Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Meneladani Rasulullah Tidak Harus dengan Mendirikan Khilafah

2 min read

Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel pada salah satu website keislaman yaitu muslimanhews.net dengan tagline “Edukatif, Inspiratif, dan Mencerdaskan”.  Dalam website tersebut saya menemukan tulisan yang berjudul “Sistem Kepemimpinan Rasulullah, Sistem Islam Kafah”.  Artikel tersebut mengatakan bahwa ummat Islam wajib meneladani segala perilaku Rasulullah saw termasuk dalam sistem kepemimpinannya yaitu sistem khilafah. Di awal tulisan, artikel ini mengajak dan mengingatkan kita untuk selalu menjadikan Rasulullah sebagai teladan pada saat momentum bulan Maulid ini. Namun sayangnya, momentum ini kemudian dijadikan sebagai wadah dalam melakukan aktifitas kampanye khilafah.

Meneladani Kepemimpinan, Bukan sistem Kepemimpinan

Nabi adalah salah satu utusan yang memang mempunyai tugas untuk memperbaiki akhlak masyarakat Arab pada waktu itu. Oleh sebab itu, Al-Qur’an menggambarkan rasulullah sebagai orang yang baik akhlaknya, baik sikap dan perbuatannya sebagaimana dalam QS. Al-Ahzab ayat 21 yang artinya

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah”

Ayat di atas menjelaskan bahwa Rasulullah merupakan suri teladan yang baik bagi ummatnya, artinya segala perbuatannya wajib untuk kita ikuti. Mengikuti ajaran-ajaran serta sikap Rasulullah adalah bentuk cinta ummat kepada Rasulnya,  sebab cinta harus dibuktikan dan pembuktian tersebut diwujudkan dengan perbuatan. Walaupun begitu, tidak semua perbuatan Nabi harus diikuti karena tidak relevan dengan realita hari ini yaitu sistem kepemimpinan.

Memang benar Nabi adalah sosok pemimpin yang ideal. Namun, ke-idealan tersebut bukan disebabkan karena sistem kepemimpinan beliau, melain cara Nabi dalam memimpin, mengambil keputusan, serta sikap beliau yang selalu adil dan tidak pernah condong kepada salah satu pihak, walaupun kepada non-muslim.

Baca Juga  Intoleransi: Refleksi Potret Beragama Setengah Hati

Sebagai pemimpin sekaligus suri tauladan, Nabi mempunyai empat karakter utama yang menjadikannya sebagai pemimpin ideal bagi ummatnya. Empat karakter tersebut adalah siddiq yang artinya benar atau jujur, amanah yang artinya dapat dipercaya, tabligh artinya menyampaikan segala apa yang harus disampaikan kepada ummatnya, dan fathonah yang artinya cerdik dan bijaksana.

Tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari, empat karakter tersebut harus diaplikasikan dalam kepemimpinan. Pertama, Seorang pemimpin harus memiliki karakter shiddiq (jujur). Karakter ini merupakan karakter yang mengarah pada kejujuran dalam perkataan dan perbuatan. Pengaruh karakter yang jujur tersebut menjadikan Nabi sebagai orang yang karismatik sehingga menumbuhkan rasa hormat dan percaya diri bagi orang yang dipimpinnya.

Kedua, Karakter Amanah yang dimiliki Nabi Muhammad dibuktikan dengan penyabaran risalah yang dipercayakan kepada beliau oleh Allah SWT. Sifat amanah yang ada pada beliau sudah dimiliki sebelum menjadi Rasul, hal ini dibuktikan dengan gelar Al-amin (yang dapat dipercaya) yang didapatkannya. Pemimpin yang amanah yaitu pemimpin yang benar-benar bertanggungjawab kepada tugas dan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya.

Ketiga, tabligh yang berarti sampai, yaitu menyampaikan informasi sebagaimana Nabi menyampaikan wahyu pertama sampai terakhir sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Allah kepada Nabi. Kemudian Nabi menyampaikannya kepada ummat Islam tanpa ada yang ditambah dan dikurangi. Keempat,  karakter fathonah yang berarti cerdas. Kecerdasan yang ada pada diri Nabi tidak hanya dalam konteks akademik saja, kita mengetahui bahwa Nabi adalah orang yang Ummi (tidak bisa menulis dan membaca). Namun, kecerdasan juga berkaitan dengan life skill dan soft kill yang tercermin dari prilaku dalam kehidupan.

Dari beberapa hal yang telah penulis sampaikan di atas bahwa karakter siddiq, amanah, tabligh, fathonah tersebut lah yang perlu diikuti dalam kepemimpinan Nabi, bukan pada sistem kepemimpinannya. Karena apapun sistem kepemimpinanya jika seseorang tidak memiliki empat karakter tersebut akan menyengsarakan orang-orang yang dipimpin.

Baca Juga  Meneladani Nilai Rukun Islam dan Rukun Iman untuk Relasi Ideal Pasutri

Tak Perlu khilafah untuk Menjadi Kafah

Seringkali dalil yang digunakan dalam kampanye khilafah adalah QS. Al-Baqarah ayat 208 yang artinya

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam (kedamaian) secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu”.

Para aktifis khilafah seringkali mengaitkan narasi Islam kafah dengan khilafah. Menurut mereka,  untuk menjadi negara yang kaffah, maka perlu menegakkan aturan-aturan Islam sesuai syariat yang langsung  bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah. Dan satu-satunya jalan adalah mendirikan negara dengan sistem khilafah.

Padahal, untuk menjadi negara yang kaffah pada dasarnya tidak perlu mendirikan khilafah, mengapa demikian karena sistem yang telah ada di Indonesia hari ini sudah kaffah dengan versinya sendiri. Dalam konteks negara Indonesia makna al-silmi lebih cocok dimaknai dengan perdamaian. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Indonesia memiliki beragam kultur, suku dan agama yang kemudian keragaman tersebut dirangkul dalam sebuah ideologi yang bernama pancasila.

Prinsip-prinsip yang telah termaktub dalam pancasila sudah sangat islami karena tidak menyalahi aturan dalam nilai-nilai keislaman. Oleh sebab itu rasanya tidak perlu untuk mendirikan khilafah untuk menjadi kafah karena Indonesia sudah kaffah dengan ideologi pancasila yang ada.  Wallahua’lam

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta