Ibn Arabi versus Sartre: Apakah Kita Diciptakan, atau Kita Menciptakan Diri Sendiri?

Pertanyaan apakah manusia diciptakan atau menciptakan diri sendiri merupakan inti dari salah satu ketegangan filosofis, di mana diskursus ontologi ketuhanan versus kebebasan eksistensial saling bersitegang. Tokoh yang menggambarkan ketegangan ini lebih gamblang adalah Ibn Arabi, sufi abad ketiga belas, dan Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis Prancis abad ke-20.

Membandingkan keduanya berarti berupaya menyandingkan gagasan dan visi filosofis yang bertolak belakang satu sama lain, sebab yang satu didasarkan pada realitas ketuhanan, dan yang lainnya disandarkan pada kebebasan otonom manusia di mana manusia tak perlu lagi gagasan tentang eksistensi Tuhan.

Mencoba membandingkan kedua tokoh ini merupakan cara mempertanyakan bagaimana kita memahami tanggung jawab, kebebasan, etika, dan pada akhirnya apa arti eksistensi itu sendiri.

Bagi Ibn Arabi, eksistensi bukanlah sesuatu yang kebetulan atau tercipta dengan sendirinya. Segala sesuatu berawal dari Yang Hakiki (al-Haqq), satu-satunya wujud sejati. Penciptaan terbentang sebagai tajalli, yaitu manifestasi nama-nama dan sifat-sifat ilahi yang tak henti-hentinya pada level kosmis.

Maka, manusia bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebuah lokus manifestasi, cermin yang melaluinya Tuhan melihat diri-Nya. Menjadi manusia berarti diciptakan, ya, tetapi lebih radikal lagi, diciptakan kembali secara terus-menerus di setiap saat. Secara ontologis, kita bergantung pada Tuhan; secara metafisik, kita berpartisipasi dalam kreasi Tuhan; dan secara spiritual, kita diundang untuk menyadari kontingensi kita sendiri.

Kebebasan manusia, dalam pandangan dunia ini, bukanlah kekuatan untuk menciptakan diri sendiri dari ketiadaan (ex nihilo), melainkan kapasitas untuk mengenali jejak ilahi dalam diri sendiri. Diri tidak menciptakan esensinya, melainkan ia menemukan bentuk-bentuk yang melaluinya Tuhan menjadi hadir.

Oleh karena itu, pilihan dan kebebasan bukanlah sesuatu yang sewenang-wenang, melainkan sesuai dengan dinamika makna ilahi. Mengenal diri sendiri, dalam ungkapan terkenal para, berarti mengenal Rabb, bukan sebagai penguasa eksternal, melainkan sebagai landasan metafisik setiap eksistensi.

Sartre memulai dari ujung yang berlawanan. Tidak ada esensi yang telah ditentukan sebelumnya, tidak ada cetak biru ilahi, tidak ada arsitektur metafisik di balik eksistensi manusia. Kita, dalam kalimatnya yang paling sering dikutip, “dikutuk untuk bebas”, yaitu terlempar ke dalam eksistensi begitu saja dan wajib menciptakan makna kita sendiri.

Bagi Sartre, manusia membentuk dirinya sendiri melalui tindakan. Identitas tidak ditemukan, melainkan ditempa, dari waktu ke waktu, melalui pilihan-pilihan dan kehendak bebas. Diri bukanlah cerminan sifat-sifat ilahi, melainkan sebuah proyek yang belum selesai, tidak stabil, dan hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri.

Jika Ibn Arabi menggambarkan dunia sebagai teater manifestasi ilahi (tajalli), Sartre secara radikal melihatnya sebagai lanskap otonomi diri. Tidak ada Pencipta yang merancang kita. Manusia menciptakan dirinya sendiri, dan dengan demikian, memikul tanggung jawab penuh atas segala yang ia lakukan. Kebebasan itu menggembirakan, tetapi juga menakutkan; ia membuka kemungkinan-kemungkinan tak terbatas sekaligus menyangkal kenyamanan jaminan metafisik.

Jika keduanya disandingkan, kontrasnya tampak hampir tak terdamaikan. Ibn Arabi mengakarkan diri dalam sumber transenden, sedangkan Sartre menghancurkan landasan metafisik sepenuhnya. Yang satu berbicara dalam bahasa ketergantungan ilahi, sementara yang lain menyatakan kemandirian eksistensial.

Sebetulnya dua gagasan yang berdiri secara diametral ini menjadi lebih menarik jika kita mencoba menelaah bagaimana masing-masing pemikir membayangkan proses perkembangan manusia.

Bagi Ibn Arabi, penciptaan tidaklah pasif. Kosmos bukanlah patung statis yang dibuat sekali dan dibiarkan begitu saja. Kosmos adalah penyingkapan dinamis di mana manusia berpartisipasi dalam proses penciptaan. Meskipun kita tidak menciptakan diri kita sendiri, kita berkolaborasi dengan proses ilahi dengan mengarahkan kesadaran, niat, dan kapasitas kita.

Dengan kata lain, manusia menjadi mitra pencipta. Dalam pengertian ini, Ibn Arabi tidak menyangkal agensi manusia. Malahan, ia membingkainya kembali sebagai kebebasan relasional, kebebasan yang berakar pada keintiman ontologis dengan al-Haqq.

Sementara itu, Sartre mengakui bahwa manusia dibentuk oleh situasi, seperti sejarah, kondisi sosial, tubuh, dan emosi. Dengan kata lain, kebebasan manusia masih memiliki keterbatasannya. Namun demikian, Sartre menegaskan bahwa bahkan dalam keterbatasan, kita tetap bebas memilih respons kita. Artinya, kita mewarisi keadaan, tetapi kita tidak mewarisi esensi. Jika Ibn Arabi membayangkan manusia sebagai wadah manifestasi ilahi, Sartre membayangkan manusia sebagai penulis yang menulis tanpa pola.

Anehnya, kedua pemikir ini menentang determinisme. Ibn Arabi menolak alam semesta mekanistik dengan menegaskan bahwa setiap momen adalah tindakan ilahi yang baru. Sartre menolak determinisme dengan menegaskan bahwa setiap momen adalah tindakan manusia yang baru. Ketika Ibn Arabi berkata, “Kamu diciptakan secara terus-menerus,” Sartre menimpali, “Kamu harus menciptakan dirimu sendiri yang baru.” Jadi mana yang benar? Apakah kita diciptakan atau menciptakan diri sendiri?

Mungkin persoalannya bukan terletak pada memilih salah satu, tetapi pada pengakuan bahwa keduanya mengartikulasikan dimensi pengalaman manusia yang berbeda. Ibn Arabi berbicara tentang rasa tertanam dalam tatanan kosmik, penuh dengan makna yang lebih besar daripada diri kita sendiri.

Sementara itu, Sartre berbicara tentang rasa terlempar, terpaksa menjalani kehidupan dunia tanpa kepastian, bertanggung jawab untuk mengukir makna dari ambiguitas. Masing-masing menangkap kebenaran yang berisiko dikaburkan oleh yang lain.

Berada (to exist) barangkali berarti berdiri di persimpangan dua visi ini, yaitu dibentuk oleh kekuatan di luar diri kita tetapi mampu merespons. Artinya, eksistensi kita berakar pada sejarah, tubuh, hubungan, dan realitas metafisik yang tidak kita pilih, tetapi tetap terbebani—atau diberkati—dengan kekuatan untuk membentuk diri kita.

Ibn Arabi mengajak kita untuk melihat diri kita sebagai ekspresi kemungkinan ilahi. Sartre menantang kita untuk memiliki kebebasan kita tanpa ilusi. Di antara keduanya terdapat ketegangan yang produktif, sebuah pengingat bahwa menjadi manusia berarti diberi sekaligus membentuk, mewarisi eksistensi dan membentuk kehidupan di dalamnya.

Dalam hal ini, pertanyaannya bukanlah sekadar “apakah kita diciptakan?” atau “apakah kita menciptakan diri kita sendiri?” Kenyataannya mungkin kita selalu melakukan keduanya.

0

Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.blogspot.com

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.