Alkisah, suatu hari seorang laki-laki berjubah sufi sedang berjalan-jalan, dan ketika melihat seekor anjing mendekati dirinya, ia memukulnya dengan keras dengan tongkatnya. Anjing itu, sambil menggonggong kesakitan, berlari ke arah orang bijak di sudut gang.
Anjing tersebut menunjukkan pada orang bijak tersebut bahwa kakinya terluka lantaran dipukul si laki-laki berjubah sufi. Si anjing meminta keadilan terhadap si sufi yang telah memukulnya dengan begitu kejam.
Orang bijak memanggil si sufi dan berkata, “Wahai orang yang lalai! Bagaimana bisa Anda memperlakukan hewan ini sedemikian rupa. Lihatlah apa yang telah Anda lakukan!”
Sufi itu menjawab, “Itu bukan kesalahanku, melainkan kesalahan si anjing sendiri. Aku tidak memukulnya hanya karena iseng, tetapi karena dia telah mengotori jubah kesufianku.”
Anjing itu berkata, “Ketika saya melihat laki-laki ini mengenakan jubah sebagaimana para sufi, aku dapat menyimpulkan bahwa dia tidak akan menyakitiku. Sementara kalau saja dia mengenakan pakaian biasa, tentu aku tidak akan melakukan hal tadi. Kesalahanku sebenarnya adalah berasumsi bahwa penampilan luar orang ini menunjukkan karakter batinnya.”
Dalam cerita ini, kita membaca adanya seseorang berpakaian atau berjubah sufi, anjing yang dipukul oleh orang tersebut, dan orang bijak yang mencoba mengatasi situasi dan menengai konflik dari keduanya.
Dari sudut pandang agama, cerita ini menawarkan pelajaran mendalam tentang welas asih dan perlakuan terhadap semua makhluk hidup. Sufi, yang mewakili seorang praktisi spiritual, diharapkan mewujudkan kebajikan seperti kebaikan, belas kasihan, dan pengertian. Namun, tindakannya memukul anjing bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Dalam banyak tradisi agama dan spiritual, hewan dianggap sebagai bagian dari ciptaan Tuhan dan patut dihargai dan dirawat. Dengan menganiaya anjing, si sufi gagal mengenali nilai dan martabat yang melekat pada semua makhluk. Ini berfungsi sebagai pengingat bahwa afiliasi agama atau spiritual saja tidak menjamin perilaku moral atau wawasan spiritual.
Selain itu, cerita ini memunculkan isu tentang sifat kemunafikan dalam beragama dan pentingnya transformasi batin, alih-alih atribut luaran. Pembelaan si sufi, bahwa dia memukul anjing itu sebagai tanggapan atas tindakan si anjing, mencerminkan pola pikir yang membenarkan bahaya atau kesalahan berdasarkan tingkah lahiriah si anjing. Pola pikir ini secara gamblang bertentangan dengan ajaran kebajikan seperti kesabaran, pengampunan, dan welas asih tanpa kekerasan.
Orang bijak dalam cerita di atas mewakili kebijaksanaan dan pencerahan spiritual. Ia berbicara kepada si sufi, mengkritik tindakannya dan mengingatkannya tentang tanggung jawabnya untuk memperlakukan semua makhluk dengan kebaikan. Teguran orang bijak tersebut menyoroti pentingnya refleksi batin dalam konteks spiritual yang lebih luas.
Sebagai orang bijak, ia berani mengakui kesalahan si sufi dan menggunakan kejadian tersebut sebagai kesempatan untuk introspeksi dan refleksi. Lebih lanjut, dengan mempertemukan kedua belah pihak, ia menciptakan ruang untuk dialog dan pemahaman. Ia mencontohkan kualitas orang yang berbelas kasih dan adil yang berusaha mendamaikan konflik.
Kehadiran orang bijak tersebut menunjukkan bahwa pemimpin agama yang sejati seharusnya tidak hanya memiliki pengetahuan dan otoritas, tetapi juga menunjukkan kebijaksanaan, empati, dan komitmen terhadap keadilan.
Anjing, meskipun merupakan karakter yang kerap kali dipinggirkan, menghadirkan perspektif yang menggoncang pemahaman status quo. Ia mengakui kesalahannya sendiri dengan menganggap bahwa seseorang yang berjubah sufi akan menjamin keselamatannya. Dengan demikian, dari anjing tersebut kita dapat menyadari bahayanya menilai individu semata-mata berdasarkan atribut luaran atau peranannya di masyarakat.
Anjing yang menuntut keadilan menunjukkan bahwa si sufi harus dilucuti dari pakaian spiritualnya, karena tindakannya ternyata bertentangan secara mencolok dengan kebajikan yang terkait dengan pakaian tersebut. Aspek cerita ini menunjukkan bahwa keadaan batin dan kebijaksanaan harus menjadi faktor penentu karakter seseorang, bukannya penampilan luar atau status sosialnya.
Dari sudut pandang sosial, cerita ini menggarisbawahi pentingnya perilaku yang tulus dan bahayanya membuat asumsi berdasarkan penampilan. Lebih jauh, cerita ini mewanti-wanti kita mengenai kebiasaan kita yang acap mempercayai atau mengidolakan individu tertentu dengan membabi buta hanya berdasarkan afiliasi agama atau status sosial mereka, serta mendorong kita untuk melihat melampaui label dan simbol yang dangkal. Dengan kata lain, pesan mendalamnya adalah tentang bahayanya kepercayaan yang salah tempat.
Cerita pendek tersebut sebenarnya mengajak individu untuk melihat melampaui gejala permukaan dan atribut penampilan, sehingga kita bisa menatap karakter sebenarnya dari seseorang melalui tindakan dan perlakuan mereka terhadap makhluk lain. Kebijaksanaan sejati sesungguhnya terletak pada praktik welas asih dan empati yang konsisten terhadap semua makhluk.
Dengan merenungkan cerita tersebut, kita dapat mengambil hikmah untuk menumbuhkan welas asih yang tulus dan memperlakukan semua makhluk hidup dengan hormat dan tanpa pandang bulu. Setelah mengenali nilai yang melekat pada diri semua makhluk, terlepas dari latar belakang atau penampilan mereka, kita dapat memupuk keharmonisan, rasa hormat, dan empati dalam komunitas kehidupan kita ini. [AA]