Edaran tentang Covid-19 dalam beberapa waktu yang lalu mengalir deras bak bengawan bedah, baik dari lembaga resmi negara berupa surat edaran, instruksi, himbauan, maupun dari lembaga sosial keagamaan berupa fatwa, maklumat dan tuntunan. Beragam sikap masyarakat dalam menyikapi edaran tersebut. Hal ini terefleksi dalam perilaku dan komentar di media sosial. Ada yang mengikuti dengan baik, ada yang mengikuti dengan penyesuaian, namun ada yang terlihat mengabaikan karena berbagai faktor. Hal ini menjadi pertanyaan penting, kenapa himbauan yang baik tidak direspons dengan baik?
Para produsen edaran tentu tidak boleh marasa sudah selesai dengan mengeluarkan maklumat. Meskipun sebenarnya edaran-edaran tersebut adalah sebuah produk hukum yang harus dipatuhi, dan dalam prinsip fiksi hukum maka semua orang dianggap tahu setelah hukum diundangkan (presumption iures de iure). Meskipun terminologi ini sering dipakai dalam hukum positif, namun sebenarnya juga berlaku bagi ketentuan normatif yang mengalami proses positivikasi semacam fatwa MUI. Menurut Soerjono Soekanto, ada beberapa faktor kenapa sebuah aturan berlaku secara efektif atau tidak dalam pemberlakuannya. Paling tidak dapat kita pakai untuk memahami bagaimana edaran, maklumat bahkan fatwa Covid-19 bisa berlaku efektif dijalankan oleh masyarakat.
Pertama, faktor aturannya itu sendiri. Secara umum aturan yang bernilai hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Secara redaksi dan substansi, fatwa-fatwa atau aturan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga negara maupun ormas-ormas itu sudah cukup baik, dibangun diatas epistemologi yang mapan menuju pada tujuannya (maqāshid al-syarīah) khususnya dalam upaya menjaga jiwa (hifz al-nafs). Dibangun di atas logika hukum dan logika ushul fiqh yang disepakati oleh jumhur pada bidangnya. Namun ada beberapa sisi keadilan yang masih dipertanyakan masyarakat, meskipun bukan analogi yang apple to apple, masyarakat membandingkan penutupan masjid sebagai episentrum penyebaran virus dibanding dengan pasar, mall, swalayan dan fasilitas umum lainnya. Andai itu adalah qiyas, maka illat hukumnya adalah pencegahan penularan lewat kerumunan. Maka masjid, mall, dan pasar dalam posisi sama memberikan potensi penularan akibat perkumpulan. Hal ini diperparah dengan kesadaran akan kemanfaatan yang dirasa masyarakat karena berhadapan dengan ketakpastian baik waktu, mekanisme, maupun bentuk. Karena itulah butuh lebih dari sekadar lembar-lembar kertas elektronik yang menghiasi media sosial.
Kedua, faktor penegak hukum. Penegakan hukum bisa terlaksana di atas tiga kaki, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Jika masyarakat merasa diperlakukan tidak adil, maka timbul pemberontakan dalam dirinya. Aturan harus berlaku umum. Tidak memandang siapa saja jika berpotensi menularkan virus via keramaian atau perkumpulan, maka harus dilarang atau dibubarkan. Jika masyarakat biasa dilarang melakukan walimah pernikahan dengan sanksi pembubaran, maka pejabat negara harus memberi contoh demi tegaknya keadilan.
Penegakan aturan mestinya berjalan secara hierarkis mulai dari pusat sampai pelosok desa, sehingga hasil yang diharapkan terpenuhi. Aparat penegak hukum memiliki kekuasaan untuk menertibkan masyarakat secara santun, edukatif dan mencerahkan. Masyarakat sedang berada pada posisi dilematis, keluar mati karena Corona, di rumah mati karena kelaparan. Pengawalan edaran bukan saja oleh aparat kepolisian tetapi juga aparatur negara dengan menjamin kehidupan masyarakat terdampak Covid-19.
Bukanlah sebuah kesalahan jika masyarakat menuntut kepastian akan aturan yang ditegakkan. Wajar juga jika masyarakat mempertanyakan sampai kapan sebuah aturan diterapkan karena keterbatasan diri melihat road map penanganan pandemi Covid-19 yang kurang jelas, kurang sistematis dan terkesan tidak terkoordinir dengan baik mulai pemerintah pusat sampai daerah. Seringnya beda statemen juga menyumbang kebingungan masyarakat, (misalnya kasus boleh dan tidaknya ojol membawa penumpang).
Sementara itu, pembatasan sepihak beberapa wilayah (desa), penutupan jalan dengan batu justru dikeluhkan oleh pengguna jalan. Pro-kontra pun terjadi di media sosial, bagaimana para sopir mengirimkan barang komoditas, bagaimana jika ada yang sakit dan membutuhkan penanganan cepat. Masyarakat melihat peraturan/edaran tersebut malah menghambat roda ekonomi mereka, sehingga tidak merasakan manfaat langsung dari aturan yang dibuat.
Ketiga, sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan aturan. Sarana dan fasilitas pendukung penegakan hukum tentu sesuai dengan aturan yang akan ditegakkan. Misalnya fasilitas`kesehatan masyarakat seperti tersedianya masker, handsanitizer, tersedianya perlengkapan cuci tangan pada vasilitas umum. Sedangkan yang terkait dengan dampak ekonomi misalnya, perlu fasilitas jaminan ketahanan pangan, ancaman kebangkrutan usaha, jaminan imunitas PHK dan lain sebagainya.
Dalam dunia pendidikan, fasilitas pendukung kebijakan work from home bisa berupa aplikasi online yang terintegrasi dengan satuan kerja masing-masing bidang. Namun himbauan Work from Home terkesan hanya berlaku bagi pekerja kantoran. Bagi masyarakat petani, anjuran Work from Home adalah sebuah kekonyolan yang nyata. Bagi masyarakat menengah ke bawah bayangan fasilitas adalah kecukupan ekonomi bagi keluarga. Bagaimana ada jaminan bahwa setiap keluarga dapat makan dan hidup normal.
Keempat, faktor masyarakat sebagai pelaksana aturan. Kesadaran hukum pada masyarakat dapat dibentuk salah satunya dengan sosialisasi secara berkala, masif, terstruktur dan terpola. Apa lagi dalam situasi ketidak pastian seperti serangan virus Covid-19 ini, masyarakat membutuhkan edukasi yang lebih intens melalui berbagai media seperti yang sudah dilakukan oleh pemerintah, ormas, dan warga bangsa pengguna medsos. Edaran menteri tentang panduan ibadah Ramadan dan Idul Fitri berpotensi banyak pelanggaran jika kesadaran masyarakat belum terbentuk secara baik. Amat disayangkan ketika fatwa penistaan agama dikawal dengan heroik dengan pengerahan massa, namun fatwa Corona malah diabaikan. Karenanya elemen-elemen masyarakat yang sadar hukum memberi edukasi bagi masyarakat yang belum mengerti.
Tantangan berat bagi aparatur negara, penegak hukum, dan tokoh agama adalah bagaimana meyakinkan perubahan budaya yang telah mengakar puluhan tahun tanpa menimbulkan masalah. Masyarakat sudah terbiasa hidup dalam alam ketakutan dalam menjalani kesempitan dan persaingan hidup. Terminologi wajib, haram, dilarang, jangan, dan serangkaian kalimat ancaman lainnya sudah menjadi makanan sehari-hari dalam segala aspek kehidupan bahkan dalam dunia pendidikan sekalipun. Bagaimana kemudian maklumat dan edaran bukan sekadar himbauan, tetapi bisa menjadi kesadaran publik secara cerdas dan smart. Lihatlah fatwa haram rokok Muhammadiyah, ada anekdot ketika pengurus tetap saja merokok, ditantang oleh temannya, kamu tetap merokok atau keluar dari Muhammadiyah? Dengan enteng dia menjawab keluar saja lah. Artinya, tidak segampang itu sebuah aturan dijadikan alat identifikasi dan justifikasi karena tujuan utamanya adalah agar diikuti dan ditaati. Rokok adalah candu yang mendarah daging sejak kecil, maka tidak mungkin divonis sekali racun nicotinenya rontok. Begitupula budaya keagamaan yang mengiringi ibadah puasa, perlu usaha lebih maksimal dari sekadar membagi masyarakat dalam dua gerbong, penurut dan pembangkang.
Selain itu, dunia novel juga membuktikan bahwa rasa cinta sering menghilangkan akal sehat dan menuntun pelakunya melakukan hal-hal di luar nalar. Tradisi mudik, memakmurkan masjid saat Ramadan, buka bersama, tadarus, tarawih, takbiran, shalat ied, dan silaturahim adalah hal yang sangat dirindukan oleh semua Muslim. Para perantau rela menempuh ribuan mil untuk bisa pulang ke kampung halaman di pelosok daerah hanya untuk bisa sungkem pada kedua orang tua dan sanak saudara. Perantau yang sukses juga bangga jika bisa berbagi sedikit rezeki kepada para keponakan dan anak-anak sekitarnya. Sikap pemerintah yang masih membolehkan mudik lebaran dengan protokol kesehatan yang ketat sempat membuat Haedar Nashir (ketua PP Muhammadiyah) kecewa dan menyindir pemerintah jika tetap memperbolehkan mudik, maka seruan para tokoh sebaiknya dihentikan saja karena bertepuk sebelah tangan. Ungkapan yang sangat dalam dari orang jawa yang biasa bertutur halus, karena kekhawatiran semakin merebaknya penyebaran virus Covid-19. Sekali lagi, menakut-nakuti masyarakat atau kelompok dengan ancaman bukanlah solusi yang strategis bagi pendewasaan masyarakat.
Saya optimis seruan-seruan hukum yang ada (baik edaran pemerintah maupun fatwa ormas) akan diikuti dengan baik jika masing-masing individu memposisikan diri sebagai pengawal edaran/fatwa dan memiliki visi orang lain harus menaatinya. Oleh karena itu, jika para pemangku kebijakan berharap sebuah aturan dapat dilaksanakan dengan baik, maka faktor-faktor penentu efektivitas pelaksanaan di atas dilaksanakan secara sistematis dan komprehensif. Di antara sekian faktor tersebut tampaknya yang paling dominan adalah faktor fasilitas dan sosialisasi. Semua harus berjalan pada shirāt al-mustaqīm dunia dalam arti pada road map yang jelas, berjalan beriringan, bergotong royong, bersama-sama menghadapi Covid-19.
Inilah saatnya membuktikan konsep gotong royong dan silaturahim sebagai implementasi nilai-nilai kebangsaan dan religiositas dalam pageblok global. Semoga badai segera berlalu dan kita bisa hidup normal kembali menjalani titah kita sebagai pemakmur bumi. Amin. [MZ]