M. Afifudin Dimyathi Pengasuh PP Darul Ulum Rejoso Jombang; Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya; Alumnus Universitas al-Azhar Mesir dan Universitas Neelain Sudan

Tafsir Maqāshidī dan Gerakan Pembaruan Tafsir

3 min read

Gerakan tajdīd (pembaruan) di bidang tafsir secara periodik selalu terjadi sepanjang sejarah penafsiran Alquran. Ini jelas nampak dalam perkembangan produk tafsir sepanjang sejarah. Pembaruan ini bisa terjadi pada cara penyusunan tafsir, metode pengambilan sumber penafsiran, orientasi penafsiran, dan pusat perhatian kajian bahkan pada pola tata urut penyajian.

Dalam khazanah tafsir klasik, kita mengenal kategori thabaqāt al-mujtahidīn al-uwal, yaitu para mufassir dari kalangan sahabat, tābi‘īn dan tābi‘ al-tābi‘īn, lalu thabaqāt naqalāt tafsīr, yaitu para ahli hadis yang meriwayatkan tafsir, seperti ‘Abd al-Razzāq al-Shan‘ānī (w. 211 H), lalu thabaqāt al-mufassir al-naqīd, yaitu mufassir yang kritis dan men-tarjīh dari beberapa pendapat, seperti Ibnu Jarīr al-Thabarī (310 H), dan terakhir thabaqāt al-mufassir al-mutakhayyir qawlan wāhidan, yaitu mufassir yang hanya memilih salah satu pendapat, seperti para mufassir mazhab.

Jika kita fokuskan perhatian kita pada era kontemporer (abad 14 H- hingga sekarang), maka kita bisa mengklasifikasikan gerakan-gerakan pembaruan dalam tafsir sebagai berikut:

Pertama, tafsir yang berusaha menyingkap aspek kemukjizatan Alquran di bidang ilmu pengetahuan alam atau lebih dikenal dengan “tafsir ilmī”, gerakan ini di era klasik diangkat oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzī dan Abū Hāmid al-Ghazālī, dan di abad 14 H ini dipelopori oleh Syekh al-Thabīb al-Iskandaranī (w 1306 H) dalam tafsirnya Kasyf al-Asrār al-Nūrānīyah al-Qur’ānīyah fīmā Yata‘allaqu bi al-Ajrām al-Samāwīyah dan diikuti oleh Syekh Thantāwī Jauharī (w 1357 H) dalam tafsirn al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān.

Kedua, tafsir yang berusaha memberdayakan Alquran untuk mengatasi problem faktual kehidupan masyarakat atau lebih dikenal dengan tafsir ijtimā‘ī, gerakan ini dipelopori oleh Muhammad Abduh (w 1323 H) dan M. Rasyīd Ridhā (w 1353 H) dalam Tafsīr al-Mannār dan diikuti oleh Syekh Mustafā al-Marāghī dalam Tafsīr al-Marāghī.

Ketiga, tafsir kontekstual yang disusun berdasarkan kajian keserasian kata, kalimat, fāshilah (penutup ayat), ayat, kelompok ayat dan kelompok ayat yang lain, dan juga keserasian antar-surah. pada era klasik gerakan ini dimulai oleh Imam al-Biqā’ī dalam Nadhm Durar fī Tanāsub al-Āyāt wa al-Suwar, yang kemudian pada abad 14 H ini diangkat kembali oleh Syekh al-Marāghī (w 1371 H), diikuti dengan inovasi yang lebih sistematis oleh Syekh Sa‘īd Hawwā (w 1409 H) dalam karya al-Asās fī al-Tafsīr”, dan di Indonesia dipopulerkan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah.

Keempat, tafsir berdasarkan kesatuan tematik dalam surah atau yang mengkaji tema pembahasan tertentu dari beberapa ayat yang terkait, ia dikenal dengan uslub “tafsir maudhu’i”, gerakan tafsir ini dipelopori oleh Dr. Muhammad Abdullah Darraz (w 1377 H) dalam kitabnya al-Naba’ al-Azhīm terbit tahun 1957 M yang menyajikan tafsir maudhu’ī surah al-Baqarah secara lengkap, diikuti oleh Syekh Muhammad al-Ghazālī (w 1996 M) yang menulis tafsir maudhuī lengkap seluruh surah Alquran dengan nama Nahwa Tafsīr Maudhūiyīn li Suwar al-Qur’ān.

Kelima, tafsir yang berusaha menginduksi lafal-lafal Alquran di berbagai letaknya secara runtut dalam Alquran untuk mendapatkan makna dan rahasia ayat sembari mempertimbangkan gaya bahasa dan konteks ayat, baik secara khusus maupun secara umum. Hal ini yang kemudian dikenal dengan nama al-manhaj al-bayānī.

Metode ini dicetuskan oleh Prof. Amīn al-Khūlī (w 1385 H) dalam kitabnya Manāhij al-Tajdīd fī al-Nahw wa al-Balāghah wa al-Tafsīr”, dan dipraktikkan oleh murid sekaligus istri beliau yaitu Prof Āisyah bint Syāthi’ (w 1998 M) dalam al-Tafsīr al Bayān li al-Qur’ān al-Karīm, dan juga digunakan oleh Prof. Fadhil Shālih al-Sāmirā’ī (lahir 1933 M) dalam Alā Tharīq al-Tafsīr al-Bayānī” yang sudah terbit 4 jilid.

Baca Juga  Sosok Sayyidah Khadijah dalam Kitab al-Busyra Karya Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki

Keenam, tafsir yang berusaha menyajikan tafsirnya berdasarkan urutan turunnya surah (tartīb nuzūlī) demi menghasilkan makna dengan menghadirkan suasana turunnya Alquran dalam periode dakwah Nabi, Pola ini dikenalkan pertama kali oleh Syekh Muhammad Izzah Darwazah (w 1404 H) dengan Tafsīr al-Hadīst, dan di abad 15 ini digunakan oleh Syekh Habannakah al-Maydānī (w 1425 H) dalam Ma’ārij al-Tafakkur wa Daqāiq al-Tadabbur dan Dr. M. Ābid al-Jābirī (w 2010 M) dalam al-Tafsīr al-Wādhih.

Ketujuh, tafsir yang berusaha menyingkap ragam maqāshid dan tujuan Alquran, baik yang umum maupun khusus dengan mengeksplorasi makna-makna kebahasaan, serta konteks mikro dan makro ayat. Tafsir ini dikenal dengan tafsīr maqāshidī. Gerakan ini dipelopori oleh Syekh Thāhir Ibnu Āsyūr (w 1393 H/ 1973 M) dalam al-Tahrīr wa al-Tanwīr“, dan Indonesia mulai diperkenalkan oleh Prof. Dr. Mustaqim dalam kitab al-Tafsīr al-Maqāshidī: al-Qadhāyā al-Mu‘āshirah fī Dhaw’ al-Qur’ān wa al-Sunnah.

Kitab setebal 114 halaman ini menjelaskan masalah-masalah kontemporer yang harus dipahami oleh umat Islam di seluruh dunia, dalam rangka menciptakan kehidupan yang layak dan ideal antar-umat beragama, seperti wasathiyyat al-Islām (moderatisme Islam), amar ma’rūf nahi munkar “tanpa kekerasan”, kepemimpinan yang bertanggung jawab di hadapan Allah dan rakyat, naluri seksual, interaksi dengan non-Muslim dan toleransi, interaksi dengan lingkungan, problem pakaian wanita, keutamaan bekerja yang halal, fenomena hoaks, dan tentang kecurangan dan suap.

Kitab ini menggabungkan kajian Alquran dan hadis untuk menjelaskan tema-tema yang dipilih, dengan menggunakan sistematika “tafsir ijmālī” yaitu menjelaskan makna ayat secara global dengan terkadang dikuatkan dengan rujukan beberapa kitab tafsir yang muktabar, untuk menghasilkan makna yang komprehensif dikaitkan dengan maqāshid syariah. Kitab ini dengan cermat menggabungkan uslūb tafsir ijmālī dan maudhū’ī dalam satu kajian.

Baca Juga  [Cerbung] Bukan Cinta Cleopatra – Bagian Ketujuh

Pemikiran-pemikiran Prof. Abdul Mustaqim yang dituangkan dalam kitab ini sangat aktual-kontekstual dan mewakili semangat moderatisme Islam yang digaungkan di dunia Islam pada tahun-tahun terakhir ini. Ini sekaligus juga bukti bahwa ulama Indonesia juga ikut serta dalam memasyarakatkan moderatisme Islam di dunia. Secara khusus, pemikiran Prof Abdul Mustaqim dalam beberapa tema sangat tegas dalam menentang pemikiran kaum liberal, misalnya ketika beliau menolak legalisasi LGBT (hal 29), juga tegas menentang pemikiran konservatif, misalnya ketika beliau menolak “al-niqāb” dalam pakaian muslimah dan mengatakan bahwa itu hanyalah adat (hal 67).

Lain dari itu, saya sangat beristifadah dari kitab ini, ketika membaca pandangan Prof Abdul Mustaqim ketika menerangkan tentang pentingnya hifz al-bīah” (menjaga lingkungan) dan memasukkannya sebagai salah satu maqāshid syariah yang juga harus diperhatikan (hal 59).

Di samping alasan-alasan rasional yang beliau sampaikan ketika menerangkan kenapa pedagang Muslim zaman dulu berhasil mengenalkan Islam yang ramah dan toleran (hal 75).

Saya berharap kitab ini menjadi pintu gerbang kajian-kajian tafsir maqāshidī di Indonesia, sehingga pesan-pesan Alquran yang belum tersingkap bisa segera diberdayakan dari makna-makna lafal dan konteks ayat dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat dan menolak mafsadah bagi mereka.

Catatan Bedah Kitab al-Tafsīr al-Maqāshidī pada Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UINSA 13 Agustus 2020.

Editor: MZ

M. Afifudin Dimyathi Pengasuh PP Darul Ulum Rejoso Jombang; Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya; Alumnus Universitas al-Azhar Mesir dan Universitas Neelain Sudan