Ahmad Akbar Syarifudin Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Telaah Teori Ashabiyah Ibn Khladun Kasus Konflik Intoleransi di Tanggerang

3 min read

ibn khaldun

Ibn Khaldun memberikan kontribusi yang signifikan dengan teorinya tentang ashabiyah, yang mengeksplorasi dampaknya terhadap pendirian, kesuksesan, dan kemunduran begara. Konsep ashabiyah berfungsi sebagai pilar utama teori sosial Ibn Khaldun.

Ashabiyah berasal dari kata “ashaba”, yang menunjukkan tindakan mengikat. Ashabiyah, secara fungsional, menunjukkan ikatan sosio-kultural yang dapat digunakan untuk mengukur potensi kolektif sosial. Lebih jauh lagi, ashabiyah dapat diartikan sebagai rasa solidaritas sosial, yang menyoroti pentingnya kesadaran kelompok, koherensi, dan harmoni.

Ashabiyah, atau solidaritas kelompok, memainkan peran penting dalam mencegah konflik dan ketidakadilan serta menjaga kohesi masyarakat, karena individu tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka atau melindungi diri mereka sendiri.

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial dan memiliki kecenderungan alami untuk hidup berkelompok. Manusia bergantung pada bantuan dan kolaborasi orang lain, tetapi mereka tidak dapat hidup berdampingan dan berkolaborasi dalam lingkungan yang diwarnai oleh konflik, permusuhan, dan ketidakadilan. Faktor-faktor ini akan membuat kehidupan sosial tidak dapat dicapai.

Oleh karena itu, kehadiran ashabiyah dan kemampuan untuk melakukan kontrol atau memerintah diperlukan. Ashabiyah mengacu pada keadaan kohesi sosial di mana suku atau kelompok berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama.

Namun demikian, perasaan kohesi sosial akan dirusak jika sebuah suku atau kelompok menjadi terpecah-pecah atau tidak lagi menginginkan kolaborasi. Oleh karena itu, pembentukan aliansi di antara suatu kelompok atau suku membutuhkan adanya seorang pemimpin atau raja yang memiliki kemampuan untuk mengusir tindakan agresi.

Ashabiyah yang kuat diperlukan untuk mendirikan sebuah kerajaan atau dinasti yang tangguh. Oleh karena itu, jarang sekali sebuah negara dibentuk di wilayah yang memiliki beragam suku, ras, dan agama.

Baca Juga  Fiqh Dinamis: Yusuf al-Qaradawi dan Tantangan Hukum Islam di Era Teknologi

Karena kepentingan dan aspirasi yang berbeda dari setiap suku, pembentukan dinasti yang kuat dan kohesif hanya dapat terjadi ketika ada homogenitas dan solidaritas sosial yang kuat yang didukung oleh ashabiyah.

Konsep Badawah dan Hadarah

Dalam analisis Ibn Khaldun tentang masyarakat, kategori nomaden dan menetap secara konsisten muncul. Istilah pertama dikaitkan dengan keterbelakangan, primitif, sedangkan istilah kedua identik dengan urbanitas, peradaban, dan kemajuan.

Ibn Khaldun mengategorikan dua model konsep tersebut, badawah dan hadarah, berdasarkan aspek kontrol sosialnya. Badawah mengacu pada gagasan masyarakat yang ditandai dengan rasa ashabiyah yang kuat, yang cenderung bersifat primitif, pedesaan, dan nomaden.

Istilah “badawah” diciptakan oleh Khaldun berdasarkan pengamatannya terhadap masyarakat Badui yang nomaden, yang dicirikan dengan gaya hidup dasar dan kebersamaan yang luar biasa.

Konsep hadarah merupakan manifestasi dari komunitas urban yang canggih, mapan, dengan rasa persatuan yang lemah tertapi memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Menurut Ibn Khaldun, dalam masyarakat badawah, ada penekanan kuat pada hubungan darah, yang mengarah pada tingkat kontrol sosial yang tinggi. Sebaliknya, dalam peradaban hadarah yang beradab, ada tingkat kontrol sosial yang jauh lebih rendah.

Klasifikasi sosiologis komunitas badawah dan hadarah didasarkan pada tingkat ashabiyah yang ada di masyarakat. Diasumsikan bahwa dalam masyarakat badawah, ashabiyah masih sangat lazim, sedangkan dalam masyarakat hadarah, ashabiyah telah berangsur-angsur berkurang. Menurut Ibn Khaldun, kemajuan sebuah peradaban dapat dinilai dengan melihat tingkat kohesi sosial yang berbeda, yang ada di dalam masyarakat tersebut.

Masyarakat badawah dengan ashabiyah yang kuat cenderung tidak canggih, nomaden, dan kurang beradab. Namun, adanya pemahaman bersama, landasan standar, prinsip, dan keyakinan yang sama, serta kesediaan untuk berkolaborasi adalah sesuatu yang berkembang di dalam masyarakat ini.

Baca Juga  Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Karl Von Smith dan Dakwah Islam (1)

Di sisi lain, peradaban hadarah dibedakan oleh interaksi sosial yang impersonal atau cara hidup yang berpusat pada diri sendiri di mana setiap orang dalam masyarakat berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, tanpa mempertimbangkan orang lain. Menurut Ibn Khaldun, ketika sebuah peradaban semakin modern, maka nilai ashabiyah dalam masyarakat tersebut semakin berkurang.

Analisis terhadap Kasus Intoleransi di Tanggerang Selatan

Menurut Ibn Khaldun, masyarakat hadarah adalah kelompok sosial yang memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam konflik. Di Tangerang Selatan, jemaat Kristen yang berkumpul di sebuah rumah kos menjadi sasaran penyerangan fisik dan serangan pisau.

Hal ini dapat terjadi karena hubungan sosial yang tidak memadai dan tidak adanya afiliasi kelompok yang mapan. Penggunaan ashabiyah, sebuah teori yang bertujuan untuk membangun masyarakat kontemporer, memiliki tingkat risiko yang signifikan. Kelompok-kelompok masyarakat harus secara bersamaan meningkatkan solidaritas internal dan membina hubungan baik dengan kelompok-kelompok lain.

Dalam kasus ini, ketua RT yang diharapkan memiliki pengaruh yang signifikan dalam menyelesaikan dan meredam perselisihan, justru ikut andil dalam memperuncing konflik. Namun, setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata ketua RT tersebut hanya menanggapi laporan yang disampaikan oleh masyarakat.

Laporan tersebut dipicu oleh kelompok Kristen yang melakukan ibadah rosario hingga larut malam. Situasi yang timbul dari kasus ini meluas di luar lingkup langsungnya, karena masyarakat sekitar juga merasa terganggu dengan perhatian yang ditarik ke daerah mereka karena kasus ini.

Menurut Ibn Khaldun, kemerosotan ashabiyah dalam budaya modern atau hadarah adalah hasil dari individu yang menyerah pada kehidupan mewah dan menuruti hawa nafsu, yang mengarah pada kemerosotan karakter moral mereka.

Karena perilaku amoral mereka, hati mereka menjadi kebal terhadap kebajikan, yang mengakibatkan normalisasi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip moral dan norma-norma masyarakat. Akibatnya, tidak adanya rasa takut untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma-norma moral yang berlaku di masyarakat telah dihilangkan.

Baca Juga  Memaknai Ulang Tradisi Gotong Royong di Masa Kini

Sebaliknya, orang-orang dalam masyarakat badawah terlibat dengan dunia semata-mata untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, dan mereka jauh dari kemewahan. Meskipun benar bahwa mereka mungkin terlibat dalam perilaku kriminal, jumlah mereka sangat kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan populasi peradaban hadarah.

Dibandingkan dengan peradaban perkotaan, masyarakat pedesaan lebih mudah diatur karena resistensi penduduk kota untuk menerima bimbingan, karena keinginan mereka menguasai jiwa mereka. [AR]

Ahmad Akbar Syarifudin Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya