Distingsi. Itulah kata yang kini terdengar semakin kuat untuk menandai pergerakan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Dan, integrasi keilmuan yang diharapkan menjadi karakter keilmuan di dalamnya menjadi poin pembentuk distingsi itu. Pada klausul kedua keputusan Dirjen Pendis Kemenag melalui SK Nomor 2498 Tahun 2019 Tentang Pedoman Implementasi Integrasi Ilmu Di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam memang disebutkan bahwa integrasi keilmuan dimaksud menunjuk kepada “ilmu agama dan ilmu umum” dalam kepentingan untuk “meningkatkan kompetensi dan daya saing lulusan”.
Tetapi sejatinya, tidak sesederhana itu. Untuk menjadi distingsi seperti yang dimaksudkan, substansi dasar integrasi, pada dasarnya, tidak sesimplistis dalam kategorisasi ilmu agama dan ilmu umum. Sebab, kategorisasi itu cenderung tidak mampu mewadahi kompleksitas yang terjadi dalam dunia keilmuan. Pasalnya, ada sains dan teknologi, ada seni dan humaniora, serta ada ilmu sosial. Artinya, tidak sesederhana menggolongkan keilmuan dalam dua kategori besar: ilmu agama dan ilmu umum. Terdapat kompleksitas yang cukup tinggi di dalam kategorisasi itu.
Regulasi yang lebih tinggi telah lebih maju dalam melakukan kategorisasi keilmuan itu. Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, sebagai misal, telah memberi panduan regulatif tentang disiplin akademik. Dalam perspektif makro, pada ketentuan umum UU dimaksud dijelaskan tiga kategori besar disiplin akademik: ilmu pengetahuan, teknologi, dan humaniora.
Ilmu Pengetahuan dimaknai sebagai “rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu, yang dilandasi oleh metodologi ilmiah untuk menerangkan gejala alam dan/atau kemasyarakatan tertentu.” Teknologi diartikan sebagai “penerapan dan pemanfaatan berbagai cabang Ilmu Pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan hidup, serta peningkatan mutu kehidupan manusia.” Adapun humaniora didefinisikan sebagai “disiplin akademik yang mengkaji nilai intrinsik kemanusiaan.”
Dalam perspektif mikro, UU Nomor 12 Tahun 2012 di atas juga telah melakukan rumpunisasi ilmu pengetahuan dan Teknologi. Pada pasal 10 ayat (1) dan (2), dijelaskan bahwa “rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kumpulan sejumlah pohon, cabang, dan ranting Ilmu Pengetahuan yang disusun secara sistematis” yang terdiri dari enam rumpun keilmuan: (a) rumpun ilmu agama, (b) rumpun ilmu humaniora, (c) rumpun ilmu sosial, (d) rumpun ilmu alam, (e) rumpun ilmu formal; dan (f) rumpun ilmu terapan.
Nah, integrasi keilmuan di PTKI meliputi berbagai rumpun keilmuan di atas. Menyusul simplifikasinya yang besar, karena itu, kategorisasi besar keilmuan ke dalam ilmu agama dan ilmu umum harus diterjemahkan lebih detil lagi ke dalam pohon, cabang, dan ranting ilmu pengetahuan yang disusun secara sistematis melalui rumpunisasi keilmuan sebanyak enam, seperti diuraikan dalam UU Pendidikan Tinggi di atas. Dalam kaitan ini, penerjemahan detil ini dibutuhkan untuk mengkerangkai konsep integrasi keilmuan di PTKI agar pemahaman bisa diberikan dan diperoleh secara lebih utuh di kalangan akademisi Muslim di lingkungan PTKI. Dengan begitu, tidak perlu lagi terjadi diskoneksi pemahaman dan kesadaran terhadap konsep integrasi keilmuan hingga kontroversi pun bisa dijauhkan.
Huluisasi dan Hilirisasi
Untuk kepentingan penguatan pemahaman, kesadaran dan perilaku akademik terhadap integrasi keilmuan seperti dimaksud di atas, pekerjaan rumah yang besar dan harus diselesaikan menunjuk kepada dua isu besar: huluisasi dan hilirisasi. Yang disebut pertama menunjuk kepada kewajiban pengembangan desain dan atau peta jalan penyelenggaraan akademik yang meliputi tridharma perguruan tinggi (pendidikan dan pengajara, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat) di internal masing-masing kampus dalam rangka mendukung ketahanan dan kemapanan integrasi keilmuan. Yang disebut terakhir merujuk kepada kewajiban untuk melakukan pengembangan temuan akademik dari proses integrasi keilmuan dengan mengelola temuan akademik itu untuk menjadi bahan jadi yang menjadi turunannya untuk bisa dikonsumsi atau dinikmati orang banyak.
Huluisasi penting untuk menjamin bahwa integrasi keilmuan tidak sekadar menjadi wacana kosong semata pada satu sisi, tetapi bisa terlembaga secara sinergis, mulai pada ranah pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat pada sisi lain. Dengan begitu, masing-masing kampus bisa menjadi pusat keunggulan (center of excellence) bagi eskperimentasi, eksaminasi, dan implementasi integrasi keilmuan sesuai dengan kondisi dan tantangan lokal dan nasional yang dihadapi.
Untuk kepentingan huluisasi itu, lembaga penjaminan mutu (LPM) memegang peranan penting untuk memastikan bahwa integrasi keilmuan harus diawali dengan desain pembelajaran yang relevan. Tentu fakultas adalah pemangku kepentingan internal pada ujungnya. Pada titik penjaminan huluisasi ini, tata pikir pengajar dibangun di atas prinsip integrasi keilmuan. Strategi pembelajaran pun juga didesain dalam semangat integrasi keilmuan.
Pada titik inilah dibutuhkan upaya strategis dalam menerjemahkan konsep integrasi keilmuan ke dalam desain pembelajaran yang baik dan berorientasi pada integrasi keilmuan. Selanjutnya, desain penyelenggaraan penelitian dan pengabdian pada masyarakat juga patut dibangun untuk memperkuat kerja integrasi keilmuan dimaksud.
Di ujung yang lain, hilirisasi memiliki kontribusi signifikan untuk memastikan bahwa integrasi keilmuan melalui diseminasi hasil atau produk-produk turunan yang dihasilkan memiliki kontribusi konkret terhadap peradaban material. Tujuan penguatan hilirisasi ini tidka terlepas dari tiga hal. Pertama, untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi pada pengembangan keilmuan PTKI. Kedua, untuk mempercepat perluasan nilai manfaat konkret kerja integrasi keilmuan di hilir layanan akademik pendidikan tinggi. Ketiga, untuk mendekatkan layanan Pendidikan tinggi PTKI dengan dunia usaha dan dunia industri (Dudi) melalui opsi pembukaan peluang usaha dan penyediaan lapangan kerja baru di Indonesia dari hasil kerja integrasi keilmuan.
Pada titik akhir, hilirisasi penting agar integrasi keilmuan bisa memperkuat kapasitas fiskal kampus. Program strategis integrasi keilmuan pada titik lanjut harus bisa memberi nilai tambah ekonomi perguruan tinggi di hilir layanan pendidikan yang diberikan agar dapat dinikmati seluas-luasanya warga masyarakat. Bahkan, ke depan, melalui hilirisasi produk integrasi keilmuan, PTKI penting untuk bisa berkontribusi pada penguatan struktur industri jasa dam barang di negeri ini. Dengan begitu, kampus PTKI pun bisa menambah pendapatan finansial. Kapasitas fiskal kampus pun tidak mengandalkan uang pendidikan yang berasal dari pembayaran oleh mahasiswa.
Hilirisasi harus menjadi bidang garap keroyokan. Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) dan unit pengembangan bisnis harus menjadi pemain utama dalam kerja hilirisasi ini. Semua kampus PTKI harus didukung oleh kelengkapan dan kecakapan pengelola LPPM dan unit pengembangan bisnis dimaksud. Feeder-nya tentu saja adalah fakultas.
[bersambung]