Media dan Framing Legitimasi KDRT di Indonesia

2 min read

Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak hanya berdampak pada kondisi perekonomian global, namun juga peningkatan jumlah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dilansir dari The Guardian, United National Population Fund (UNFPA) bahkan memberikan prediksi kenaikan jumlah kasus KDRT sebanyak 20% di 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Kenaikan signifikan jumlah KDRT tersebut mungkin belum mencakup kasus yang terjadi di Indonesia. Stigma buruk tentang permasalahan rumah tangga membuat korban KDRT, terutama perempuan, enggan untuk melapor. Selain itu, persepsi tentang kewajaran terhadap tindakan kekerasan yang terjadi di ranah domestik membuat angka kekerasan sulit dihitung secara akurat.

Kemenkumham merilis enam alasan minimnya pelaporan KDRT, yang sebagian besar merupakan imbas dari stigma yang berkembang di masyarakat. Keenam alasan tersebut dapat dipetakan menjadi: anggapan tentang lumrahnya KDRT, harapan tindak kekerasan bisa berhenti tanpa intervensi, ketergantungan ekonomi kepada pelaku kekerasan, rendahnya dukungan dari masyarakat, beban moral kepada anak, dan tekanan lingkungan agar dapat bertahan.

Semua stigma yang berkembang tersebut tidak hanya terwujud pada pola perilaku sosial di masyarakat, tetapi juga termanifestasikan dalam media, terutama dalam sinema elektronik.

Salah satu yang paling ikonik adalah sinetron Suara Hati Seorang Istri. Film ini ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta hampir setiap hari pukul lima sore. Mengambil format sinema yang diadaptasi dari kehidupan nyata pemirsanya, sinema ini mampu merajai rating lima besar tayangan yang paling intens ditonton masyarakat Indonesia.

Sinetron ini menampilkan alur cerita yang berbeda dalam setiap episodenya. Yang sama dan tetap hanya satu, yaitu penggambaran sosok perempuan dalam penokohannya.

Dalam setiap episode kisah nyata yang ditampilkan, seorang istri yang bekerja cenderung diposisikan sebagai tokoh antagonis yang tidak menurut kepada suami. Sedang sosok istri protagonis selalu digambarkan sebagai istri yang lemah lembut, menurut pada suami, dan selalu melekat padanya urusan domestik.

Baca Juga  Feminisme Pancasila: Menelusuri Kiprah Ibu Sinta Nuriyah (Bag-1)

Perempuan karir cenderung diasosiasikan sebagai tokoh dari kalangan menengah ke bawah. Umumnya mereka bersuamikan laki-laki yang abusif dan memiliki masalah serius dalam finansial. Singkat kata, drama tersebut selalu menampilkan dua peran perempuan di ranah publik: perempuan yang membangkang dan perempuan yang kalah dengan keadaan.

Representasi lain yang menjadi legitimasi KDRT ditampilkan dalam sinetron serial asal negeri gingseng yang sedang booming, The Life of the Married. Drama tersebut merupakan adaptasi dari sinema asal Inggris. Alur yang ditampilkan berkutat pada perselingkuhan. Ji Sun Woo berselingkuh dengan seorang perempuan yang lebih muda darinya. Dan Sun Woo, korban perselingkuhan, berusaha melakukan balas dendam.

Berbeda dari karakteristik penokohan perempuan di sinema Indonesia, karakter yang ditampilkan drama asal Korea ini lebih menampilkan keberanian. Jika sinema Indonesia lebih memilih karakter perempuan yang lemah (lembut), maka serial Korea menampilkan perlawanan terhadap pengkhianatan.

Jika ditarik satu garis merah, kedua sinetron tersebut menampilkan sosok perempuan sebagai objek dalam rumah tangga. Seorang perempuan diproyeksikan sebagai sosok yang harus senantiasa bergantung pada laki-laki. Perempuan yang mampu berdikari, terlebih secara finansial, dianggap sebagai pemicu ketidakharmonisan rumah tangga.

Kemandirian perempuan dianggap sebagai sebuah pengakuan bahwa mereka tidak harus bergantung pada orang lain. Perempuan memiliki kuasa penuh atas dirinya. Hal ini kemudian menimbulkan rasa insecure bagi pasangannya. Akibatnya, pasangan menyalurkan rasa berkuasanya pada wanita idaman lain.

Meski sepintas kekerasan yang ditampilkan drama Korea dan Indonesia tidaklah sama, keduanya hanya berbeda dalam formatnya. UU No.23 Tahun 2004 dengan jelas mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu tindakan yang menyengsarakan salah satu pihak. Kategori yang dapat diekstrasi dari peraturan tersebut adalah kekerasan fisik, verbal, seksual, dan ekonomi. Keempat bentuk kekerasan ini semakin menguat karena adanya asumsi pembatasan peran antara laki-laki dan perempuan.

Baca Juga  Kesetaraan Perempuan dan Laki-Laki: Perempuan bukan Makhluk Nomor Dua

Platt, Davies, & Bennet mengatakan bahwa perempuan Indonesia didorong, atau lebih tepatnya dipaksa, untuk mengambil tanggungjawab di sektor domestik maupun publik setelah adanya moral panic paska reformasi. Moral panic inilah yang kemudian menjadikan perempuan sebagai objek untuk ditertibakan agar sesuai dengan nilai moral dan religiusitas yang diamini secara luas. Dampaknya terlihat dari upaya pengembalian nilai-nilai konservatif yang menitikberatkan pada domestifikasi peran istri.

Ide ini, menurut Brenner, merupakan warisan kekuasaan orde baru yang dicanangkan melalui anjuran ketahanan keluarga sebagai sub terkecil katahanan nasional. Celakanya, gagasan ini secara luas diamini dan diyakini oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah penganut sistem patriarki.

Dalam konteks ini, kehadiran berbagai drama televisi semakin meneguhkan peran domestik seorang perempuan. Stigma-stigma yang melanggengkan tindak kekerasan dalam rumah tangga digaungkan oleh media yang dikonsumsi masyarakat secara luas. Kekhawatiran framing yang dipotret oleh media adalah memunculkan asumsi publik yang dianggap sebagai suatu kebenaran. Pada akhirnya, asumsi kebenaran tersebut menjadi legitimasi bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu hal yang lumrah terjadi. [FYI]

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *