Bulan September tahun 2016, penulis memiliki kesempatan berharga untuk mewawancarai langsung Prof. Azyumardi Azra di tengah seminar yang dilaksanakan Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengenai perlindungan kelompok minoritas Syiah asal Sampang. Isu yang dari awal tahun 2012 menjadi pembahasan nasional hingga saat ini masih diperdebatkan dan menjadi tolak ukur relasi intra agama umat Islam di Indonesia. Di tengah merebaknya kelompok penentang kelompok Islam minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah, siapapun yang berkeinginan melindungi kelompok tersebut akan mendapat serangan personal yang bertubi-tubi maupun pembunuhan karakter.
Prof. Azra ialah salah satu akademisi yang memiliki pendirian yang teguh untuk melindungi kelompok tersebut. Tidak hanya itu, akademisi memang selayaknya memiliki kemerdekaan dalam belajar, dalam artian mempertimbangkan banyak aspek sebelum menentukan sikap terhadap realitas. Sebagaimana nasehat KH Imam Zarkasyi untuk mendahulukan akhlak, kesehatan fisik dan berpengetahuan luas sebelum berfikir merdeka. Itulah setidaknya kemerdekaan intelektual yang dapat saya gambarkan dalam melihat Prof Azra yang memiliki basis intelektualitas yang kuat.
Dalam arti lain, kemerdekaan intelektual bisa dipahami sebagai kondisi lepas dari ikatan kebergantungan, mandiri, bebas dan dapat menentukan nasib sendiri. Jika generasi pelajar saat ini baru saja mendengar Mas Menteri Nadiem membicarakan tentang merdeka belajar, jauh sebelum itu, banyak tokoh intelektual Indonesia yang telah mencontohkan untuk bagaimana merdeka dalam belajar itu sesungguhnya.
Bentuk kemerdekaan intelektual bisa dimanifestasikan dalam bagaimana merespon persoalan masyarakat di Indonesia, khususnya yang bersinggungan dengan isu yang sensitif, seperti merawat keberagaman. Jumlah gap yang besar antara kelompok agama mayoritas dan minoritas sering kali menjadi tantangan merawat kebhinnekaan yang juga dapat menimbulkan konflik sosial di masyarakat, entah itu antar agama ataupun intra-agama.
Dalam sebuah kesempatan dalam Forum Titik Temu 2019 yang diselenggarakan oleh Nurcholis Madjid Society, Prof. Azra menekankan bahwa kecenderungan meningkatnya praktek intoleransi di masyarakat harus diimbangi dengan memperkuat Bhinneka Tunggal Ika. Memberikan kesempatan yang sama bagi semua kelompok agama untuk leluasa beribadah perlu didukung di tengah maraknya penolakan pembangunan, perusakan dan penolakan rumah ibadah. Beliau menggarisbawahi bahwa penguatan kebhinnekaan dapat memperkuat demokrasi, tapi perlu diingat, bukan demokrasi yang otoriter.
Salah satu faktor determinan dalam menjaga kemajemukan ialah kehadiran negara dalam menjamin keamanan warganya sebagaimana tertuang dalam konstitusinya. Hadir saja tidak cukup, ketegasan terhadap mereka yang menghalangi upaya perlindungan terhadap kelompok yang tertindas perlu ditegakkan. Yang menjadi momok kemudian ialah munculnya kelompok yang memanfaatkan agama sebagai justifikasi menekan kelompok lain, apalagi ketika ada kepentingan politik untuk mencapai kekuasaan yang justru malah memperkeruh kondisi sosial di masyarakat, hal tersebut tidak dibenarkan.
Selain itu, merawat kemajukan bisa ditegakkan dengan memperkuat HAM. Salah satu kritik Prof Azra terhadap negara terkait komitmen penegakan HAM ialah bagaimana negara tidak serius dalam hal tersebut, alih-alih menggunakan otoritasnya dalam penegakan persoalan HAM, negara hanya membicarakan, mendiskusikan dan meneliti isu HAM sebagaimana negara memberikan pekerjaan rumahnya kepada Komnas HAM.
Memang, di tengah kontestasi politik transaksional yang semakin menggurita dan mendarah daging, penegakan HAM di Indonesia diibaraktkan seperti menemukan jarum di tengah tumpukan jerami, padahal, jika ingin serius, negara punya hak untuk bertindah dan menuntaskan persoalan yang ada.
Dalam buku “Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam”, Prof. Azra menekankan empat poin penting mengenai unsur-unsur dalam penegakan HAM. Pertama, memiliki hak yang dibenarkan oleh hukum. Kedua, mempunyai kekuatan hukum. Ketiga, memenuhi unsur tujuan yang sah atau legitimate aim. Keempat, hukuman yang proporsional bagi pelanggar.
Dari keempat unsur tersebut, ketertiban umum dan keutuhan demokrasi dapat ditegakkan jika upaya penegakan HAM dan perlindungan terhadap korban konflik yang berkepanjangan mendapat perhatian lebih dari negara. Oleh karena itu, dalam sebuah kesempatan Prof Azra pernah berpesan bahwa aparat keamanan dan penegak hukum harus bersinergi menindak kekerasan atas nama apapun, negara harus berdiri diatas semua golongan. Sebagai tambahan, meminjam istilah Prof Najib Burhani, melindungi hak-hak kelompok minoritas dan tertindas ialah upaya keberpihakan terhadap mustadh’afin yang merupakan hal yang sangat dianjurkan dalam beragama.
Tatkala Menteri Agama baru Gus Yaqut menegaskan akan melindungi kelompok minoritas beberapa waktu yang lalu, terlintas di benak saya sebuah kritik yang disampaikan oleh Prof Azra atas ketidakhadiran negara dalam memfasilitasi kaum minoritas, khususnya keleluasaan beribadah. Kelompok Syiah Sampang, Ahmadiyah Mataram maupun kelompok agama non-Islam yang lebih khusus yang mendapat perlakuan buruk dan persekusi harus diperhatikan.
Jika mengambil kasus Syiah Sampang, kembali pada tahun 2011-2012 lalu, saat massa anti Syiah membakar rumah milik Tajul Muluk karena dituduh menghina Islam ialah satu dari noda kemajemukan di Indonesia. Kekerasan demi kekerasan dialami kelompok tersebut hingga akhirnya mereka tinggal di Sidoarjo untuk mendapat perlindungan.
Menilik akar kasus ini, Prof. Azra mengingatkan bahwa, kontestasi global Sunni-Syiah di Timur Tengah yang diwarnai dengan kebencian atas kelompok satu sama lain sebenarnya tidak begitu kentara di Indonesia. Namun dalam dua hingga dekade terakhir virus kebencian tersebut tumbuh subur di Indonesia. Padahal Syiah sudah ada di Indonesia sejak berabad-abad dan tidak menjadi masalah. Yang terjadi saat ini tidak jauh dari implikasi dari penularan kontestasi politik internasional yang mencoba ditularkan ke Indonesia lewat aktor-aktor lokal. Dalam catatan sejarah, akar keislaman di Indonesia sangatlah beragam, salah satunya dari melalui saudagar Persia.
Apa yang telah dilakukan Prof Azyumardi Azra ialah kerja-kerja akademik dan kepekaan sosial yang didasari oleh ilmu. Sehingga tidak dibutakan oleh kepentingan semu yang menepikan upaya memperjuangkan kelompok minoritas yang tidak hanya berhenti pada isu. Semakin, berilmu seseorang, semakin peka terhadap apa yang terjadi di lapangan.
Prof. Azra, adalah panutan ideal intelektual dan akademisi muda yang haus akan pengetahuan. Karyanya benar-benar menambah dan memperkuat khazanah keilmuan Islam dan ke-Indonesia-an, essainya ialah lauk empuk yang memberikan nutrisi dan gizi tambahan bagi siapa pun yang lapar dan haus; komentar dan kritiknya ialah pengingat yang membuat masyarakat berfikir. Selamat jalan Prof. Azra, karyamu akan selalu abadi! (mmsm)