Mohamad Ali Hisyam Dosen Fakultas Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura

Menutup Tirai Ramadan

3 min read

Setiap habis Ramadan // hamba cemas kalau tak sampai // umur hamba di tahun depan // berilah hamba kesempatan

Sepenggal syair karya sastrawan terkemuka Indonesia Taufik Ismail yang dipopulerkan oleh grup musik Bimbo ini senatiasa terngiang di telinga kita tatkala penutupan tirai Ramadan sudah di depan mata. Dari dalam kalbu menyeruak kerinduan berselimutkan kerisauan (seandainya kita tak bersua lagi dengan Ramadan) menjelma doa bagi orang-orang yang menyongsong Ramadan dengan kesucian hati. Doa yang melantun ritmis dan digerimisi tangis perpisahan dengan Bulan Penuh Ampunan.

Rasulullah mengajarkan untuk menyambut Ramadan dengan spirit kebahagiaan serta hendaknya berpisahlah dengannya dengan hati penuh kerinduan. Tentu saja yang sanggup melakukan ini hanyalah insan dengan kalbu yang dibentengi iman.

Menjelang Syawal, manusia-manusia pilihan merayu dan memohon kepada Allah agar rentang bulan Ramadan dipanjangkan. Bahkan, mereka berharap seluruh bulan menjadi Ramadan. Sebuah gayung yang tak bersambut. Sebab, Tuhan mencipta Ramadan hanya sebulan dalam setahun untuk memberi kesempatan kepada umat Islam berkompetisi menghiasi amal puasanya dengan kemilau prestasi ibadah.

Pendek kata, inilah bulan yang di dalamnya manusia diberi ruang agar membaca dan berkaca: sejauh mana mereka mewarnai umur yang terlewat serta bagaimana cara mengisi usia yang selanjutnya akan dirawat.

Sayangnya, sebagai masa spesial yang dianugerahkan Tuhan, manusia lebih banyak yang menyia-nyiakannya. Ramadan dibiarkannya berlalu sebagai rutinitas yang hambar, kering dan sia-sia. Bahkan, ia kerap dimaknai tak lebih hanya sebagai “waktu berkumur” di sisa umur. Manusia yang kesehariannya terbiasa melahap racun-racun dunia, lalu sejenak “berkumur” selama Ramadan untuk kemudian kembali memanjakan kegemaran asalnya yakni memenuhi mulut dan perut dengan kotoran nafsu dan sampah kehidupan.

Baca Juga  Pentingnya Dakwah Literasi di Era Disrupsi

Maknanya, Ramadan dianggap sebagai sekadar terminal transisi yang sebentar, hampa pesan dan tak memberi kesan. Padahal, di mata para pecinta yang sejati, Ramadan adalah pelabuhan tujuan yang memungkinkan siapa saja menjulang ke puncak kekhusyukan untuk bermesraan dengan Tuhan. Inilah kesempatan yang dijuluki sayyid al-shuhūr, pemimpin segala bulan.

Religious Laundering

Tengoklah ketika layar kaca televisi kita menayangkan pengakuan seorang selebriti kondang saat menghadapi Ramadan. Dengan gayanya yang centil, dia mengaku akan mengisi bulan penuh berkah dengan mengubah penampilannya secara instan. Seraya menunjuk sepasang lemari koleksi pakaiannya yang mewah, dia menjelaskan, “Lemari sebelah sini penuh dengan busana muslimah saya. Inilah jalan menuju surga. Sementara yang sebelah lagi berisi kostum-kostum keseharian saya yang modern dan seksi. Inilah jalan menuju neraka…” Artis itu kemudian tertawa menghadap kamera di depan para pemirsa.

Inilah sesungguhnya cermin retak realitas keberagamaan di sekitar kita. Sebagian manusia memaknai keberislaman sesuai dengan hasrat dan seleranya belaka. Bulan Seribu Bulan kerap hanya ditempatkan sekadar tempayan untuk membasuh tangan. Segenap aktivitas yang berlawanan dengan nilai dengan Ramadan sementara dihentikan. Selepas Ramadan, rutinitas itu dengan sadar kembali dilakukan. Bila sebelumnya bersahabat dengan setan, selama bulan puasa manusia (sementara) seolah memusuhi setan, untuk kemudian setelah Idul Fitri dirayakan, relasi pertemanan itu serta-merta kembali dilanjutkan.

Sosiolog Nur Syam (2007) menyebut gejala ini sebagai perilaku “membasuh diri dengan (mengatasnamakan) agama” atau religious laundering. Dengan menempel emblem agama, seluruh noda-noda dosa yang telah lepas dianggap telah pupus dan tersucikan dengan Ramadan. Manusia seakan tak merasa bahwa puasa dan amal mereka sebenarnya semata berisi tabung yang hampa. Padahal kesadaran religius semacam ini hanya membuat amal puasa berada pada suhu yang beku. Ibadah yang tak menimbulkan pengaruh apapun dan hanya menempatkan kesadaran iman terpaku di titik stagnan: nol kilometer. Kita merasa seakan sudah berlari, padahal kenyataannya kita belum setapakpun mengayunkan kaki.

Baca Juga  Gus Dur Dan Gerakan Feminisme

Dengan penuh gempita, manusia kemudian menutup ritualitas puasa dengan Hari Raya. Kita menyebutnya hari yang fitri. Semua berharap seperti bayi yang baru lahir menyapa bumi. Semuanya sibuk bersilaturrahim, meminta, berbagi, dan mengulurkan maaf. Semesta doa-doa manusia menggema menggetarkan buana: min al-‘aidzin wa al-faizin. Semoga kita termasuk dari hamba-hamba yang kembali ke fitrah suci dan menggenggam piala kemenangan (sebagai hasil berperang melawan setan). Semua saling memaafkan dan merasa halal dari kesalahan. Kosong berbalas kosong. Halal bi halal.

Islam telah memberitahu kita perihal jadwal Nabi dalam mengisi Bulan Suci. Secara rinci, 30 hari Ramadan dibahagi. 10 malam pertama sebagai pintu kerahmatan, 10 malam kedua ialah gerbang keampunan, dan 10 malam terakhir merupakan telaga kebebasan. Pembebasan dari api neraka bagi siapa saja yang beruntung menjalankan Ramadan dengan sebaik-baik amalan. Bunda Aisyah berkisah, “Rasulullah apabila telah memasuki sepuluh malam terakhir Ramadan, beliau akan mempererat ikatan kainnya, menghidupkan malam-malamnya, serta membangunkan para anggota keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sejumlah amalan penuh ganjaran dapat kita senaraikan dalam agenda aktivitas kita di etape akhir Ramadan.

Pertama, mengintai Lailatul Qadar. Pada malam yang lebih baik dari seribu bulan ini, siapapun yang berjaya menyibukkan diri dengan kerja-kerja ibadah, ia sungguh orang yang beruntung. Nilai amalnya setara dengan beribadah dalam rentang masa 83 tahun 4 bulan tanpa jeda. Ubadah Bin Samit pernah menyampaikan titah Rasulullah, “Carilah malam qadar itu pada malam 10 terakhir yang ganjil yaitu malam 21, 23, 25 ,27 ,29 atau malam yang ke 30. Maka barang siapa yang bertepatan bangun sembahyang malam karena iman dan mengharapkan pahala maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.”

Baca Juga  Mengenal Molenbeek, Brussel, sebagai sarang teroris (1)

Kedua, beriktikaf di Rumah Allah. Mulailah dengan niat berdiam diri di dalam masjid dalam keadaan suci, kemudian gerakkan bibir kita dalam lantunan zikir dan pujian syukur. Biarkan jiwa tersungkur dan kesadaran larut dalam tafakkur.

Ketiga, Senantiasa menghidupkan malam. Jangan biarkan Anda sendiri saja menikmat keindahan hening malam. Bangunkan anggota keluarga yang lain untuk turut berjaga. Rasulullah mencontohkan itu. Jaminan Allah berupa surga telah membuatnya malu untuk banyak tidur mendengkur dan menjauh dari spirit syukur.

Keempat, lengkapi hari-hari dan malam akhir puasa kita dengan memperbanyak berbagi dan memberi. Sedekah harta dan apapun bentuknya akan menumbuhkan empati. Bahwa manusia ada yang disebut kaya sebab banyak saudara mereka yang miskin papa. Kita mungkin merasa cukup kuat, pun kerana banyak kerabat kita yang lemah. Uluran tangan, senyuman dan bantuan akan sangat bermakna bagi mereka yang lebih sering merayakan usia dengan tangisan dan penderitaan.

Terakhir, lengkapilah langkah kita dengan menunaikan zakat fitrah. Zakat ini akan mengingatkan kita bahwa manusia lahir dengan fitrah, yakni fitrah sosial bahwa sejatinya karena keberadaan orang lainlah kita dinyatakan ada.

Mari kita tutup tirai Ramadan dengan mengasah empati, menebar simpati dan sikap saling memaafkan berhiaskan jiwa penuh ikhlas dan ketulusan. []

Mohamad Ali Hisyam Dosen Fakultas Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *