Ada wacana menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) memberi layanan pencatatan perkawinan bagi semua umat beragama. Jelas ini merupakan terobosan progresif, mengingat selama ini KUA identik dengan layanan eksklusif untuk umat Islam saja.
Wacana tersebut disampaikan oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, sesaat sesudah mengikuti rapat Kabinet di Istana Negera, 26 Februari 2024. Gus Men, begitu panggilan akrabnya, sangat yakin dengan terobosan tersebut. “Ini rencana yang akan banyak mendapat dukungan publik,” tegasnya.
Membuka KUA untuk semua penganut agama, terutama dalam layanan perkawinan dan penyuluhan agama, cukup menggambarkan komitmen Kemenag dalam mentransformasikan dirinya sebagai lembaga yang inklusif. Ini merupakan bagian dari upaya pengarusutamaan platform moderasi beragama.
Bila rencana ini segera ditindaklanjuti melalui kebijakan resmi, maka segeralah ia akan mengubah total wajah KUA yang selama ini dibiarkan eksklusif dan menjadi privilese bagi umat Islam saja. Bisa dibayangkan betapa kebijakan tersebut akan merevolusi tidak kurang dari 5972 KUA yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi rumah layanan bagi semua umat beragama.
Bisa dibayangkan pula berapa banyak tenaga Aparat Sipil Negara (ASN) yang dibutuhkan untuk menyambut platform tersebut. Belum lagi dengan skema anggaran dan suprastruktur yang dibutuhkannya.
Apapun harga yang harus dibayar, tetap saja ini merupakan terobosan penting yang menandai spirit menjadikan wajah Kemenag sebagai institusi untuk inklusif dan mencerminkan keseriusan dalam menekan favoritisme terhadap salah satu agama. Intinya, melalui terobosan tersebut Kemenag memantapkan komitmennya menjadi rumah bagi semua agama yang direkognisi di Indonesia.
Seperti dua sisi mata uang, menjadikan KUA sebagai kantor layanan untuk semua agama adalah suatu langkah maju. Tetapi jangan salah, terobosan ini sekaligus menggambarkan bagaimana parahnya politik segregasi di masa lalu. Bahkan, menggambarkan secara total politik segregasi berdasarkan agama/kepercayaan yang dilembagakan hampir seusia Republik Indonesia.
Segregasi itu berakar sangat kokoh, baik dalam kebijakan maupun dalam praksis layanan. Hingga saat ini, pencatatan perkawinan yang dilayani KUA bersifat eksklusif untuk umat Islam. Pencatatan perkawinan pemeluk agama lain–Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu–dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil). Ini baru lapisan pertama.
Segregasi dalam lapisan lainnya, perkawinan beda agama tetap tidak bisa dicatatkan hingga saat ini. Begitu pula, pencatatan terhadap perkawinan Penghayat Kepercayaan dan Masyarakat Adat juga tidak bisa dilakukan sebelum keluarnya Putusan MK hasil judicial review atas Undang-Undang No. 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, sehingga membolehkan pencatatan perkawinan warga Penghayat Kepercayaan di Dispendukcapil.
Segregasi yang berkelindan dalam hajat hidup warga negara itu, berakar kokoh bukan hanya dalam kebijakan, tetapi sekaligus dalam politik rekognisi agama yang dilembagakan sejak Republik berdiri. Sudah pasti, terobosan yang dicanangkan oleh Kemenag tersebut pertama-tama harus berurusan dengan sejumlah kebijakan yang terlanjur bersifat segregatif. Menjadikan KUA sebagai kantor layanan pencatatan perkawinan semua agama, harus dimulai dengan menyelaraskan terlebih dahulu sejumlah kebijakan yang saling bertolak belakang.
Setidaknya, Kemenag harus mereview dan menyelaraskan UU No. 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan; UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan; Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 20 tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan, dan; PMA No. 34 tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan. Pendek kata, pekerjaan rumah pertama yang harus segera dilakukan adalah menjadikan kebijakan tentang pencatatan perkawinan bersifat selaras dan satu payung.
Sudah pasti ini bukan pekerjaan mudah, karena sifatnya yang lintas kementerian/lembaga, tetapi sekaligus rumit karena tata layanan perkawinan yang dilembagakan selama ini berakar sangat kokoh pada politik segregasi yang terlanjur mengerak, mendarah-daging, dalam suprastruktur dan birokrasi layanan. Misalnya, dalam tradisi perkawinan Islam yang dilayani oleh KUA, pelaksanaan perkawinan dan pencatatannya bisa dilakukan oleh Naib sebagai petugas layanan. Permasalahannya, bagi banyak agama, perkawinan lazim dilakukan melalui proses ritual dan pemberkatan oleh pemimpin agama. Fungsi Dispendukcapil semata-mata, hanya melakukan pencatatan saja. Ini sekaligus menggambarkan bahwa, fungsi layanan KUA dalam ihwal perkawinan sesungguhnya hanyalah fungsi pencatatan.
Bila fungsi layanan Perkawinan yang diberikan oleh pemerintah hanya bersifat administratif dan pencatatan, pertanyaan lanjutannya adalah, apakah fungsi tersebut akan melekat pada Kemenag, atau justru dilimpahkan kepada Dispendukcapil di bawah Kementerian Dalam Negeri yang mengurusi hal-ihwal pencatatan dan administrasi warga negara?
Tentu pertanyaan tersebut tidak harus mendapat jawaban, karena substansinya justru menyoal politik segregasi ternyata menyeret sangat jauh warga negara kepada lapisan birokrasi pencatatan yang rumit dan selalu bersifat standar ganda. Urusan menjadi KUA sebagai kantor layanan pencatatan Perkawinan semua agama, pada akhirnya tidak semudah menyelaraskan kebijakan, tetapi sekaligus merombak menyelaraskan tata pikir dan tata kelola sistem pencatatan yang dilembagakan secara ambigu dan salah kaprah, sejak Indonesia berdiri hingga saat ini.
Urusan merevolusi KUA berpotensi juga memantik pula segregasi di lapisan kedua, terkait dengan keberadaan warga Penghayat Kepercayaan dan penganut agama leluhur di Indonesia. Inilah kelompok yang selalu dibedakan sistem pelayanannya dibandingkan dengan penganut agama-agama yang diresmikan oleh negara. Secara faktual keberadaan mereka tidak bisa disangkal. Betapapun politik rekognisi menempatkan mereka dalam domain kebudayaan, tetapi semua orang memahami bahwa inilah hasil akhir dari politik segregasi yang tidak menghendaki mereka berada pada posisi yang setara dengan para pemeluk agama.
Pertanyaannya, apakah upaya merevolusi fungsi dan tugas layanan KUA yang diberikan kepada semua penganut agama, bersifat inklusif dan menempatkan para Penghayat Kepercayaan dan penganut agama leluhur dalam posisi setara dengan penganut agama ‘resmi’ di Indonesia?
Sekali lagi, pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk mendapatkan jawaban ya atau tidak, tetapi secara substantif hendak mengingatkan bahwa terobosan serevolusioner apapun yang dilakukan dalam rangka menepis jurang segregasi, tidak akan mampu menyelesaikan akar persoalan bila pemerintah tetap melembagakan politik rekognisi.
Layanan semata-mata hanya secara eksklusif dinikmati oleh kelompok agama yang ‘diresmikan’ oleh negara, tetapi tidak terhadap para penganut agama/kepercayaan yang tidak mendapat pengakuan. Politik rekognisi akan terus melahirkan tata kelola yang bersifat segregatif dan memfavoritkan sebagian warga negara saja. Merevolusi fungsi dan tata kelola KUA untuk semua agama (resmi) dengan tanpa menyentuh akar politik rekognisi, sesungguhnya hanya akan menyelesaikan satu lapis saja problem favoritisme dan diskriminasi yang mewarnai tata kelola layanan terhadap warga negara. []