Akhol Firdaus Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) dan Dosen UIN SATU, Tulungagung;

Perjuangan 70 Tahun untuk Perubahan Nama Penanggalan Yesus Kristus

2 min read

Tanggal 29 Januari 2024 dianggap sebagai hari bersejarah bagi umat Kristen dan Katolik se-Indonesia. Pada Tanggal tersebut, Presiden Joko Widodo secara resmi mengeluarkan Keppres No. 8 tahun 2024 tentang Hari-Hari Libur. Melalui Keppres tersebut, pemerintah secara resmi telah mengubah nomenklatur Isa Almasih menjadi Yesus Kristus dalam penanggalan nasional.

Sejak periode ini, penyebutan libur nasional terkait kelahiran, wafat, dan kenaikan Isa Almasih dalam kalender nasonal, secara resmi diubah menjadi kelahiran, wafat, dan kenaikan Yesus Kristus. Meski hanya perubahan tata nama, akan tetapi butuh waktu tujuh puluh tahun lamanya bagi Kristen dan Katolik untuk mendapatkan haknya merepresentasikan tata nama dalam kalender libur nasional menurut iman Kristen.

Semua memahami bahwa tata nama Isa Almasih, jelas menggambarkan representasi yang dikerangkai oleh cara pandang dogmatika Islam. Ini bukan sekadar tata nama, tetapi merupakan political naming. Bagaimana neraca nama sengaja disuguhkan untuk menampung segenap keyakinan dan pengetahuan tentang subyek, dan secara sengaja disuguhkan dari sumber dogmatis yang bukan merupakan keimanan Kristen atau Katolik.

Pendek kata, penyebutan Isa Almasih jelas hanya mewakili keimanan Islam dan dalam rangka mayoritarianisme. Sementara pemeluknya sendiri, berdasarkan sumber dogmatika yang diimaninya, jelas-jelas tidak terwakili oleh kosa-kata tersebut. Keppres dengan begitu dipandang sebagai terobosan penting dalam menampung aspirasi dan masukan umat Kristen dan Katolik. Terobosan yang dianggap memiliki nilai penting bagi penguatan toleransi.

Terobosan ini tidak lepas dari inisiatif dan kerja intelektual yang dilakukan oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, setelah menerima masukan tujuh Uskup di Amboina Center Keuskupan Amboina, pada 23 April 2023. Masukan tersebut ditindaklanjuti dengan berbagai langkah teknokratis, yang pada prinsinya Gus Men—begitu panggilan akrab Menter Agama—menyediakan diri untuk memperjuangkan draft Keppres kepada Presiden Jokowi.

Baca Juga  Gerakan Hijrah: Pasar Bebas Dakwah dan Ustadz Mualaf yang Ngawur

Dalam keterangan resminya, Presiden Jokowi menyampaikan “perubahan nomenklatur Isa Almasih menjadi Yesus Kristus sebagai ikhtiar penting yang dilakukan oleh pemerintah demi mengukuhkan toleransi.” Keppres sekaligus dianggap sebagai faktor yang menjadikan kebebasan beragama di Indonesia makin kokoh. Intinya, perubahan nomenklatur dianggap sebagai capaian moderasi beragama yang makin solid.

Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa terbitnya Keppres tersebut merupakan praktik baik, sekaligus kisah sukses bagi pemerintah dalam mempromosikan kehidupan moderasi beragama. Meski begitu, terbitnya Keppres tentang perubahan nomenklatur tersebut juga bisa bermakna bahwa di masa lalu, pemerintah telah berjasa—untuk tidak menyebutnya berdoa—karena melembagakan mayoritarianisme, terutama dalam konteks bagaimana tata nama keagamaan selalu disaring melalui kacamata kelompok agama mayoritas.

Dalam politik rekognisi keagamaan sebagaimana dilembagakan di Indonesia, negara telah melakukan kesalahan berpuluh tahun karena menyederhanakan urusan-urusan teknis penyebutan nama tanpa mengindahkan pandangan keimanan atau keyakinan subyeknya. Semua ditentukan menurut kaidah kepantasan kelompok atau cara pandangan mayoritas. Hal yang sama misalnya juga pernah terjadi pada tata nama 1 Hijriah untuk menyebut tahun baru umat Islam, sementara pada saat bersamaan masyarakat Jawa juga mengakuinya sebagai 1 Suro sebagai hari besar orang Jawa.

Melalui Keppres No. 8 tahun 2024, justru orang menjadi tahu bahwa pangkal dari semua ini adalah politik rekognisi keagamaan. Semua kebijakan pengakuan atas keberadaan agama, termasuk pengakuan hari-hari besar dalam kalender nasional, bukan hanya ditentukan oleh negara tetapi juga disaring berdasarkan asas mayoritarianisme. Negara bukan hanya berkepentingan melembagakan enam agama, tetapi secara historis juga berkepentingan menjadikan yang enam tersebut tunduk pada kelaziman yang ditakar dari kacamata mayoritas.

Alih-alih menyebut Keppres tersebut sebagai ikhtiar untuk mengokohnya kehidupan toleransi, saya lebih melihatnya sebagai bagian dari pertaubatan dan keinsyafan negara karena kesalahan-kesalahan politik rekognisi yang dilembagakan di masa lalu, dan masih terus berlanjut hingga hari ini. Nomenklatur Isa Almasih dalam kalender nasional, jelas merupakan kesalahan sistematis dalam politik rekognisi. Pada saat pemerintah menyadarinya sebagai kesalahan, tidak lantas menjadikannya sebagai ikhtiar toleransi.

Baca Juga  Bagaimana Milenial Berbicara Moderasi Beragama?

Dalil bahwa “Keppres adalah ikhtiar toleransi” menyimpan dua catat nalar sekaligus. Pertama, mengandaikan kehidupan toleransi dan moderasi beragama selalu bersifat struktural. Dalam kehidupan semua bangsa, toleransi dan moderasi beragama justru merupakan domain masyarakat sipil yang terus memperjuangkan dirinya mencapai tata kehidupan beradab, dengan cara membangun kesadaran dan pengetahuan demi terwujudnya penghormatan atas ragam perbedaan, tidak terkecuali perbedaan agama/keyakinan.

Kedua, perjuangan masyarakat dalam menciptakan toleransi dan kehidupan yang lebih moderat, dalam sejarahnya lebih sering menghadapi problem struktural yang sangat serius, karena negara secara sengaja melakukan intervensi terhadap hak dan kebebasan sipil. Dengan kata lain, negara lebih sering hadir sebagai faktor yang menghambat toleransi daripada menyokongnya. Terbitnya Keppres lebih mudah dipahami sebagai langkah maju karena negara menginsyafi dirinya sebagai penghambat toleransi.

Harus tetap dicatat, bahwa untuk sekadar keinsyafan suplementer ini saja, butuh waktu tujuh puluh tahun bagi subyeknya untuk mendapatkan kembali pengakuan atas keimanannya di dalam tata nama penanggalan. Bayangkan berapa ratus tahun lagi untuk menjadikan negara insyaf atas politik rekognisi itu sendiri, yang telah salah kaprah menetapkan adanya enam agama resmi, sementara secara faktual ada puluhan bahkan ratusan agama yang dianut sehari-hari oleh masyarakat?

Dan, butuh berapa abad lamanya untuk sekadar menjadikan negara insyaf bahwa, agama/kepercayaan merupakan domain kemerdekaan sipil, yang tidak boleh direkognisi dan dipenuhi tata kelolanya oleh negara? Dalam perspektif keadaban universal, semua memahami bahwa rekognisi dan pemenuhan tata kelola keagamaan yang diurusi negara terlalu jauh, berdampak serius bagi pemakluman atas praktik favoritisme terhadap sebagian agama saja, dan diskriminasi terhadap lebih banyak agama/kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. []

 

Akhol Firdaus Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) dan Dosen UIN SATU, Tulungagung;