Eksistensi gender ketiga (waria) di Indonesia masih menjadi suatu hal yang dipandang sebagai suatu tabu yang belum bisa diterima masyarakat secara luas. Waria, seringkali dianggap sebagai suatu objek yang tidak memiliki posisi dalam masyarakat Indonesia.
Belakangan ini, media sosial tengah heboh akibat prank pemberian kotak sembako berisi sampah kepada sejumlah waria. Meski pada akhirnya kepolisian bertindak dengan melakukan penahanan terhadap pelaku, namun hal ini turut menjadi bukti bahwa kelompok waria merupakan kelompok rentan terhadap tindak diskriminasi.
Konsep waria di Indonesia sebenarnya baru dinisbahkan kepada kelompok gender ketiga tersebut sekitar tahun 1966 di Jakarta. Pada awal kemunculan, klasifikasi terhadap kelompok ini, term wadam (wanita adam) lebih popular digunakan.
Namun, karena munculnya respon negatif dari kelompok beragama yang menganggap bahwa penggunaan nama nabi Adam dalam istilah tersebut sebagai penistaan, maka istilah waria (wanita tapi pria) menjadi lebih populer digunakan.
Sejauh ini, dengan berbagai persepsi negatif yang tersemat, para waria menghadapi berbagai kesulitan dalam mengakses hak, terutama hak untuk beribadah. Waria terjebak dalam dikotomi gender antara pria dan wanita, terutama dalam praktek ibadah agama Islam.
Sebagai bentuk negosiasi, para waria beribadah sesuai dengan apa yang mereka rasa. Sebagian dari mereka menggunakan mukena dan beribadah dengan tatacara wanita, dan yang lain menggunakan sarung sesuai dengan ketentuan ibadah laki-laki. Seperti yang dinarasikan oleh Boellstroff, para waria berkeyakinan bahwa Tuhan melihat mereka sebagai waria, bukan sebagai perempuan maupun laki-laki.
Sebenarnya, upaya untuk mempermudah para waria dalam mengakses hak untuk beribadah telah dilakukan melalui berbagai cara. Salah satu yang paling popular adalah pendirian pesantren waria Al-Fatah di Yogyakarta. Para waria diberikan kebebasan untuk beribadah sesuai referensi personal mereka di tempat ini.
Namun, permasalahan yang timbul adalah eksklusifitas yang seolah membangun pemisah jelas bahwa waria hanya diperkenankan untuk beribadah di tempat tertentu dan tidak diperkenankan beribadah di ruang publik akibat adanya stigmatisasi terhadap mereka. Padahal, idealnya beribadah harusnya menjadi urusan yang inklusif dan mampu memfasilitasi siapapun secara setara.
Islam mengenal kelompok gender ketiga yang dengan istilah mukhannats. Term mukhannats sendiri merujuk kepada sekelompok laki-laki yang memiliki kelembutan, dan gesture yang menyamai seorang perempuan.
Ada dua perbedaan pendapat mengenai muhkannats ini, yakni kelompok yang menyamakannya dengan istilah transgender, dan kelompok yang menganggapnya tidak sama. Namun, mengulik definisi dan kondisi pada saat term ini muncul, Nabi Muhammad memang memberikan pernyataan bahwa kelompok ini tidak bisa diklasifikasikan sebagai perempuan, namun tetap megakui hak mereka sebagai manusia dengan mengatakan “…aku dilarang membunuh orang yang mengerjakan shalat”.
Lantas, bagaimana kemudian kelompok gender ketiga?
Terkait gagasan inklusifitas ruang ibadah, Prof. Amina Wadud membeberkan gagasan tentang masjid inklusif bagi seluruh umat Muslim. Inklusifitas adalah bentuk pengakuan tentang adanya perbedaan dan memfasilitasi perbedaan tersebut untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik tanpa menanggalkan identitasnya.
Iris M. Young memberikan syarat bahwa inklusifitas harus didasarkan pada tiga hal, yakni rekognisi, representasi, dan partisipasi. Secara sederhana, konteks rekognisi dalam masalah ini adalah adanya pengakuan eksistensi gender ketiga tanpa adanya diskriminasi terhadap mereka.
Sedangkan ranah representasi akan dapat diwujudkan dengan memberikan ruang bagi kelompok gender ketiga untuk menekspresikan diri mereka sebagaimana yang mereka rasakan. Dan, yang terakhir adalah memberikan ruang untuk mereka berpartisipasi dalam berbagai ritual agama tanpa memberikan sekat.
Kembali pada gagasan rumah ibadah inklusif, Prof. Wadud mencontohkan bagaimana komunitas muslim di kotanya memberikan ruang kepada siapapun untuk beribadah tanpa khawatir akan menerima persekusi.
Lebih lanjut, masjid inklusif harusnya menjadi tempat ternyaman bagi semua umat Islam untuk mendapatkan hak beribadah. Dalam sebuah presentasi, Prof. Wadud menayatakan bahwa masjid seharusnya menjadi tempat bagi siapapun yang berusaha mencari kedamaian. Terlebih, fungsi masjid bukan hanya semata-mata sebagai tempat beribadah, tetapi juga sebagi tempat yang menyediakan fungsi sosial, pendidikan, dan bahkan mungkin politik.
Lantas, apa saja kriteria yang harus dimiliki agar masjid dapat dikatakan sebagai suatu tempat yang inklusif? Setidaknya ada tiga kriteria yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan sebagai ruang publik yang inklusif.
Pertama, memiliki dan mempromosikan rasa kebersamaan. Dalam konteks ini, masjid diharuskan untuk mengakui bahwa gender ketiga merupakan bagian dari komunitas yang berafiliasi pada masjid. Kedua, adanya pengakuan terhadap adanya diversitas (keberagaman). Hal ini bukan berarti bahwa rekognisi terhadap perbedaan menjadi dasar untuk memberikan perlakuan yang berbeda, namun lebih kepada mengakui adanya perbedaan untuk meningkatkan kesadaran bahwa solidaritas bisa ditumbuhkan dari beragam perbedaan tersebut (differentiated solidarity).
Dan ketiga, terbentuknya empati terhadap kelompok gender ketiga. Kriteria terakhir ini yang menjadi esensi dari pengaplikasian konsep masjid inklusif, sehingga keberadaan masjid inklusif bisa terwujud.
Gagasan masjid inklusif ini sebenarnya harus diterapkan tidak hanya untuk kelompok gender ketiga, tetapi juga bagi muslim minoritas lain seperti para penyadang disabilitas. Melalui adanya masjid inklusif, siapapun dapat beribadah dengan baik tanpa harus merasakan diskriminasi atau stigmatisasi yang diakibatkan oleh identittas mereka. wallahu ‘alam. (AA)