Achmad Hidayat Mahasiswa Institut Agama Islam Tribakti Kediri

[Review Buku] Fikih Kebangsaan Lirboyo: Buah dari Fikih dan Islam Nusantara

2 min read

Naiknya wacana Islam Nusantara, awal mula munculnya saat disematkan sebagai tema Muktamar NU ke-33 di Jombang 2015. Meskipun wacana ini pada perjalannya masih disalahpahami, akan tetapi pada perkembangannya wacana ini dapat menyabang dengan cepat, baik dengan tumbuhnya fikih Nusantara maupun tasawuf Nusantara. Pada saat ini, fikih Nusantara yang merupakan “sub-ilmu” dari Islam Nusantara kini sudah mengeluarkan buahnya, yakni ‘Fikih Kebangsaan’.

Ust. M. Faurak Tsabat Zaini yang merupakan salah satu tim penyusun buku fikih kebangsaan mengutarakan, fikih kebangsaan ini lahir karena ada kalangan yang belum memahami manhaj politik para masyāyikh. Bahkan bentuk ketakpahaman tersebut mengakibatkan caci-maki, terutama kepada kiai-kiai NU. Atas dasar ini, Himpunan Alumni Pesantren Lirboyo (Himasal) dengan sadar mengadakan bahstul masail dengan mengangkat isu-isu kebangsaan. Lalu hasil rumusan ini dibukukan dengan judul fikih kebangsaan (Wawancara, 22/07/2020).

Sesuai yang penulis utarakan di atas, fikih kebangsaan merupakan buah dari ranting fikih Nusantara. Andaian ini beralasan, jika mengacu dalam tradisi kelimun, objek kajian dalam suatu rumpun keilmuan akan selalu mengalami penyempitan untuk memfokuskan pada titik-titik tertentu. Atau bahasa sederhananya, fikih kebangsaan merupakan spesifikasi lebih lanjut dari fokus dalam kajian fikih Nusantara.

Untuk mengenal fikih kebangsaan lebih sistematis, alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu menghampiri apa itu fikih Nusanara. Tentunya, hal ini sebagai pijakan untuk memahami lebih lanjut fikih kebangsaan

Dengan mengacu kepada berbagi gagasan para tokoh, Prof. Noor Harisudin dalam Fiqh Nusantara: Pancasila dan sistem hukum nasional di Indonesia (2019), mengutarakan bahwa fikih Nusantara sendiri merupakan suatu putusan hukum fikih, yang mana dalam mengambilan suatu hukum terdapat dialog antara teks-teks syariat dengan horizon tertentu di suatu tempat.

Baca Juga  Pembangkangan Kaum Khawarij Baru: Dari Piagam Jakarta hingga Pancasila (Bag. 2-selesai)

Sederhananya, yang menjadi fokus pembahasan dalam fikih Nusantara adalah yang berhubungan dengan muamalah, tidak menyentuh pada masalah ibadah mahdah. Sedangkan ibadah mahdah sendiri, seperti salat, zakat, puasa dinilai sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Hanya mengikuti pendapat-pendapat ulama pendiri mazhab dan para pengikutnya.

Sedangkan mu‘āmalah sediri sifatnya dinamis, tergantung zaman yang mempengaruhinya. Yang dimaksud mu‘āmalah ini tidak sesempit yang berhubungan jual beli saja, melainkan juga siyāsah, al-ahwāl al-syakhsīyah, jināyah, qaḍā.

Contoh hukum fikih Nusantara seperti halnya hukum halalnya suatu hewan tertentu yang hanya ada di Nusantara, mengenai Kompilasi Hukum Islam (KHI), maupun pandangan hukum fikih mengenai konsep bernegara dengan begitu ragamnya elemen yang ada di dalamnya.

Istilah ‘corak keadaan suatu daerah tertentu’ yang telah penulis utarakan di atas memang terbilang masih abstrak. Akan tetapi, garis besar dari istilah tersebut adalah suatu tradisi di suatu daerah tertentu, dan juga konsep atau pertimbangan kemaslahatan.

Dari salah satu yang menjadi objek pembahasan fikih Nusantara di atas, yaitu siyāsah, dan juga corak masyarakat Indonesia yang begitu plural, terlihat mencolok bahwasanya fikih kebangsaan merupakan tindak lanjut dari fikih Nusantara. Pancasila dinilai sebagai dasar negara atas kesepakatan bersama, dan juga dinilai memberikan kemaslahatan untuk berbagai golongan suku, ras, maupun agama.

Sesuai yang telah diutarakan oleh Ust. Faurak Tsabat Zaini, bahwasanya fikih kebangsaan merupakan suatu rumusan hukum fikih dalam suatu konsep berbernegara dengan mempertimbangkan teks-teks syariat dan Pancasila dan UU 45 sebagai kesepakatan bersama.

Meskipun ada golongan yang menilai bahwasanya Pancasila sebagai sistem negara tidak sah menurut Islam, akan tetapi semua argumen tersebut sudah dapat dipatahkan. Karena dalam nash sendiri tidak ada penjelasan secara konkret mengenai sistem negara. Di dalam nash hanya memberikan penjelasan mengenai prinsip-prinsip dalam bernegara. Tentunya, bagaimana pun sistem yang dijalankan dalam suatu negara hukumnya sah, asalkan masih menjalankan prinsip-prinsip yang telah dijelaskan dalam nash.

Baca Juga  Mengenal Buhaira, Pendeta Kristen yang Meramal Kenabian Muhammad (Bag. 2)

Pada penjelasan selanjutnya, fokus kajian dalam fikih kebangsaan adalah membahas berbagai fenomena yang ada kaitannya antara kebangsaan dan keislaman. Seperti halnya tidak dilaksanakannya hukum potong tangan, menjaga gereja, mengucapkan selamat kepada hari raya keagamaan agama lain, dan lain sebagainya.

Penulis kira, tidak berlebihan jika penulis memandang bahwa fikih kebangsaan merupakan ‘buah’ dari Islam Nusantara, yang bercabang pada fikih Nusantara. Istilah buah ini sengaja penulis ambil, karena memang sebenarnya yang diperlukan oleh masyarakat adalah berupa bentuk jadi, atau matang. Malah sebaliknya, masyarakat akan kewalahan jika ditawarkan yang berupa masih mentah, yang sifatnya hanya berupa tawaran model pemikiran yang epistemik.

Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah, wacana Islam Nusantara muncul di permukaan pada tahun 2015, Fikih Nusantara dimulai dari 2016 dengan literatur berjudul Fiqh Nusantara dan Sistem Hukum Nasional: Perspektif Kemaslahatan Kebangsaan oleh Zaini Rahman. Lalu disempurnakan oleh M. Noor Harisudin dengan Fiqh Nusantara: Pancasila dan Sistem Hukum Nasional di Indonesia, 2019. Sedangkan fikih kebangsaan ini dibahas pada akhir 2017, dan mulai muncul 2018.

Artinya, dalam disiplin ilmu pengetahuan, fikih kebangsaan ini seolah-olah hadir melampaui zaman. Meskipun fikih Nusantara baru terbilang cukup sempurna pada tahun 2019, fikih kebangsaan sudah dapat menunjukkan eksistensi dirinya pada tahun 2018. Meskipun kedua wacana ini tidak harus terikat kuat, akan tetapi dalam rumpun keilmuan fikih kebangsaan dapat menunjukannya. [MZ]

Achmad Hidayat Mahasiswa Institut Agama Islam Tribakti Kediri