Ayus Mahrus el-Mawa Filolog; Pengurus MANASSA (Masyarakat Pernaskahan Nusantara); Kasi Penelitian dan Pengelolaan HAKI Kemenag RI.

Tradisi Baru Intelektual muslim Era Covid-19, Belajar dari Tadarus Litapdimas Kemenag RI

4 min read

Kehidupan baru paska pandemi Covid-19 ini sepertinya tidak dapat dianggap angin lalu. Ibarat hujan badai yang mengguyur bumi dan memporak porandakan bangunan di atas tanah, kehidupan baru itu laiknya awan mendung yang menggelayut gelap di mana semua orang sudah mafhum bahwa badai dan hujan akan segera tiba. Bukan seperti peristiwa tsunami, di mana tanda-tanda surutnya gelombang air laut, alih-alih ikan yang tergeletak dekat daratan diambil para nelayan raib tertelan gelombang tsunami yang maha dahsyat versi manusia.

Dengan telah khatamnya gawe sederhana nan ampuh khasiatnya, “Tadarus Litapdimas” Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kementerian Agama pada tanggal 19 Mei 2020, tanda-tanda kehidupan baru bagi sivitas akademika PTKI itu kian jelas adanya. Tadarus ini didesain selama masa Work From Home (WFH) dan Learning From Home (LFH) oleh Sub Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Dengan izin Allah Swt. antusiasme peserta di luar ekspektasi pihak direktorat. Optimisme kehidupan baru disampaikan dangan lugas dan tegas oleh Direktur PTKI, Prof. M. Arskal Salim GP, M.A., Ph.D. pada sesi khataman tersebut.

Penelitian, Publikasi Ilmiah dan Pengabdian kepada Masyarakat atau disingkat Litapdimas ini menjadi ikon baru di lingkungan dosen PTKI se-Indonesia, seiring sejalan sistem baru dalam manajemen penelitian di PTKI secara transparan, terbuka, efesien, efektif, akurat, dan akuntabel melalui website http://litapdimas.kemenag.go.id. sejak akhir tahun 2017. Sistem ini merupakan tonggak baru dalam tradisi riset di lingkungan para dosen PTKI, di mana proposal riset harus diusulkan satu tahun sebelumnya, sesuai tahapan-tahapan akademik dan administrasinya. Proposal harus disampaikan secara terbuka di hadapan dewan penilai (reviewer) yang resmi mendapatkan lisensi dari direktorat Jenderal pendidikan Islam.

Tadarus bermakna melakukan kajian, bukan sekadar bacaan. Atau makna leksikal dalam kamus besar dalam Bahasa Indonesia, hanya untuk membaca Al-Qur’an. Asal kata tadarus dari Bahasa Arab, dārasa yudārisu bermakna saling mempelajari. Dalam sebuah hadits Nabi Saw. disebutkan, “Tidak ada suatu kaum yang berkumpul di sebuah rumah dari rumah Allah (masjid) yang di dalamnya dibacakan kitab Allah dan dipelajari kandungannya (yatadārasūna), tidak ada balasan kecuali akan turun para malaikat menaburkan kasih sayang dan para malaikat memintakan ampunan bagi mereka” (HR. Muslim). Kata yang digunakan dalam hadits tersebut, yatadārasūna, mempelajari bersama atau saling mengkaji. Dalam konteks yang senada, tadarus untuk litapdimas disematkan.

Baca Juga  Drs. KH. A. Warits Ilyas: Sang Ulama-cum-Umara

Tadarus Litapdimas mengandung maksud untuk saling berbagi pengetahuan hasil penelitian terbaik supaya diketahui publik, bukan hanya insan akademisi semata. Dimulai dari cara melakukan penelitiannya, sampai dengan hasil temuan dan manfaatnya. Liputan Tadarus Litapdimas dilakukan dengan cara langsung (online) dan tidak langsung (offline), melalui kanal media elektronik youtube sebagai salah satu strategi lain agar dapat dinikmati kalangan lebih luas dan waktunya tidak terbatas. Berbeda jika online saja pada saat menggunakan media daring produk tertentu.

Kategori penelitian terbaik PTKI ini sudah ditetapkan pada tahun 2019 bersamaan dengan kegiatan Biannual Conferense on Result Research (BCRR) di Bandung. Diseminasi penelitian melalui Tadarus Litapdimas ini merupakan cara baru para peneliti menyampaikan hasil kajiannya di hadapan publik oleh Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.

Presentasi singkat secara online tersebut sebenarnya sudah lebih lama dibanding dengan pada saat seleksi BCRR, khususnya peserta finalis dari 25 judul terbaik hanya disampaikan 3 (tiga) menit atau three minute presentation. Presentasi 3 menit hasil penelitian inipun cara baru dalam tradisi riset di lingkungan PTKI. Menjadi 25 Judul terbaik itu sebelumnya presentasi normal di hadapan dewan penilai (reviewer) dari 66 judul terbaik setiap PTKI yang mengusulkan. Judul 66 penelitian itu berasal dari 135 judul penelitian PTKI yang memenuhi standar penelitian terbaik secara administratif, antara lain, minimal pernah diterbitkan atau sedang proses penerbitan pada jurnal terakreditasi Sinta-2 atau buku hasil penelitian yang telah diterbitkan oleh penerbit nasional.

Oleh karenanya, jika respon peserta tadarus litapdimas sejak tanggal 23 April 2020 sampai dengan 14 Mei 2020 atau Tadarus ke-1 hingga ke-7 memukau hasilnya, tentu saja masih normal dan wajar. Karena tema penelitiannya memang sudah terpilih secara selektif dan berjenjang. Berdasarkan google form kehadiran peserta yang disebarkan pada saat acara berlangsung terdapat 8.785 peserta, antara lain 7.386 (84%) merupakan ASN dan dosen, sisanya adalah mahasiswa dan kalangan umum.

Baca Juga  Tafsir Maqāshidī dan Gerakan Pembaruan Tafsir

Selanjutnya, 7.773 (88%) dari jumlah itu berasal dari PTKI, yang berati banyak pula peminat tadarus ini dari luar PTKI. Pada sisi lain, dari sisi usia misalnya, peserta tadarus paling banyak berusia yang sangat produktif antara 31-40 (43%), kemudian jenjang pendidikan terbanyak adalah S-2 (5.845) dan  S-3 (1.870). Peserta perempuan lebih besar 4.650 (53%) dari laki-laki 4.135 (47%).  Tak kalah penting lagi, jenjang jabatan fungsional pada dosen yang hadir cukup menjanjikan untuk melakukan perubahan pada masa depan penelitian, antara lain didominasi Asisten Ahli sebanyak 3.556 (48%), Lektor 2.943 (39%), Lektor Kepala 894 (12%) dan Guru Besar 43 (1%). Jika diprediksi, para asisten ahli ini mayoritas sudah doktor, minimal magister, sebuah potensi yang sangat besar untuk kinerja riset di PTKI ke depannya.

Tanpa disadari atau tanpa didesain sebelumnya, di luar data kuantitatif tersebut, seiring rutinitas tadarus litapdimas berjalan, ternyata sudah meluas model serupa pada semua elemen bangsa ini, wabil khusus di PTKI. Mulai dari kajian diseminasi hasil karya ilmiah di lingkungan LP2M, seperti Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), Pusat Pengabdian, maupun pendampingan terbitan jurnal-jurnal serta Webinar pada semua keilmuan. Acara-acara tersebut selalu diminati dan pesertanya meluber, seperti belum ada indikasi turun para korban dari wabah Covid-19 ini. Adapun pada direktorat PTKI, selain tadarus litapdimas, ada juga acara talk show Coffee Break Indonesia (COFFID), tentu saja dengan segmen yang berbeda, walaupun ada kemiripannya. Tadarus dan Coffid, dalam hemat penulis keduanya saling melengkapi dan mempunyai kelebihan masing-masing, apalagi didesain oleh pihak direktorat yang sama.

Tanpa menafikan yang lain, tidak berlebihan kiranya, kalau dikatakan telah lahir tradisi baru intelektual muslim era covid-19 ini. Ketika Litapdimas melakukan ikhtiarnya dengan bertadarus, para dosen PTKI dapat memanen ilmu pengetahuan tanpa batas waktu dan tempat. Hemat penulis, pada aspek tanpa batas inilah, sudah seharusnya dipikirkan bersama demi kebaikan dan kesehatan semua. Untuk menatap kehidupan baru manusia pasca covid-19 ini. Bagaimana idealnya setiap orang boleh mengikuti webinar dalam 1×24 jam? Berapa lama waktu yang digunakan, misalnya? Kehidupan baru seperti apa yang perlu dan menjadi kebutuhan umat manusia pasca covid-19 ini? Pertanyaan ini patut segera ditemukan jawabannya. Sebelum korban baru muncul dari model Webinar yang mewabah.

Baca Juga  Khabar Burung

Harapannya, di tengah wabah penyakit korona yang telah mengubah tatanan kehidupan manusia pada semua level strata sosial, kegiatan semacam Tadarus Litapdimas patut menjadi model kehidupan baru kalangan akademisi, khususnya di lingkungan PTKI. Sekaligus pembuktian hasil penelitian PTKI yang selama ini dinihilkan kemanfaatannya. Tentu saja, hal itu seperti telah terjadi pada praktik pembelajaran dan pelayanan di kantor, lembaga pendidikan, kampus, pesantren ataupun yang lainnya, di mana mereka sudah mulai beradaptasi dengan kehidupan baru ini.

Hanya saja, kita semua patut waspada dan hati-hati akan dampak negatifnya. Akhirnya semoga kita tetap menjadi manusia yang memanusiakan manusia lainnya dan senantiasa mengedepankan unsur keadilan, keselamatan, dan kedamaian. Dengan berpuasa yang akan genap sebulan ini, lengkap sudah kiranya, secara fisik/jasad kita sebagai orang muslim telah diingatkan model baru ibadah kita, pola komunikasi, atau silaturahim kita, supaya tidak menafikan kelompok yang berbeda, karena semua terkena dampak covid-19 ini. Saatnya aspek ruhani kitapun harus dikedepankan untuk dapat memahami yang lain atau yang berbeda dengan model kehidupan baru yang akan hadir tidak lama lagi.

Wallahul musta’an [FYI]

Ayus Mahrus el-Mawa Filolog; Pengurus MANASSA (Masyarakat Pernaskahan Nusantara); Kasi Penelitian dan Pengelolaan HAKI Kemenag RI.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *