikian, dalam situasi “darurat”, mereka boleh keluar rumah.

Sementara itu, Shāfi’īyah melarang mu’taddah keluar rumah, baik siang maupun malam, baik karena ditinggal mati, maupun karena bercerai, baik talak raj’ī maupun talak bā’in, “kecuali ada uzur”. Di samping beralasan Q.S. al-Talāq [65]: 1, kelompok ini juga mengemukakan sebuah riwayat dari Rufai’ah binti Mālik yang berkata, “Saya bertanya kepada Nabi, ‘saya ada di rumah sendirian dalam keadaan sedih, bolehkah saya menjalani ‘iddah di rumah keluarga saya?’. Nabi menjawab, ‘tetaplah di rumahmu di mana suamimu meninggal hingga selesai masa ‘iddah-mu’. Maka aku menjalani ‘iddah-ku di rumah itu hingga 4 bulan 10 hari”.

Mālikīyah dan Hanābilah memiliki pandangan paling longgar. Dalam pandangan dua mazhab ini, mu’taddah (wanita yang sedang ‘iddah) diperbolehkan keluar rumah pada siang hari, baik dia ‘iddah karena cerai atau karena ditinggal mati, “sepanjang ada kebutuhan”. Alasan kelompok ini di antaranya adalah sebuah riwayat dari Jābir ketika bibinya dicerai tiga, ia keluar rumah untuk memetik kurma. Kemudian ada seseorang melarangnya. Akhirnya, ia lapor kepada Rasul dan Rasul bersabda, “lakukan saja, barangkali dengan begitu kamu bisa bersedekah atau melakukan kebaikan”.

Baca Juga  Perempuan dalam Keluarga Islam

Jika membaca pendapat di atas, seluruh imam mazhab sepakat bahwa mu’taddah dapat keluar rumah sepanjang ada darurat, kebutuhan, atau uzur, seperti mencari nafkah, berobat, dan lain-lain. Dengan demikian, kepentingan tahsīnīyat semacam menghadiri kondangan, rekreasi, dan lain-lain, bukan bagian dari pemenuhan kebutuhan, baik dalam rangka menghindari bahaya ataupun masyaqqah.

‘Merumahkan’ wanita saat menjalani masa ‘iddah tidak bisa disebut sebagai ‘penjajahan’ bagi wanita. Tuntunan ini setidaknya memenuhi dua kesejalanan. Pertama, sejalan dengan naluri manusia. Kedua, sejalan dengan nilai ‘kepatutan’ di tengah masyarakat. Berpisah dengan suami tentu menimbulkan goncangan jiwa sehingga membutuhkan waktu untuk menata hati dan jiwa dengan menyendiri dan berkumpul bersama keluarga, serta mengurangi interaksi dengan orang lain yang bisa jadi mengusik ketenangan hati yang sedang dicari.

Beraktivitas ‘sebagaimana biasa’ pasca-perpisahan dengan suami juga tidak sejalan dengan nilai kepatutan di tengah masyarakat dan dapat menimbulkan prasangka buruk yang akan mengganggu ketenangan hidup yang bersangkutan. Namun demikian, kebutuhan hidup tetap harus dipenuhi. Memenuhi kebutuhan hidup adalah bagian dari kewajiban yang melampaui kepatutan. Oleh sebab itu, melakukan kegiatan secara terbatas—sebatas memenuhi kebutuhan—adalah ijtihad yang paling masuk akal.

Di sisi lain, tuntunan stay at home selama ‘iddah memberi isyarat bahwa semestinya seorang laki-laki mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga yang ditinggalkannya setidaknya selama masa ‘iddah, sehingga wanita tidak perlu terbebani nafkah pada saat ia membutuhkan kekuatan batin akibat perpisahan dengan suaminya. Bukankah al-Qur’an telah memberi kehormatan kepada laki-laki sebagai manusia yang dipercaya mampu memberi nafkah bagi keluarganya? Bukankah laki-laki tidak perlu stay at home saat berpisah dari istrinya karena ia harus terus menopang hidup keluarganya? Allah A’lam. [MZ]

Iffah Muzammil Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya; Pengasuh PP. Asshomadiyah Burneh Bangkalan Madura

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *