Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

[Review Buku] Tidak Ada Agama Yang Pantas untuk Para Teroris

2 min read

Judul Buku      : Apa Agama Teroris?

Penulis             : Anwar Kurniawan

Penerbit           : IRCiSoD

Tahun              : 2022

Halaman          : 178

ISBN               : 978-623-5348-09-4

Tema seputar agama tidak akan pernah selesai dibicarakan. Ada banyak peristiwa menarik setiap detiknya. Dari sana pula para akademisi, agamawan, penulis lepas, dan tentu juga pengamat akan selalu berebut panggung untuk tampil ke permukaan. Lebih-lebih, hubungan agama dan terorisme naik daun belakangan ini, salah satunya seperti yang ditulis Anwar dalam buku Apa Agama Teroris?

Buku ini menyajikan berbagai isu dan wacana yang cukup kompleks. Setidaknya peristiwa demi peristiwa tersebut dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu; pertama menyoroti sejumlah peristiwa yang relevan dengan ontran-ontran keislaman, kedua fokus pada menyoroti dinamika pendakwah umat Muslim, dan ketiga mengenai peristiwa sosial politik mutakhir (halaman 7).

Sementara itu, esai-esai Anwar cukup ringan dan bisa sekali duduk selesai membacanya. Meskipun demikian, pembahasan mengenai salah satu topik cukup mendalam dan serius dengan menghadirkan bermacam data-data terakhir, juga sebuah refleksi atas pengalaman penulis maupun tokoh-tokoh penting di salah satu kelompok tertentu.

Menariknya, dalam salah satu judul esai, Anwar bukan mempertegas apa agama seorang teroris, melainkan malah membiarkan pembaca untuk memberikan jawabannya sendiri. Yang jelas, seorang teroris memiliki angan-angan tentang yang asli dan yang murni, di mana angan-angan tersebut bermuara pada konsep “Negara Islam”.

Dari sinilah kita akan menjumpai klaim yang seolah-olah “berdasarkan syariat”, amar ma‘ruf nahi munkar, “jihad”, dan bermacam-macam interpretasi banal lainnya. Tak heran bila pendakwah karbitan (begitu Anwar menyebut dalam esainya) atau ustaz mualaf kemarin sore yang gemar bikin gaduh tak jauh-jauh dari angan-angan identitas Islam yang murni atau yang asli.

Baca Juga  Gus Ulil: Komentar Al-Ghazali Terhadap Ilmu Kalam (2)

Di sisi lain, mereka tidak menyebut dirinya sebagai kelompok ekstrem. Mereka kerap memakai jubah gagasan pemurnian Islam. Bahkan, lebih jauh lagi para teroris mendapat matrikulasi tentang bagaimana merakit senjata (tentu ilegal).

Para teroris juga mendapatkan pengetahuan atau pemahaman keagamaannya lewat jalur-jalur tertutup dan eksklusif. Parahnya lagi, mereka meyakini bahwa kelompok merekalah yang paling benar, dan di luar mereka salah. Karena salah, berarti halal darahnya untuk ditumpahkan (hal 17). Aneh bukan?

Akan tetapi, lagi-lagi kita tidak boleh terjebak pada pemahaman tunggal tentang apakah teroris itu punya agama apa tidak. Jika salah menjawab atau jawaban kita tidak tepat sasaran, justru akan terjebak pada klaim-klaim yang menyesatkan pula.

Intinya, para teroris mengaku dirinya sedang melakukan misi keagamaan, entah misi agama yang mana? Atau apakah ada ada yang mengajarkan aksi-aksi nirkemanusiaan? Kiranya sependek yang saya ketahui tidak ada.

Pada titik ini, Islam berasal dari kata kerja aslama yang memiliki arti “masuk ke dalam kepasrahan dan ketundukan yang total”. Untuk itu, al-Islam berarti kepatuhan dan ketundukan tanpa adanya resistensi sekecil pun.

Lantas, bagaimana dengan para teroris yang sedikit-sedikit mau meledakkan rumah Ibadah umat agama lain? Tentu ini cukup ironis mengingat mereka membawa klaim sebagai ejawantah dari ajaran Islam. Lalu, Islam yang manakah yang diperjuangkan para teroris? Ini sebuah pertanyaan besar yang perlu dicatat di setiap dinding rumah ibadah barangkali.

Sekali lagi, Anwar tidak memperdebatkan persoalan apa agama para teroris, melainkan membuka diskusi panjang tentang di manakah para teroris tersebut belajar agama. Barangkali proses belajar yang tidak selesai atau separuh-separuh itulah yang menjerumuskan mereka pada aksi ekstrem.

Baca Juga  Serat Wulangreh Pupuh Gambuh Sebagai Manifestasi Ajaran Islam [1]

Sejak awal, dari bangku sekolah atau pesantren kita akan akrab dengan teks dan diskursus mengenai bangunan agama Islam yang rahmah dan ramah. Untuk itu, jika ada segelintir orang atau kelompok yang gerakannya ekstrem, kita tak perlu merenungi apa agama mereka? Sudah tentu mereka beragama tapi dengan jalan yang salah.

Dari banyak kasus yang muncul belakangan, terorisme yang mengatasnamakan agama bukanlah representasi sejati dari agama itu sendiri, melainkan distorsi yang dilakukan pihak terkait untuk tujuan politik dan ideologi mereka.

Agama-agama besar di dunia pada umumnya mengajarkan perdamaian, toleransi, dan cinta kasih, tetapi ada pihak-pihak yang menyalahgunakan ajaran agama untuk membenarkan aksi teror mereka. Untuk itu, di sini sebenarnya tak ada ruang bagi para teroris untuk mengaku-ngaku berafiliasi dengan agama tertentu. [AR]

Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta