Abduloh Safik Dosen IAIN Tulungagung

Konsep Tauhid Menurut Imam Junaid al-Baghdadi

1 min read

source: alislam.com

Suatu ketika, Imam Junaid bin Muhammad ditanya tentang kaum Sufi, “Siapa mereka?” Ia menjawab, “Mereka adalah kaum pilihan Allah dari makhluk-Nya yang Dia sembunyikan tatkala Dia menyukai dan Dia tampakkan tatkala Dia menyukai pula.”

“Tauhid adalah menunggalkan Yang Mahadahulu (qidam) dari yang datang kemudian (hudus).”

Al-Junaid  ketika ditanya tentang Tauhid mengatakan, “Tauhid adalah pengesaan seorang muwahhid (yang manunggal dengan Allah) dalam merealisasikan wahdaniyyah-Nya dengan kemahasempurnaan ahadiyyah-Nya. Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, dengan meniadakan segala persamaan, sepadan, serupa dan berbagai bentuk peribadatan (penghambaan) kepada selain Dia.

Tuhan yang tidak bisa diserupakan, dikondisikan dengan bagaimana, digambarakan dan tidak pula dapat dimisalkan. Tuhan Yang Maha Esa, Mahakekal yang tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dia Mahamendengar lagi Mahamengetahui.”

Al-Junayd mengatakan, “Tauhid adalah ilmu Anda, dan ikrar anda bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Tunggal dalam azali-Nya, tak ada dua-Nya, dan tak sesuatu pun yang mengerjakan pekerjaan-Nya.”

Dikatakan oleh al-Junayd, bahwa sebagian ulama bertanya soal tauhid. Kemudian dijawab al-Junayd, “Tauhid adalah keyakinan.”

“Jelaskan padaku, apa tauhid itu?” demikian kata si penanya. “Tauhid adalah makrifat anda bahwa segala gerak makhluk dan diamnya merupakan pekerjaan Allah swt. Dia Maha Esa tidak berkawan. Apabila anda sudah berpandangan demikian, anda telah mengesakan-Nya,” jawab Junayd.

Al-Junaid ditanya lagi tentang Tauhid. Maka ia menjawab, “Tauhid adalah suatu makna, dimana berbagai gambaran hilang di dalamnya, dan berbagai ilmu pun musnah di dalamnya. Sedangkan Allah swt. akan senantiasa eksis dan tidak pernah lenyap.”

Al-Junaid ditanya tentang Tauhid orang-orang khusus (khas), ia menjawab, “Adalah dimana seorang hamba hanya merupakan bayangan yang tak bisa berbuat apa-apa di hadapan Allah. Segala perbuatan yang diatur oleh Allah–sesuai dengan aturan-aturan hukum dan kekuasaanNya– berlaku  pada diri mereka dalam kedalaman samudra Tauhid-Nya, dengan keadaan (sirna) fana dari diri mereka. Karena, al-Haq sendiri Yang menjalankan segala perintah yang diinginkan Nya. Di mana akhir perjalanan seorang hamba kembali dalam kondisinya yang pertama. Sehingga pada saat ini, ia seperti sebelum ia ada.”

Baca Juga  Tentang Khilāfah alā Minhāj al-Nubuwwah

Al-Junaid juga berkata, “Tauhid adalah keluar dari kesempitan bentuk-bentuk temporal menuju ke hamparan luas keabadian dan kekekalan.”

Jika ada orang bertanya, “apa makna pendapat al Junaid yang mengatakan, Di mana akhir perjalanan seorang hamba kembali dalam kondisinya yang pertama. Sehingga pada saat ini ia seperti sebelum ia ada?” Maka jawabannya adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari tulang rusuk mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menyaksikani.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat, kamu tidak menga¬takan, “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan). ” (Q.S. al A’raf: 172).

Al-Junaid mengemukakan tentang makna ayat tersebut, “Darimana ia berada, bagaimana ia berada sebelum saat ini ada? Bukankah yang menjawab pada saat itu adalah ruh-ruh yang memperlihatkan kekuasaan Allah dan melaksanakan seluruh titah-Nya? Maka keberadaannya sekarang sesungguhnya sama seperti sebelum ia ada. Dan inilah puncak hakikat tauhid kepada Dzat Yang Maha Tunggal, yakni hendaknya keberadaan seorang hamba seperti sebelum ia ada. Sementara Allah senantiasa dan tetap ada.” [AA]

(Sumber: Kitab Iqazul al Himam fi Syarkh al Hikam karya Syaikh Ahmad Bin Muhammad Ibn Ajibah Al Hasani)

Abduloh Safik Dosen IAIN Tulungagung