Situasi wabah Covid-19 telah menghantarkan masyarakat Muslim Indonesia untuk berpikir dan bertindak secara kreatif. Bak serial film MacGyver, di saat situai terjepit, semua potensi dan kecerdasaan yang luar biasa keluar dan dikerahkan semaksimal mungkin. Dalam film serial televisi yang booming di Indonesia pada periode 1985-an hingga 1990-an itu, MacGyver yang diperankan oleh aktor Richard Dean Anderson yang bekerja untuk Phoenix Foundation, memerangi kejahatan tanpa menggunakan senjata api. Dengan pengetahuan fisika dan kimianya yang luas, ia merakit suatu alat untuk menaklukkan musuh-musuhnya.
Demikian juga halnya dengan tradisi keagamaan dan kepesantrenan di masyarakat Indonesia, terutama selama masa bulan Ramadan ini. Masa pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease 2019) yang kini terus menimpa belahan dunia telah “memaksa” kalangan pesantren untuk berpikir dan bertindak secara kreatif-dinamis. Ngaji “pasaran” sebagai salah satu kesempatan emas bagi pesantren untuk mengkhatamkan kitab-kitab tertentu dalam durasi satu bulan Ramadan, kini tampak terus berlangsung. Meski para santri telah dipulangkan lantaran wabah Covid-19, ngaji “pasaran” tetap diselenggarakan secara virtual dengan memanfaatkan berbagai media sosial. Para kiai, ustaz, dan alumni-alumni pondok pesantren menyiarkan kajian kitab ini secara masif, mulai kitab jenjang dasar (al-marhalah al-ūlā) hingga jenjang tinggi (al-marhalah al-ulyā), dengan berbagai disiplin atau cabang keilmuannya. Walhasil, para santri, bahkan masyarakat umum, tetap mampu melakukan ngaji “pasaran” tersebut hingga beberapa kitab telah dikhatamkannya.
Pertanyaannya adalah jika demikian halnya, bagaimana dengan keberlangsungan tradisi pesantren selama masa Covid-19 ini? Ini adalah salah satu pertanyaan dasar bagi kita semua agar tradisi dan ruh pesantren tetap berlangsung, meski dalam situasi Covid-19. Maka, salah satu jawaban sederhana yang bisa diajukan adalah menjadikan rumah kita masig-masing seperti pondok pesantren atau dengan bahasa lain “memesantrenkan” rumah. Di saat kita tidak memungkinkan untuk melakukan perkumpulan dan harus menjaga jarak (psychal distancing) agar tidak tertular/menularkan Covid-19, kita tetap berada di rumah (stay at home). Kondisi rumah masing-masing dijadikan tempat untuk mensemayamkan kegiatan dan ruh kepesantrenan.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, pasal 5 menyebutkan bahwa pesantren harus memenuhi unsur-unsur paling sedikit lima hal, yakni: (a) kiai; (b) santri yang bermukim; (c) pondok atau asrama; (d) masjid atau mushalla; dan (e) kajian kitab. Dalam situasi Covid-19, beberapa unsur dapat dilaksanakan di rumah, seperti santri bermukim, pondok atau asrama, dan masjid atau musala; yang itu semuanya bisa tersedia di rumah masing-masing. Sementara dua unsur lainnya, yakni kiai dan kajian kitab, ini yang perlu diantisipasi.
Sosok kiai adalah pemimpin tertinggi yang mampu menjadi pengasuh, figur, dan teladan dalam penyelenggaraan pesantren. Demikian yang disebutkan dalam pasal 9 Undang-Undang Pesantren tersebut. Dalam konteks “memesantrenkan” rumah, orang tua dituntut untuk menjadi sumber teladan, inspirasi, dan mampu menggerakkan aktivitas rumah dengan berbagai kegiatan dan kajian keagamaan dan kepesantrenan. Tutur kata, sikap, etika, dan pengetahuan orang tua sudah saatnya menjadi kekuatan dan sumber pengetahuan bagi anaknya, selaku santri di rumahnya. Demikian juga, kebiasaan untuk melakukan shalat berjamaah, zikir, baca Alquran, dan kajian-kajian keagamaan perlu dilakukan dalam keseharian di rumahnya.
Dalam konteks kajian kitab, “memesantrenkan” rumah juga dapat memanfaatkan kajian-kajian kitab yang disiarkan oleh para kiai atau ustaz melalui media sosial, agar itu menjadi bagian penting yang diikuti oleh anaknya di rumah. Beberapa kitab dan narasumber pada media sosial patut juga dipilah dan dipilih. Harus dipastikan kitab yang dikaji itu disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan minat sang anak. Demikian juga, pemilihan narasumber pada kajian kitab juga agar dipastikan tidak memiliki rekam jejak atau jaringan ke arah pemahaman dan/atau gerakan keagamaan yang kontraproduktif dengan semangat kebangsaan dan pemahaman yang moderat.
Memanfaatkan sumber-sumber informasi dan teknologi (IT), termasuk dalam mengakses kajian kitab, saat ini tampaknya tidak bisa ditawar lagi. Kita semua harus melek dengan kecanggihan teknologi cyber dan teknologi otomatisasi. Sistem siber-fisik, internet of things (IoT), cloud computing, dan cognitive computing merupakan tren industri yang telah berperan besar dalam mengubah kehidupan dan tatanan manusia, tak terkecuali bagi dunia pesantren.
Persoalannya adalah apakah kita sudah siap untuk melakukan transformasi penggunaan sumber-sumber informasi dan teknologi itu dengan baik dan penuh kedewasaan? Penggunaan dengan baik adalah kemampuan dalam mengoperasikan IT, sementara kedewasaan dalam menggunakan IT adalah kemampuan dalam mengontrol konten dan sumber-sumber informasi yang laik dan benar adanya. Jawabannya adalah di masa Covid-19 inilah yang akan membuktikannya. [MZ]