“Feminisme itu menolak berkeluarga, menolak sistem keluarga karena mengutamakan individu perempuan. Dengan demikian, feminisme bertentangan dengan budaya Indonesia…”
Demikian salah salah satu pendapat pihak yang menolak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tahun lalu. Hal ini disebabkan naskah akademik yang menggunakan feminist legal theory sebagai optic dalam membedah pengalaman kekerasan seksual terhadap perempuan dan bagaimana hukum berdampak terhadap perempuan.
Penolakan tersebut sejatinya tidak lepas dari stereotip yang diberikan bahwa feminisme itu berasal dari barat dan feminist sebagai pendukungnya di stereotipkan sebagai lesbi, anti keluarga dan pro aborsi. Stereotip itu biasa disebut dengan F-Phobia, sehingga apapun yang disampaikan oleh feminist kemudian akan dinilai sebagai sebuah ancaman bagi laki-laki dan keluarga.
Padahal pengertian feminisme itu sederhana, yaitu ide, pemikiran atau upaya untuk melawan ketidakadilan yang menimpa perempuan. Dengan demikian, sebenarnya feminisme itu ada dan tumbuh di setiap komunitas, wilayah, ras, agama,dan negara, walau mungkin menggunakan istilah yang berbeda. Dengan pemahaman demikian, maka feminisme itu tidak bermatra tunggal, ia beragam, tergantung kepada cara kita memandang sumber ketidakadilan terhadap perempuan sendiri.
Ada yang berpendapat bahwa ketidakadilan terhadap perempuan karena adanya ketimpangan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki kerap diasosiasikan dengan peran di ruang publik, sedangkan perempuan kerap diasosiasikan dengan peran di ruang privat (liberal). Menilai kontrol terhadap fungsi seksual, reproduksi, dan identitas diri perempuan sebagai bentuk dan sumber ketidakadilan (radikal). Atau sistem kapitalismelah akar dari segala ketidakadilan yang menimpa perempuan (marxist), namun bagi feminisme sosialis relasi kapitalistik yang sarat ketimpangan menempatkan perempuan dalam posisi subordinat bukanlah aktor tunggal, terdapat nilai patriarkhi.
Ada juga yang menilai bahwa struktur masyarakat yang patriarkis “meng-alam-kan” perempuan — dalam artian menempatkan perempuan sebagai objek, benda yang pasif; dan memperempuankan alam — ketika alam dijamah, ditaklukkan, dan dipenetrasi (ekofeminisme). Seperti halnya isme yang lain, di setiap aliran terdapat perbedaan pendapat baik yang bersifat ideologis maupun praxis.
Dalam konteks gerakan feminisme sendiri, setiap aliran kerap saling bertentangan tapi sekaligus saling memperkaya satu sama lain. Sehingga pada dasarnya tidak ada satu aliran yang murni, tapi berkembang sesuai konteks, termasuk pengalaman individu pengusungnya.
Saya teringat pada tahun 2000 di Semarang, Ibu Shinta Nuriyah, seingat saya beliau pernah melontarkan apa yang disebutnya “Feminisme Pancasila”. Ide ini tentunya tidak terlepas upaya untuk mengatakan bahwa ketidakadilan terhadap perempuan juga terjadi di Indonesia.
Mendengarnya, tentu saya mengharapkan sesegera mungkin dapat menemukan tulisan yang khusus membahas ide ini. Baru belakangan, saya menyadari kebodohan saya atas harapan itu, karena sejatinya feminisme itu tidak membedakan teori dan praktek. Sehingga jika ingin memahami ide yang sebagaimana beliau sampaikan, maka kita bisa menelusuri dari pengalaman keseharian beliau sebagai feminis.
Prasyarat Feminisme Indonesia
Selanjutnya saya melakukan penelusuran melalui mesin pencari maupun buku terbatas yang saya miliki. Dalam sebuah kata pengantar untuk buku kumpulan karangan untuk Prof. Tapi Omas Ihromi, yang merupakan guru Ibu Sinta ketika menempuh pendidikan di Pusat Studi Gender UI, saya mendapatkan prasyarat feminis yang dipromosikan Ibu Sinta yaitu:
pertama, perempuan sebagai manusia mandiri.
Dengan merujuk pada keberhasilan TO Ihromi yang dinilai oleh Ibu Sinta berhasil membangun citra diri sebagai perempuan mandiri. Ibu Sinta menyampaikan keinginan untuk menjadi perempuan mandiri. Secara tegas, Ibu Sinta menyatakan:
“Saya tidak hanya dihargai karena saya isteri Kyai Abdurahman Wahid, baik sebagai tokoh organisasi keagamaaan dengan jumlah pengikut yang cukup besar di Indonesia, apalagi sekarang dalam kedudukannya sebagai-yang dalam istilah birokrasi disebut dengan istilah RI-1”
Menurutnya penghargaan masyarakat meskipun bisa dipengaruhi tetapi tidak disebabkan oleh statusnya sebagai isteri seseorang. Penghargaan terhadap perempuan didasarkan pada prestasi dan hasil kerja keras sendiri serta kepribadian dan kecakapan yang dimiliki. Penghargaan yang mereka terima tidak menempel pada suaminya, tidak disebabkan oleh garis keturunannya atau status yang secara feodalistik diturunkan atau dipertautkan dengan tokoh penting pada masa lalu.
Sebagaimana kita tahu, peran perempuan yang ditempatkan di ranah domestik menyebabkan terjadinya subordinasi perempuan dari laki-laki, termasuk di ranah pemikiran dan aktivitas publik. Perempuan yang sudah menikah, akan menjadi ‘isteri’ di mana pengambilan keputusan termasuk untuk konteks publik menjadi privilege ‘suami’ yang ditempatkan sebagai kepala keluarga. Pendapat perempuan tidak dinilai sebagai pendapatnya sebagai pribadi, ia harus tidak bertentangan dengan pendapat sang suami.
Demikian halnya, perempuan masih menjadikan perkawinan sebagai sebuah tujuan utama, bukan sebagai sebuah proses untuk “menjadi”. Hal ini menyebabkan lambat laun perempuan kehilangan citra diri sebagai individu perempuan yang mandiri, termasuk misalkan perempuan akan kehilangan nama gadisnya.
Kemudian, hati saya melonjak gembira ketika diakhir kata pengantarnya tertulis “Dra.Sinta Nuriyah Rahman, M.Hum” bukan Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid. Sederhana, namun pesan ini sangat kuat bahwa perempuan Indonesia harus mandiri yaitu berprestasi, memiliki hasil dari kerja keras sendiri serta memiliki kepribadian dan kecakapan, yang tidak perlu menempel pada nama suami, atau garis keturunan.
Kemandirian dalam kerja maupun pemikiran juga kemudian dibuktikan beliau dari sejumlah anugerah yang diberikan. Diantaranya dianugerahi sebagai satu dari 11 perempuan berpengaruh dunia yang dianggap telah melakukan “hal-hal luar biasa” oleh The New York Times (2017), 100 orang paling berpengaruh di dunia versi majalah Times (2018), Ibu Bangsa dari Kowani dan PPPA (2018). Terakhir Doktor Honoris Causa Sosiologi dari UIN Sunan Kalijaga (2019) dengan orasi ilmiahnya berjudul “Inklusi dalam Solidaritas Kemanusiaan: Pengalaman Spiritualitas Perempuan Dalam Kebhinekaan; Sahur Keliling Sebagai Sarana Mencapai Ketakwaan dan Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa”.
Dari uraian di atas, jelas bahwa perempuan harus terdidik untuk mencapai kemandirian, diberikan akses yang setara untuk mengaktualisasikan dan mengekpresikan pemikiran-pemikirannya. Persis seperti halnya lelaki, sehingga kemudian kedua jenis kelamin ini menjadi “manusia mandiri”. (HM)