Ulama NU melawan. Mereka jengah di-bid’ah-kan bahkan dianggap sesat karena menyandingkan budaya dan agama. Para ulama NU menjawab cerdas dengan mengangkat tema Islam Nusantara yang banyak dibincang. Inilah diskursus paling menarik ditengah polusi pikiran politis.
Islam Nusantara didefinisikan sebagai Islam moderat, toleran, inklusif dan damai yang mengadopsi budaya setempat. Bagi para ulama NU, Islam Nusantara adalah strategi berdakwah sekaligus model Islam yang di-ideal-kan.
Sebagai diskursus maka terlalu tergesa jika kemudian Islam Nusantara dihakimi dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tidak relevan. Dengan pertanyaan misalnya “bukankah Nabi Muhammad adalah orang Arab? Bukankah Alquran turun dengan bahasa Arab: dan bukankah yang menukil Islam dari nabimu juga orang Arab”? Ini pertanyaan klise
Semua pertanyaan itu sudah selesai dan tidak perlu dibahas karena semua kita sudah bersepakat sebab itu substansi Islam. Haqq yaqīn saya sedang tidak meragukan keimanan para ulama NU terhadap pertanyaan di atas. Itu terlalu merendahkan dan tidak perlu.
Islam Nusantara mengonsep bahwa budaya tak harus enyah, karena dianggap melawan atau bertentangan dengan syariat Islam sebagaimana dipahami oleh sebagian besar kelompok Islam puritan yang maunya hendak menafikkan semua budaya yang kemudian mengganti dengan budaya Arab yang disetempel Islam. Ironisnya, kondisi orang Arab sekarang jauh berbeda sengan kondisi orang Arab pada pada masa sahabat, tabi‘īn dan tābi’ al-tābi‘īn.
Karena tak lagi menemukan model Islam ideal yang diidealkan. Sementra kondisi negara-negara Arab Islam juga tak lebih baik dari negara Islam lainnya bahkan beberapa negara di kawasan Jazirah Arab dan Teluk malah menjadi contoh buruk dan pabrik perselisihan dan konflik antar-manhaj dan kabilah yang tak kunjung usai. Para ulama NU pun berijtihad dengan menyandingkan dua mainstream (budaya dan syariat) yang terlihat berlawanan itu menjadi model yang di-ideal-kan yang kemudian populer dengan sebutan Islam Nusantara.
Ini yang kemudian secara resmi diplokamirkan pada muktamar NU. Tegasnya, Islam Nusantara bukan tujuan akhir atau final. Islam Nusantara menyandingkan dua mainstream sebagai strategi sekaligus model ideal untuk mencapai Islam kāffah. Sebagai strategi dan model, Islam Nusantara bukan yang final, apalagi akhir dari tujuan, tapi terus berkembang dinamis menuju Islam Kāffah.
NU adalah representasi kegelisahan para ulama, ketika fondasi keberagamaan yang dibangun dan diwarisi dari para pendahulunya dinyatakan keliru oleh sekumpulan kaum-muda yang menyatakan diri sebagai pembaharu yang menganggap bahwa dakwah Walisongo belum selesai. Atas nama purifikasi dengan jargon kembali kepada Alquran dan Sunnah menyalahkan semua bangunan yang telah lama mereka bangun dan huni.
Kebangkitan para ulama yang kemudian lazim disebut Nahdhatul Ulama adalah antitesis terhadap Muhammadiyah yang berdiri empat belas tahun sebelumnya. Inilah paradigma lama yang dirasakan oleh para ulama terhadap tawaran perubahan dan perlawanan terhadap takhayul, bidah dan khurafat yang dipraktikkan bersanding dengan syariat Islam. Agaknya ini bangkit kembali dan relevan direkonstruksi ulang.
Para ulama yang mengambil Walisongo sebagai model dakwah berikhitiar menyandingkan budaya dan syariat Islam. Keduanya saling menggenapi dan tak harus mengambil posisi berhadapan. Model inilah yang kemudian dilawan habis habisan oleh Muhammadiyah dkk.
Sebutan ahli bidah menjadi semacam stigma yang harus ditegakkan. Terlihat dalam setiap pembukaan pidato menjadi semacam kewajiban untuk menyitir hadis tentang .. “tiap tiap bidah adalah sesat dan yang sesat tempatnya di neraka”.
Percayakah bahwa setiap ada yang sebut ahli bidah, maka yang ada dibenak kita adalah NU. Ironisnya, justru stigma ini yang terus terawat dan tak ada tanda bakal kompromi.
Jadi sekali lagi ini bukan gagasan personal KH Said Aqil Siradj sebagai Ketua Umum PBNU sebaliknya merupakan gagasan semua ulama NU sebagai jawaban atas berbagai soal keislaman dan keberagamaan yang diproklamirkan sebagai tema muktamar. Lazimnya Ijtihad jika benar pahalanya dua, jikapun keliru diberi satu pahala. Saya sangat menghormati ijtihad itu. [MZ]