Jejak jihad kiai dan santri melawan penjajah begitu benderang. Kisah lesan tersebar, pun bertumpuk karya mengulasnya. Semisal KH. Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) menjelaskan peran spiritual Kiai Subeki, Temanggung. Sewaktu revolusi, pejuang dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur meminta digembleng dan disuwuk bambu runcingnya.
Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (edisi 2020) menukil Syeikh Yusuf Makasar tokoh tarekat Khalwatiyah juga Syattariyah dan Naqsyabandiyah bersemangat melawan penjajah. Demikian pula Syekh Abdussamad dari tarekat Sammaniyah yang gigih menghadapi Belanda di Palembang. Beliau juga menulis surat kepada Hamengkubuwono I dan putra Amangkurat IV agar berjihad melawan Belanda.
Kiai Mahfudz Sumolangu, figur fenomenal sekaligus dianggap “kontroversial”. Tokoh Hizbullah-Sabilillah di kawasan Kedu ini mempunyai pasukan Angkatan Oemat Islam (AOI). Beliau memimpin ribuan pasukan melawan NICA. Kontroversialnya beliau dianggap pemberontak dalam narasi sejarah militer karena ada “kesalahpahaman” (www.nu.or.id).
Masih banyak lagi jejak para ulama yang melakukan jihad non-fisik atau gabungan dengan jihad fisik seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Wahab Chasbullah, KH Wahid Hasyim, KH Agus Salim, KH Mas Mansur, KH. Bisri Syansuri, KH Zainul Arifin, KH Idham Chalid, KH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid serta sederet ulama lain.
Merawat “Api Asa” Santri
Mengutip Ronald Lukens-Bull dalam A Peaceful Jihad Negotiating Identity and Modernity in Muslim Java (2005), jihad damai berupa usaha menegosiasikan perubahan global melalui pendidikan, dakwah, dan pengembangan komunitas. Model jihad demikian tepat untuk memahami dan mengkontekstualisasikan semangat jihad santri di saat pandemi.
Kalau membuka google dengan kata kunci santri dan corona, muncul puluhan berita santri yang positif covid-19. Lalu disiarkan adanya klaster pesantren. Informasi seperti itu bisa menjadikan sebagian santri dalam posisi “minder”, walau bagi yang lain justru sebagai pelecut.
Mengutip Wamenag Zainut Tauhid, 1400 santri di 27 pesantren tersebar di 10 propinsi yang positif, dan 900 santri sudah sembuh, sisanya dalam perawatan. Ada 1 santri, 1 kiai, dan 1 bunyai yang wafat karena covid-19.
Sangat penting menjaga “api asa” santri sebagai bagian dari ujung tombak Islam ramah dan rahmah di masa depan.
Santri bagian tidak kecil dari porsi gen Y dan gen Z di NKRI. Jumlah pesantren yang terdata di 34 propinsi adalah 28.194. Sedang madrasah diniyah (tempat ngaji klasikal santri) berjumlah 84.966. Kalau lembaganya puluhan ribu, maka santrinya tentu jutaan. Dari data ini juga mengindikasikan santri yang sehat lebih banyak.
Sebenarnya awal kedatangan santri ke pondok pesantren setelah sekian bulan berada di rumah adalah manifestasi semangat jihad. Mudik terlalu lama pasti ada yang merasa berat saat kembali ke pondok. Tidak hanya itu, ketika di pondok dia harus menjalankan protokol kesehatan seperti rapid test hingga isolasi di asrama masing-masing.
Belum lagi para santri lebih dibatasi ruang geraknya dibanding saat sebelum corona yang juga telah dibatasi. Tentu ini adalah sebentuk jihad yang tidak enteng bagi jiwa muda santri. Lebih dari itu, santri juga harus beradaptasi seperti cuci tangan pakai sabun dengan frekuensi lebih. Pun santri saat belajar ke madrasah harus memakai masker.
Sewaktu corona, santri disarankan berolahraga seperti pencak silat, sepak bola, bulutangkis dan olahraga pisik lainnya sesuai sarana dan peraturan pondok. Kesemuanya agar kesehatan fisik dan psikis terjaga.
Anis Bakhtiar dalam disertasinya Silat dan Mental Health (2020) menjelaskan, aktivitas fisik akan mempengaruhi kesehatan psikis. Kesehatan emosional ditingkatkan melalui partisipasi dalam aktivitas fisik. Aktivitas fisik mengurangi kecemasan, mengurangi depresi, meningkatkan harga diri, dan meningkatkan kemampuan untuk menanggapi stres.
Sekalipun olahraga fisik juga diberi porsi di saat corona untuk menunjang kesehatan psikis, penting menjaga agar santri tetap gembira di luar olahraga fisik, sehingga daya imunitas meningkat. Untuk itu, digelar “hiburan” ala pesantren seperti rebana.
Menariknya, lagunya tidak konvensional ala hadrahan, tapi ditambahi lagu seperti Ya Lal Wathan, Mars Banser, juga lagu tradisional seperti Sluku Sluku Bathok, Turi Putih dan lain-lain.
“Hiburan” lain adalah setelah Subuh dan Isya mereka melagukan hafalan bait-bait tata bahasa Arab seperti dalam Alfiyah dan Imrithi dalam bentuk nada lagu seperti Balonku Ada Lima, Anak Kambing Saya, Sayonara, Gundul Gundul Pacul, Happy Birthday to You, dan kreativitas nada lagu terkenal lain.
Jihad lain dari santri adalah memupuk dan menjaga agar kesehatan spiritualnya terjaga dan semakin kuat. Untuk itu, di beberapa pesantren ditambah porsi berbagai ritual sesuai yang ditentukan oleh para kiainya. Ada ratiban, ada tirakatan, dan tidak lupa rutin sebelum sholat berjemaah membaca sholawat Tibbil qulub dan doa lainnya, serta sehabis berjemaah membaca doa tolak bala dari KH. Hasyim Asyari.
Tidak hanya pesantren di bawah naungan NU, pesantren yang berafiliasi ke Muhammadiyah dan ormas Islam lainnya juga melakukan hal yang sama tapi berbeda kegiatan. Tiga pesantren Muhammadiyah di Paciran Lamongan juga menjalankan protokol kesehatan dan tentu melakukan doa memperkuat batin.
Santri tangguh adalah penting, maka tepat, menyambut hari santri pada 22 Oktober 2020, Ikatan Pesantren Islam (RMI) meluncurkan logo Hari Santri yang ditandai dengan gambar dua santri bermasker dengan semboyan, “Santri sehat, Indonesia kuat”.