Sejak kemunculannya, tarekat selalu menempatkan kedudukan laki-laki lebih unggul dibanding perempuan. Salah satunya adalah laki-laki sebagai pimpinan tertinggi tarekat selalu menjadi sebuah sistem dan kultur umum dalam institusi tarekat. Secara tekstual, dalam al-Qur’an sendiri juga disebutkan bahwa laki-laki mendapat keisitimewaan dibanding perempuan, dengan firman
“kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas atas yang lain (perempuan). Dan karena mereka (laki-laki) menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
Pun dalam fiqih ibadah laki-laki tidak bisa dipimpin perempuan dalam melaksanakan ibadah. Begitupun dalam pembagian warisan yang menjadikan laki-laki dua kali lebih banyak dari perempuan.
Namun ketika tarekat masuk ke Indonesia, khususnya baru-baru ini, telah terjadi integrasi fungsi perempuan dalam dunia tarekat. Perempuan tidak hanya di kesampingkan sebagai makmum dalam amalan tarekat saja. Dalam mengembangkan dakwah, salah satu tarekat mengangkat seorang perempuan sebagai seorang pimpinan tarekat atau yang dikenal dengan mursyidah. Sehingga ia dapat dijadikan imam bagi akhwat tarekat lainnya dalam hal amalan dzikir dan munajat.
Peristiwa ini terjadi di Madura pada tarekat Nasyabandiyyah Muzhariyyah, tarekat yang di bawa oleh Kiai Abdul Azhim (w.1335 H/ 1916 M) sepulang belajar dari Mekah. dari tarekat ini turun beberapa generasi penerus hingga sampai pada Nyai Thabibah. Selain Nyai Tahbibah, ditemukan mursyidah yang lebih awal darinya, yaitu Nyai Aisyah Alimuddin atau yang lebih dikenal dengan Nyai Pandan dan Nyai Asiyah binti Kiai Alimuddin, yang juga merupakan leluhur Nyai Thabibah sendiri.
Dalam bukunya, Hafifudin menyadur dari pendapat Imam Abdul Wahab al-Syar’rani dari kitab al-Minan al-Kubra, bahwa ulama tarekat telah menyepakati mengenai pertarbiyahan para murid , kecuali murid tersebut telah mencapai tabahhur (menguasai) ilmu syaria’at serta alat, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam pengangkatan mursyid tarekat Sazdiliyyah. Kiai Ali Wafa sebagai seorang mursyid melihat kriteria ini terdapat pada diri Nyai Thabibah, di samping memang ia memiliki latar belakang keluarga serta pendidikan yang telah ditempuh.
Nyai Thabibah yang lahir dan tumbuh di pesantren tidak merasa asing dengan dunia tarekat, khususnya Naqsyabandiyah. Apalagi keluarga besarnya adalah terdiri dari para pengamal tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah. Bahkan beberapa di antara anggota keluarganya menjadi mursyid atau mursyidah dari tarekat ini, seperti Nyai Aisyah (Nyai Pandan) binti Kiai Alimuddin, Nyai Asiyah binti Kiai Alimuddin, Kiai Syabrawi bin Kiai Alimuddin dan Kiai Khudzaifah bin Nyai Pandan, Kiai Abdul Wahid bin Kiai Khudzaifah, Kiai Sa’dududdin bin Kiai Khudzaifah, serta Kiai Ahmad Ja’far bin Kiai Abdul Wahid Khudzaifah.
Seusai sah diangkat menjadi mursyidah, Nyai Thabibah mulai membimbing para akhwat tarekat Naqsyabandiyyah Muzhariyyah secara khusus. Pada awalnya akhwat yang ia bimbing merupakan murid dari Kiai Ali Wafa yang berasal dari daerah Pamekasan, seperti daerah Blumbungan, Pademawu, Pasean, Ponteh, Konang, Klampar, Sumber Batu, Dempoh, Tampung, Moncar, dan sebagainya. Ia memiliki akhwat 3 yang berasal dari kalangan ulama, yaitu Nyai Zubaidah (istri Kiai As’ad Syamsul Arifin Situbondo), Nyai Maisurah dan Nyai Dasiyah (dua istri Kiai Jufri Sumber Batu)
Selain itu, akhwat beliau juga berasal dari sebagian santri putri Pesantren al-Bustan yang berkenan masuk tarekat. Karena memang tidak diwajibkan serta jika ingin masuk tarekat harus mempunyai dasar ilmu agama yang kuat seperti ilmu Fiqih dan ilmu Tauhid. Dalam praktiknya, Nyai Thabibah membaiat satu persatu akhwatnya masuk tarekat dengan menggunakan tali yang saling dipegang oleh beliau dan calon akhwat. Kemudian ia mentalqin mereka dzikir ismu dzat.
Pada masa Nyai Thabibah, penerimaan akhwat baru tidak dibatasi oleh waktu. Artinya boleh kapan saja berbaiat masuk tarekat, baik acabis langsung ke ndalem beliau di Sumber Papan atau pada saat tawajjuh. Jika ada akhwat baru yang masih belum paham tata cara berdzikir maka dianjurkan bertanya kepada akhwat yang lebih senior atau ketua khwajakan yang biasanya menggunakan kitab tuntunan berdzikiri karya Kiai Abdul Wahid. Karena memang Nyai Thabibah tidak menulis kitab pegangan bagi para akhwat dalam berdzikir.
Acara tawajjuh di pesantren Nyai Thabibah diletakan di mushala santri putri. Adapun waktunya adalah malam selasa bagi umum, sedangkan untuk tetangga sekitar, tawajjuh diadakan tiap malam dimulai dari tengah malam sampai subuh. Jika ingin menghadiri acara tawajjuh di luar pesantren yang lokasinya dekat maka ia naik becak milik Barmawi, tetangga beliau, yang menjadi langganannya setiap kali bepergian. Biasanya, teman jalannya adalah Halimatus Sa’diyah atau Jum’ati.
Jika ke daerah yang jauh atau ke Jawa seperti Moncar dan lainnya, biasanya ia bersama adiknya, Kiai Abdul Wahid Khudzaifah, dengan menggunakan mobil. Sampai di tempat, Kiai Abdul Wahid memimpin dzikir para ikhwan. Sedangkan Nyai Thabibah memimpin para akhwat secara khusus.
Sampai sini dapat terlihat peran Nyai Thabibah sangat strategis dalam bidang keagamaan khususnya ketarekatan. Ia mendidik para santri di Pondok Pesantren al-Bustan yang dipimpinnya serta membimbing para akhwat Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah yang berada di Pamekasan dan sekitarnya. Ia menjalankan tugas suci tersebut dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan seperti yang telah dicontohkan oleh masyayikh Naqsyabandiyah terdahulu. (MMSM)