Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Bulan Syakban: Mengingat Kembali Peristiwa Perpindahan Arah Kiblat

2 min read

Bulan Rajab telah berlalu dan kini tanpa terasa kita sudah hampir memasuki Nisyfu Sya’ban (pertengahan bulan Syakban). Itu artinya sebentar lagi kita akan bertemu dengan bulan Ramadan.

Menjelang bulan Ramadan ini banyak sekali peristiwa-peristiwa yang dilalui oleh Rasulullah. Rangkaian peristiwa tersebut dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi diri untuk meningkatkan spiritualitas kepada Allah.

Bulan Syakban menjadi salah satu bulan yang turut diperhitungkan. Hal ini dikarenakan pada bulan ini dipenuhi dengan berkah dan kebaikan. Terlebih lagi ketika seseorang banyak melakukan ibadah seperti bersedakah, berpuasa, dan ibadah lainnya. Oleh sebab itu, terhadap ibadah yang kita lakukan pada bulan ini, Allah akan memberikan ketenangan dan ketentraman baginya.

Dalam kitab Madza fi Sya’ban karya Imam Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, dikatakan bahwa dinamakan bulan Syakban karena bulan tersebut banyak menimbulkan berbagai macam kebaikan.

Tetapi ada pula yang mengatakan Syakban artinya jalan yang terjal di lereng gunung. Maksudnya adalah suatu jalan menuju kebaikan. Adapula yang mengatakan bahwa pada bulan ini Allah menyatukan kembali hati para hambanya yang telah retak. Di bulan ini, hati yang galau, risau, dan gundah akan mendaaptkan siraman ketenangan dan kebahagiaan.

Kitab itu juga menerangkan berbagai rangkaian peristiwa yang terjadi pada bulan Syakban. Salah satu peristiwa penting adalah pemindahan arah kiblat umat Islam dari Masjidilaqsa di Baitulmaqdis ke Kakbah di Masjidilharam.

Perpindahan Arah Kiblat

Rangkaian peristiwa pindahnya arah kiblat telah tercatat dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 142-145. Empat ayat tersebut berbicara secara spesifik terkait pindahnya arah kiblat umat Islam. Diawali dengan sikap-sikap orang Yahudi yang mempertanyakan arah kiblat umat Islam yang dianggap tidak konsisten.

Baca Juga  Kritik Terhadap Wacana Feminisme Pascakolonial di Indonesia

Oleh sebab itu, Allah kemudian menjawab, “Milik Allah timur dan barat.” Kedua arah itu sama dalam hal kepemilikan dan kekuasaannya. Kemudian perintah pemindahan tersebut turun tepat pada QS. al-Baqarah [2]: 144.

Artinya: “Sungguh kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajamu ke arah Masjid al-haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya. Dan sesungguhnya oarng-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke masjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah mengatakan bahwa melalui ayat ini Allah menyampaikan kepada Nabi Muhammad bahwa Allah mengetahui keinginan, isi hati, atau doa beliau agar kiblat segera dialihkan ke Makkah. Ketika perintah ini turun dan keinginan Nabi Muhammad telah dikabulkan, tentu saja perintah ini tidak hanya untuk beliau sendiri, tetapi kemudian ditujukan kepada semua umat Islam tanpa terkecuali.

Mengutip dari Mubadalah.id, Fakhr al-Din al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb menyebutkan terdapat empat alasan terkait pindahnya kiblat ke Makkah. Pertama, Rasulullah tidak ingin jika kiblat umat Islam sama dengan kiblat umat Yahudi. Kedua, karena Kakbah dibangun oleh nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta menjadi kiblat keduanya.

Ketiga, jika arah kiblat menghadap Kakbah, maka besar kemungkinan dapat membuat orang-orang Arab tertarik untuk masuk Islam. Keempat, karena tanah Makkah merupakan tanah kelahiran Nabi Muhammad.

Melihat sikap orang Yahudi yang selalu saja iri dan dengki kepada umat Islam, oleh sebab itu untuk menghindari perbuatan yang tidak diinginkan maka kemudian turunlah perintah tersebut. Ibn Katsir dalam tafsirnya mengatakan orang Yahudi mempunyai kiblat tersendiri, orang-orang Nasrani pun mempunyai kiblat sendiri, begitu pun umat Islam, bahwa Allah telah memberikan petunjuk untuk mengarah kepada kiblat yang sebenarnya.

Baca Juga  Gus Dur dalam Kenangan Masa Kecilku

Refleksi

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai alasan pindahnya arah kiblat, tidak dapat dipungkiri bahwa tetap saja Kakbah merupakan kiblat yang telah ditentukan hingga akhir masa. Pindahnya kiblat ke Kakbah mempunyai nilai filosofi tersendiri. Mengapa demikian?

Hal ini disebabkan posisi Kakbah berada di tengah-tengah, dan posisi ini menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan, sebagaimana posisi tengah dapat dilihat dari berbagai penjuru yang berbeda-beda. Sehingga, hal itu dapat menjadi teladan bagi semua pihak.

Di sisi lain, perpindahan kiblat ini juga merupakan bentuk seleksi untuk melihat siapa saja orang-orang yang memang benar-benar beriman dan siapa mereka yang melenceng. Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, tentu saja mereka akan patuh dan segera mengikuti perintah tersebut. tetapi sebaliknya, bagi orang yang membelot, mereka akan tetap bertahan kepada tradisi untuk tetap berkiblat ke Baitulmaqdis. Wallahualam bissawab. [AR]

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta