Dalam karya yang berjudul Tinjauan Filosofis Praktik Gotong Royong (2016), Gunardi Endro mengulas tentang konsep Gotong Royong dan kontekstualisasinya di era saat ini. Dia melihat bahwa Gotong Royong yang merupakan nilai sentral bangsa Indonesia yang perlu direaktualisasikan.
Masyarakat Indonesia kini tidak lagi berada di era agraris saat praktek Gotong Royong hidup subur. Mereka kini berada di era industri dengan kultur dan pola hidup yang berbeda. Jangankan membahas praktiknya di tengah masyarakat, kata Gotong Royong pun terasa kurang familiar di telinga generasi sekarang. Bagaimana menyatakannya sebagai jati diri bangsa sedangkan mendengarnya saja asing.
Untuk itu kontekstualisasi Gotong Royong bagi Endro dipandang sebagi sebuah hal penting. Apalagi ia mengandung nilai-nilai luhur yang mengakar dalam kehidupan para pendahulu yang patut dilestarikan.
Gotong royong mengandung makna kepedulian terhadap kepentingan bersama. Ia juga mengandung makna kesadaran komunal bahwa masyarakat Indonesia satu sama lain adalah bagian yang tak terpisahkan.
Hubungan mereka tidak transaksional-temporal, tapi abadi. Masyarakat tradisional telah memiliki mekanisme gotong royong. Misalnya, pada ritual lahiran, sunatan, kawinan dan kematian (disingkat: hirnatwinti). Pun demikian dengan acara “tujuh bulanan” (Jawa: mitoni). Semua acara dalam prosesi tersebut semua dijalankan atas dasar keperdulian dan kebersamaan atau gotong royong.
Namun, sependek pengamatan saya, masyarakat modern kini tidak menjalankan hal serupa secara ‘tradisional’ tapi praktik-praktik tersebut lebih terkesan dijalankan sebagai kesepakatan bersama yang melahirkan hak dan kewajiban (bersifat transaksional).
Dengan model seperti ini, ruh kebersamaan menjadi tidak utama. Tinggal sekampung tidak lantas harus merasa perlu menjaga kebersamaan. Kemaslahatan bersama dikonversi ke iuran bulanan dan dilaksanakan oleh tenaga bayaran untuk mewujudkan kemaslahatan itu. Di sini, kepedulian dan kerukunan bukan penggerak di sini. Penggeraknya adalah peraturan yang mesti diikuti.
Gotong Royong posisinya ada pada tradisi, bukan transaksi. Sedangkan, masyarakat modern lebih terkesan mempraktikkannya dalam ranah transaksi. Sehingga, Gotong Royong tidak berlaku secara alamiah. Untuk itu perlu aktualisasi Gotong Royong dalam era kekinian. Ini tentu bukan hal yang mudah meski tidak sesulit menarik mundur era modern ke era tradisional.
Ferdinand Tonnies membagi jenis kelompok sosial dalam Paguyuban/Community (Jerman: Gemeinschaft) dan Patembayan/Society (Gesellschaft). Kelompok pertama sering disebut dengan komunitas yang hubungan sosialnya kekal, alami dan erat. Sementara yang kedua, hubungan bersifat sementara, formal dan transaksional.
Gotong Royong memiliki cantolan untuk bertahan meski hidup di era modern yang individualis, yaitu melalui hubungan kewarganegaraan yang jangka panjang bahkan abadi. Semua manusia modern tidak lepas dari kewarganegaraan. Kalau dimungkinkan orang lebih memilih tambah kewarganegaraan (ganda) daripada pindah kewarganegaraan.
Sebagai warga negara yang sama, masing-masing terhubung dalam satu persaudaraan sebangsa dan setanah air. Kesadaran ini menjadikan manusia modern yang transaksional tidak lepas dari kehidupan komunitas biarpun ia bukan komunitas kecil seperti pada umumnya. Tapi komunitas besar berskala nasional bahkan internasional. Sebesar apapun sebuah komunitas ia tetaplah komunitas yang disatukan oleh kesamaan nasib dan hubungan emosional untuk memperjuangkan tujuan yang sama.
Seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 45 bahwa negara ini berdiri di atas dasar perlawanan terhadap penjajahan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Generasi baru yang tidak merasakan penjajahan seperti para pendahulu mereka, tentu perlu diingatkan tentang penderitaan di bawah penjajahan hingga menyadari bahwa kemerdekaan adalah anugerah yang teramat mahal. Kemerdekaan harus bèrsama-sama dipertahankan dan diarahkan untuk mewujudkan mimpi bersama.
Dengan demikian, meski hidup di era Patembayan tapi warga Indonesia sebenarnya adalah paguyuban sehingga Gotong Royong tetaplah relevan hingga kini. Setiap warga Indonesia adalah anggota masyarakat dan komunitas yang seharusnya memiliki kepedulian yang sama terhadap bangsa dan negara. Mereka bukanlah tamu hotel yang asal sudah bayar berhak mendapat fasilitas. Tapi mereka adalah sesama pemilik saham yang ikut memikirkan untung dan ruginya hotel.
Perihal sesama pemilik namun nasibnya berbeda bahkan sangat timpang, ia adalah tugas pemerintah, siapapun presidennya, untuk menghilangkan ketimpangan itu. Wujud gotong royong berbeda-beda antar masyarakat, bangsa, ummat satu sama lain. Dalam sejarah Islam klasik, Rasulullah dalam Piagam Madinah (623 M) mengharuskan gotong royong sesama warga Madinah lintas suku dan keyakinan. Terutama keharusan gotong royong bagi para anggota suku dan pemeluk agama yang sama.
Warga Madinah dari kalangan Muslim, Yahudi, Kristen, Majusi, dan Pagan (penyembah berhala) diwajibkan bersatu melawan musuh yang menyerang Madinah. Masing-masing anggota suku diharuskan untuk bergotong royong dalam menanggung beban tebusan tawanan perang yang menimpa anggota mereka. Semua warga diwajibkan setia kepada ‘negara Madinah’ dan peduli satu sama lain.
Orang mukmin tidak boleh membiarkan saudaranya menderita. Piagam yang berisi 52 ayat ini berisi jaminan keamanan, sosial-ekonomi dan kebebasan beragama serta kewajiban bela saudara dan negara bagi seluruh warga Madinah.
Dalam konteks Indonesia kini, konsep Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah gotong royong. Tidak salah bersemboyan “Dengan Gotong Royong Semua Tertolong” yang artinya bahwa keikutsertaan program bukanlah semata menjamin kesehatan diri sendiri tapi juga orang lain.
Jikalau dalam bidang kesehatan gotong royong telah berjalan dalam BPJS, di bidang ekonomi nilai itu perlu diangkat agar tercapai kesejahteraan sosial seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945. Semangat Gotong Royong sejatinya lebih mendekatkan Indonesia pada sistem sosialis, bukan kapitalis yang telah memperkaya sebagian kecil orang dan memiskinkan banyak orang. Wallahu a’lam… [AA]