Achmad Hidayat Mahasiswa Institut Agama Islam Tribakti Kediri

Pro dan Kontra Sertifikasi Ulama dan Keberlangsungan Moderasi Beragama

1 min read

Jika mencermati fenomena pro-kontra sertifikasi ulama, sependek pengetahuan saya, persoalan tersebut tidak terlepas dari pertarungan ideologi keagamaan. Ideologi ini secara garis besarnya terwakili oleh radikal konservatif dan moderat. Setidaknya, hal ini terlihat dari kalangan yang menolaknya, dan berbagai komentar yang mengkaitkan dengan berbagai isu yang telah terjadi.

Pertanyaan kuncinya adalah, seberapa besar dampak sertifikasi ulama terhadap kelompok radikal konservatif dan juga moderat? Tapi, sebelum menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya jika mencari duduk perkara apa yang permasalahan tersebut.

Saya kira, problem intinya adalah tentang sebuag ide atau gagasan. Dari gambaran ini, atas hiruk pikuk keadaan tanah air kita, perlu kita identifikasi mana yang sifatnya semacam ide, dan mana yang sudah masuk dalam kategori tindakan (action). Atas isu yang dipermasalahkan ini, yang baru sebatas masuk ide adalah wacana radikalisme konservatif, dan yang sudah masuk tindakan sering disebut dengan terorisme.

Begini, jika yang masih dipersoalkan adalah sebuah tandingan terhadap wacana radikal konservatif, saya kira upaya dengan menggunakan tindakan tidak perlu untuk dilakukan; cukup dengan menggunakan wacana tandingan saja. Namun, jika sudah masuk pada tindakan tetorisme, tentu lain lagi ceritanya.

Artinya, dalam etika demokrasi, ruang publik berlaku untuk segala golongan, tidak dimonopoli oleh salah satu di antaranya saja. Semua golongan atau individu mempunyai hak yang sama untuk menyampaikan opininya masing-masin. Atas berbagai macam pendapat ini, lalu terjadilah sebuah dialog–meskipun tidak secara langsung–untuk mencari sebuah kesepakatan bersama dalam dinamika bernegara.

Bagi saya, sangat berlebihan jika membendung sebuah ide (ideologi) radikal konservatif secara langsung menggunakan instrument negara. Padahal, persoalannya terletak pada suprastruktur dalam kepala masing-masing. Maka yang harus dilakukan adalah bagaimana suatu pemahaman kita dapat diterima dan diamine, bukan malah menegasi suatu pemahaman kelompok lain.

Baca Juga  Islam Nusantara: Konsep atau Model?

Sebenarnya fenomena seperti ini merupakan sebuah tantangan bagi kita yang gencar mewacanakan keislaman moderat terkait bagaimana model dakwah Islam wasaṭiyyah dapat diterima oleh berbagai kalangan, termasuk mereka yang menolak.

Selain itu, jika sertifikasi ulama ini terlaksana, saya kira itu justru malah akan mencederai penanaman wacana wasaṭiyyah ini sendiri. Karena, Islam moderat yang diidentikkan dengan Islam yang toleran, dan menghargai perbedaan pendapat, pada titik ini (sertifikasi ulama) justru terkesan tertutup.

Kalangan moderat akan dipandang sebagai intoleran yang tidak menghargai perbedaan pendapat. Yaitu tidak adanya penghargaan terhadap kapasitas seseorang, dan batas gerak terhadap seseorang atau da’i.

Di sisi lain, jika sertifikasi ulama terlaksana, kelompok radikal konservatif akan semakin memberontak. Sederhananya adalah, jika mereka semakin ditekan, maka otomatis akan semakin melawan. Hal ini tentu akan memunculkan rasa antipasti dan membenci wacana keagamaan yang moderat. Sehingga apapun yang berkaitan dengan wacana Islam moderat secara serta-merta  ditolak oleh kalangan radikal konservatif tersebut.

Pada titik ini lah, saya kira bahwa letak permasalahan paling mendasar di sini adalah terletak pada pikiran seseorang, yaitu menolak atau menerima suatu pemahaman yang berbeda. Dalam ini, saya sepakat dengan apa yang pernah disampaikan oleh Buya Husein Muhammad; jika ingin merubah suatu moral masyarakat, tidak perlu menggunakan instrument negara. Karena, ia justru akan menjadikan sebuah ketimpangan tersendiri. Wallahu a’lam… [AA]

Achmad Hidayat Mahasiswa Institut Agama Islam Tribakti Kediri