Ainna Amalia FN Dosen Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya dan Dosen STAIM Kertosono Nganjuk

Pergeseran Orientasi Pesantren dari Humanis ke Kapitalis

2 min read

Pesantren dengan kemandiriannya, memiliki peran sentral dalam memainkan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang humanis. Peranan ini telah menghasilkan lahir tokoh-tokoh besar yang berpengaruh pada pergulatan panjang bangsa Indonesia.

Dalam pesantren, model pendidikannya lebih bercorak kerakyatan dengan memberi kesempatan kepada seluruh kalangan masyarakat tanpa pandang bulu. Prosesnya berorientasi pada pengabdian masyarakat, sehingga hubungan antara kyai (guru) dengan santri (murid) terbangun berlandaskan ketulusan dan kekeluargaan.

Ketulusan inilah yang membuat hasil pendidikannya tak diragukan lagi. Pendidikan ala pesantren menjadi oase bagi masyarakat akan pendidikan humanis yang mampu membentuk karakter dan moral etik generasi bangsa.

Ditengah gempuran budaya kapitalistik dan hedonistik, misi suci pesantren rawan tercederai oleh kepentingan-kepentingan yang sifatnya materi. Pesantren bisa saja terpeleset oleh jebakan-jebakan kapitalistik yang mengarah pada komersialisasi pendidikan pesantren.

Fakta komersialisasi pesantren agaknya mulai marak seiring dengan derasnya arus modernisasi. Idealisasi sebuah lembaga pendidikan yang humanis berorientasi pengabdian dan sosial kemasyarakatan, perlahan mulai pudar. Pesantren cenderung lebih sibuk dengan dirinya sendiri.

Sehingga fungsi pesantren telah berubah menjadi lembaga pencari dan penghasil uang. Tak ubahnya sebuah badan usaha, pesantren bagai pabrik yang memproduksi pesan-pesan agama tanpa makna.

Tidak hanya mengkomersilkan, pesantren juga perlahan telah menjelma sebagai alat peraih kuasa. Pesantren telah beralih fungsi sebagai lembaga yang meneguhkan hasrat kekuasaan. Mulai banyak pengasuh pesantren yang menggunakan posisinya sebagai “owner” pesantren untuk mendapatkan kekuasaan politik.

Latar belakang pesantren seringkali dimanfaatkan untuk mendulang dukungan politik. Pesantren sedikit demi sedikit mulai menjauh dari fungsinya sebagai lembaga dakwah dan tranformasi keilmuan. Sehingga tujuan menyampaikan pesan-pesan ilahi dan mencetak generasi humanis dan berkarakter, tercederai.

Melihat fakta yang mulai menggejala ini, muncul perasaan miris dan getir.  Keprihatinan yang mengingatkan kita tentang harapan ideal sebuah pesantren. Sebagai institusi pendidikan tertua di Indonesia, idealnya pesantren memiliki fungsi dakwah, pendidikan, sosial kemasyarakatan dan pengembangan ekonomi kerakyatan.

Baca Juga  Memotret Relasi Etika dan Estetika dalam Pengalaman Manusia

Pertama, sebagai fungsi dakwah, pesantren berperan menjadi lembaga yang mengajarkan nilai-nilai agama kepada masyarakat. Kedua, pendidikan pesantren berfungsi menjadi lembaga yang dapat mencetak pribadi muslim yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, bermanfaat bagi sesama atau berhikmat kepada masyarakat, mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam prinsip, mencintai ilmu  serta memiliki dorongan kuat untuk menegakkan syiar Islam.

Ketiga, fungsi sosialnya,  menjadikan pesantren bagian dari solusi problem-problem kemasyarakatan, seperti mengatasi kemiskinan, memelihara tali persaudaraan, mengurangi pengangguran, memberantas kebodohan, menciptakan kehidupan yang sehat, dan sebagainya.

Peran sosial ini sejatinya beberapa abad yang lalu telah di lakoni oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim atau lebih terkenal sebagai Sunan Gresik. Beliau adalah seorang ulama kelahiran Samarkand, ayahnya Maulana Jumadil Kubro keturunan kesepuluh dari Husein bin Ali.

Pada tahun 1404 M, Maulana Malik Ibrahim singgah di desa Leran Gresik Jawa Timur setelah sebelumnya tingal selama 13 tahun di Champa. Perjalanan Maulana Malik Ibrahin dari Champa ke Jawa adalah untuk mendakwahkan agama Islam kepada para penduduknya.

Di Jawa, beliau memulai hidup dengan membuka warung yang menjual rupa-rupa makanan dengan harga murah. Maulana Malik Ibrahim juga membuka praktek ketabiban tanpa bayaran, untuk melakukan proses pendekatan terhadap warga. Kedermawanan serta kebaikan hati beliau, membuat banyak warga bersimpati dan kemudian menyatakan masuk Islam dan berguru ilmu agama kepadanya.

Selanjutnya, berkembang menjadi cikal bakal pesantren yang memiliki andil besar dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kuatnya peran Maulana Malik Ibrahim, dalam mengembangkan ajaran dan spiritualitas keagamaan, telah mendorong perkembangan pesantren menjadi institusi pendidikan publik dengan berbagai variasi dan keunikannya.

Keempat, fungsi pemberdayaan masyarakat. Sejak  tahun 1980-an, mulai banyak pesantren yang melakukan peran pemberdayaan masyarakat. Mereka mendampingi komunitas-komunitas marjinal tertentu di lingkungan pesantren. Pendampingan ini bertujuan membangun komunitas yang lebih berdaya dan mandiri,

Baca Juga  Ustadz 'Media' sebagai Primadona Generasi Muda untuk Belajar Islam

Seperti misalnya komunitas nelayan, komunitas petani, komunitas pedagang dan lain sebagainya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Pesantren An-Nuqoyyah Madura, Pesantren Kajen Pati, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Darul Falah Bogor, Pesantren Pabelan Magelang dan masih banyak lagi.

Kelima, fungsi pengembangan ekonomi. Dengan fungsi ini, menjamurlah koperasi-koperasi yang dikelola oleh pesantren. Tujuannya untuk mengembangkan perekonomian masyarakat sekitar. Misalnya dengan sistem simpan pinjam yang bernilai syar’i, sehingga saling menguntungkan dan tidak ada yang merasa dirugikan.

Penerapan system syari’ah diharapkan menjadi alternative bagi mengguritanya sistem kapitalistik yang berbasis persaingan bebas dan menjadikan pasar sebagai penguasa ekonomi. Sebab, jelas dengan system liberal semacam ini, masyarakat miskin akan semakin terjepit, sehingga jurang antara kaya dan miskin semakin lebar.

Selanjutnya, dalam menghadapi serangan budaya materialisme, kapitalisme dan konsumerisme, mewujudkan imaji ideal tentang pesantren adalah sebuah keniscayaan. Konsep diri pesantren yang memiliki empat fungsi, akan menjadi oase ditengah padang gersang modernisasi dan globalisasi yang segalanya diukur dengan kapital.

Pesantren akan menjadi bagian dari solusi atas problem yang membelit bangsa kita. Namun, jika pesantren akhirnya tergerus arus, para wali songo yang menjadi pelopor dari cikal bakal pesantren humanis akan menangis, karena pesantren hanya menjalankan peran humanisme yang semu… Wallohu A’lam (mmsm)

Ainna Amalia FN Dosen Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya dan Dosen STAIM Kertosono Nganjuk