Alycia Fatma Mahasiswa Prodi Studi Agama-Agama, UIN Sunan Ampel Surabaya

Quo Vadis Politik Santun? Menyelamatkan Demokrasi yang Terancam

1 min read

Di tengah ramainya perbincangan sepuatar covid-19 dan new-normal yang masih terus berlanjut, tulisan pendek ini ingin mengajak pembaca sebentar saja melihat bahwa amoralitas politik masih menghantui bangsa ini. Bahkan, penanganan wabah covid saat ini pun masih (dianggap) sarat muatan politik tidak santun, satu hal yang dapat mengancam keberlangsungan demokrasi. 

***

Kontestasi politik seringkali menyebabkan satu kandidat dengan kandidat lain saling sikut, saling sindir dan saling menjatuhkan. Sebuah ajang politik semisal Pilkada, yang diawali dengan kampanye, selalu menyisakan persoalan prosedural: penyelenggaraan yang “berantakan” dan kampanye yang “tidak beradab”.

Persoalan yang sangat dikhawatirkan selanjutnya adalah perilaku amoralitas politik. Semua kandidat berjuang keras, saling menjatuhkan satu sama lain, dan menghalalkan segala cara untuk menjadi pemenang. Untuk menghindari perilaku politik amoral, saya pikir moralitas politik harus hadir sebagai pijakan berpolitik dewasa ini.

Masalah bangsa ini adalah soal moralitas. Salah satu jalan keluar dari permasalahan bangsa adalah penegakan nilai-nilai moralitas. Kesantunan dan moralitas politik perlu ditingkatkan dalam demokrasi Indonesia. Politik tidak bermoral jelas menjadi kendala yang menghalangi jalannya demokrasi. Masih banyak kegiatan “politik keras” tanpa moral terjadi dan perlu diwaspadai, seperti politik uang dan politik pencitraan. Politik uang yang bertujuan mencari keuntungan besar dari modal yang dikeluarkan saat kampanye tentu akan melahirkan tingginya tingkat korupsi. Hal ini akan menyebabkan kerugian bagi negara dan masyarakat Indonesia.

Dalam Transparency Internasional disebutkan bahwa Indonesia berada pada posisi ke-96 dan nilai korupsi di Indonesia masih besar yaitu 37.

Sementara politik pencitraan mengungkapkan fakta bahwa politik di Indonesia lebih menggunakan politik rekayasa. Ada dua macam politik pencitraan: negatif dan positif. Politik pencitraan positif membawa fakta ke ranah politik, sementara fakta politik pencitraan negatif hanya bersifat temporal dan memanipulasi keadaan.

Baca Juga  Tren Program Tahfidz di Sekolah dan Maklumat Nyanyian Bebas (2)

Politik pencitraan melakukan penipuan publik. Dampak buruk dari pencitraan negatif membuat masyarakat melihat pemimpin itu baik, namun setelah menjadi pemimpin mereka harus kecewa karena pemimpin yang dipilih tidak sesuai dengan kenyataan dan harapan mereka.

Hal ini diperparah oleh kenyataan bahwa di setiap pemilu pasti akan ada “yang kalah” dan “yang menang”. Inilah yang terus menimbulkan konflik dan persaingan politik berdampak kebencian dan saling menjatuhkan. Demokrasi pun terancam.

Berbagai perilaku di atas membutuhkan solusi, baik dari para politisi ataupun masyarakat. Pertama, yang harus dikuatkan adalah spiritualitas. Setiap kontestan sejatinya menjunjung tinggi keimanan terhadap Tuhan dan mempersatukan hati denganNya. Jika itu terjadi, maka politik tanpa moral niscaya akan menghilang. Demokrasi tidak akan terancam oleh konflik antar kandidat atau antar partai. Tidak ada kecurangan dalam berpolitik.

Kedua, hukum dan penegak hukum. Selama ini penerapan hukum di Indonesia banyak dilanggar, terutama oleh mereka, para petinggi negara dan para politisi. Karena posisi dan jabatan tinggi yang dimiliki, mereka mampu melakukan banyak hal dengan jabatan dan uang. Hukum negara pun mereka langgar.

Apabila (penerapan) hukum di Indonesia berdiri tegak, saya yakin tidak akan ada lagi demokrasi yang terancam. []

Alycia Fatma Mahasiswa Prodi Studi Agama-Agama, UIN Sunan Ampel Surabaya