Menurut Vjekoslav Perica (2002), dalam Balkan Idol, Religion and Nationalism in Yugoslave States, perpecahan itu tidak berbasis identitas esensial yang dikonstruksi oleh agama, tetapi politisasi etno-religius oleh para penguber kekuasaan agama. Itulah pangkal dari segala selisih.
Mari bersama jujur bahwa ‘seteru’ antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama bukan seteru biasa. Ini bukan sekadar soal nawaytu yang dibaca jahr atau sirr, ada-tidaknya bacaan qunut dalam shalat subuh atau sebutan sayidina dalam shalawat. Tapi telah jauh mengakar karena terus dirawat dalam berbagai doktrin dan tausiyah, dan terus dibawa hingga ke ruang publik. Semacam etno-religion yang memproduksi dimensi ke-aku-an dan pikiran benar sendiri.
Lantas apa yang kita dapatkan dari ber-Muhammadiyah dan ber-NU—jika yang kita lakukan hanya saling mencela dan mencari kelemahan? Kenapa tidak saling memuji?
Kedua ormas besar itu ‘mengandung’ etno-religion yang tidak sederhana. Rumit dan klasik. Ini bukan hanya soal dua ormas yang berdiri, kemudian menyelenggarakan pengajian atau bersaing membangun masjid dan berebut umat. Jujur kami saling ‘bermusuhan’. Bisa diklasifikasi dalam beberapa kelompok pemikiran bagiamana Muhammadiyah dan NU saling memandang.
Pertama, sebagian kecil jemaah Muhammadiyah menganggap NU adalah kawanan ahli bidah, tempat di mana TBC bakal diberantas. NU adalah proyek dakwah yang harus ‘disunahkan’ dan ‘dibersihkan’ dari TBC. NU adalah kawanan orang-orang jumud, kolot, tradisional yang harus diberi pencerahan dan pemodernan. Pikiran ini demikian kuat di kalangan sebagian Muhammadiyah yang mengandung militansi sebagai bentuk gerakan purifikasi. Sampai disini maka terlihat gerakan Muhammadiyah begitu ofensif. Nahy munkar kerap diarahkan untuk memberantas bidah, takhayul, dan churafat [TBC].
Sebaliknya bagi NU, Muhammadiyah adalah kaum puritan, kawanan kecil tapi militan, yang melawan tradisi dan kemapanan. Bahkan disebut pula sebagai inkarnasi Salafi Wahabi. Bahkan beberapa ulama menyebut Muhammadiyah tidak masuk kategori golongan Ahli Sunnah. Radikal dan fundamentalis. Muhammadiyah anti-adat, tak suka tradisi. Muhammadiyah adalah Wahabi itu sendiri yang secara diametral berhadapan dengan tradisi pesantren dan doktrin Aswaja. Karena itu ‘aqidah’-nya berbeda. Muhammadiyah itu bukan kita.
Setidaknya kedua ormas besar terindikasi saling merawat perbedaan dan selisih kecil-kecil. Meski irisan perbedaan ideologi keduanya juga semakin menipis. Terlihat berbagai upaya untuk mendamaikan keduanya makin menguat meski tidak menyatukan secara ideologis.
Walhasil para peneliti Barat malah ikutan ‘ngompori’ dengan berbagai stigma yang ditabalkan pada keduanya agar berhadapan secara diametral–para pengamat Barat malah memposisikan Muhammadiyah dan NU antitesis bagi yang lainnya: Tradisionalis vis-à-vis Modernis, Desa vis-à-vis Kota, Ahli Bidah vis-à-vis Ahli Sunnah, Moderat vis-à-vis Puritan, Kolot vis-à-vis Pembaru, meski stigma macam ini sudah usang, seiring berkembangnya waktu dan dinamika keduanya.
Bagi saya perbedaan Muhammadiyah dan NU sesunguhnya sudah tak bisa lagi relevan dengan pikiran dialektik itu. NU sudah berubah pun halnya Muhammadiyah. Ibarat pendulum bisa begeser ke kanan atau ke kiri sesuai sunatullah.
Sayangnya ‘pikiran kontestatif’ tak ikut reda—bahkan tensinya cenderung naik meski stigma dialektik keduanya telah menipis atau boleh jadi sudah tiada. Puluhan universitas modern, boarding school, rumah sakit yang sebelunya dimonopoli Muhammadiyah justru lahir dari rahim pesantren yang dulunya pernah dicap kolot. Muhammadiyah pun juga balance tidak melulu membangun universitas, rumah sakit, atau sekolah-sekolah sekuler tapi juga membangun tradisi pesantren berbasis agama yang sangat kuat.
Realitasnya ada ikhtiar agar keduanya saling mendekat dan tak lagi bisa ditarik batas tegas untuk membuat perbedaan. Tapi kenapa masih bersaing? Membangun rivalitas dan konflik-konflik yang terus dirawat? Ada banyak jawaban, sebanyak itu pula soalan—jadi tak perlu dinafikkan sebab perbedaan keduanya adalah niscaya sebagai sebuah sunatullah.
Kami sadar tidak semua jemaah Persyarikatan paham sikap wasathiyah yang digagas para ulama Muhammadiyah—terjadi pengerasan bahkan tidak menutup kemungkinan ada sebagian kecil yang mengalami migrasi ideologi dan kita sedang bekerja keras membangun gagasan-gerakan wasathiyah dan moderasi. NU pun saya pikir sama, tidak semua sepaham dengan konsep Islam moderat yang dikemas dalam Islam Nusantara, tidak dinafikkan ada sebagian Nahdhiyin yang keras, intoleran dan kaku bergaul. Kita berada pada titik yang sama melawan fanatisme dan radikalisme di tubuh sendiri. Semoga semua makhluk bahagia, damai dan sentosa. Wallāhu ta`ālā a’lam. [MZ]