Genap tujuh tahun perang Yaman pada Maret 2022 nanti. Inilah perang yang sejak Maret 2020 bisa diakses di youtube semisal di “al-i’lam al-harbi” yang ditonton 5,8 juta orang lebih. Tanpa bermaksud memihak, penting untuk mengulas-memilah konflik Yaman.
Sunni vs Syiah?
Media online di Indonesia di awal perang (2015) memberi judul provokatif, “Arab Saudi serbu Yaman, fase baru Sunni lawan Syiah”. Tidak hanya pada 2015 terjadi labelling sektarian, hingga 2022 masih bisa dilacak di jurnal maupun berita, baik di Indonesia dan dunia tentang Yaman yang framing demikian.
Menyebut perang Yaman sebagai perang Sunni vs Syiah adalah gebyah uyah. Kenyataannya, pada 2022 ini, koalisi hanya tersisa Saudi dan Uni Emirat. Namun nampaknya Amerika (mungkin Israel) juga ikut “cawe-cawe”. Walaupun pada Februari 2021 Joe Biden mengakhiri dukungannya untuk Saudi di Yaman (apnews.com). Biden juga mengatakan berhenti pasok senjata ke Saudi.
Namun data Dephan AS terkonfirmasi, pengiriman senjata berjalan terus seperti dilansir situs Amerika berhaluan kiri, mintpress news pada akhir 2021 (parstoday.com). Jerusalem Post memuat artikel, Israel should act preemptively against Houthis to avoid attacks (2022) yang menyebut, agresivitas organisasi Syiah (Houthi) menjadi perhatian Israel.
Israel harus bertindak terhadap Houthi untuk melemahkan secara militer (jpost.com). Mohammad al-Dailami mengatakan, Israel telah hadir di perairan Yaman seperti di Hanish, Mayun, dan Socotra (tehrantimes.com). Tentu Amerika dan Israel bukan negara Muslim, apalagi Sunni.
Menggambarkan perang Yaman seperti tulisan Con Coughlin adalah keliru. Editor di harian The Telegraph ini pada 2015 menulis artikel berjudul, Yemen is a battlefield for Saudi Arabia and Iran. Dia mengatakan, “Persaingan sengit antara para penganut fanatik Sunni dan Syiah kini telah muncul sebagai konflik yang menentukan di kawasan itu.”
Statemen Coughlin bisa dikritisi mulai dari judul artikelnya. Pada awal perang bukan hanya Saudi, tapi koalisi 10 negara. Sedangkan pihak Iran tidak tersiar kabarnya. Bernadette Meehan, Dewan Keamanan AS mengatakan, Iran tidak memiliki komando dan kontrol atas Houthi (huffingtonpost.com). Cameron Glenn menulis bahwa Komandan Pengawal Revolusi, Ali Jafari mengatakan “Bantuan Iran berada pada tingkat nasihat dan dukungan spiritual” (wilsoncenter.org). Hal yang mungkin, Iran membantu terkait teknologi dan strategi untuk Ansharullah.
Simplifikasi Coughlin semakin terdetekasi bila membaca artikel Aisha Jumaan, konsultan independen asal Yaman yang tinggal di AS. Dalam artikelnya, Deconstructing the Saudi Narrative on the War in Yemen (2022) dia menjelaskan, mayoritas jurnalis dan pejabat AS menyebut pemerintah yang dipimpin Ansharullah sebagai “pemberontak Houthi” dan menggambarkan mereka yang memonopoli.
Padahal pemerintah di Sana’a saat ini terdiri dari koalisi: Dewan Politik Tertinggi termasuk Ansharullah dan Dewan Rakyat Umum (partai besutan Ali Abdullah Saleh). PM pemerintahan Sana’a adalah Abdel-Aziz bin Habtour, dari Yaman Selatan dan pernah ditunjuk Presiden Hadi sebagai gubernur Aden pada akhir 2014. Hisham Sharaf saat ini menjadi Menlu: pernah menjabat menteri di berbagai pemerintahan mulai tahun 2011.
Kompleksitas afiliasi di Yaman akan semakin terlihat bila mengutip Andrea Carboni, garis patahan di Yaman sangat kabur dan sulit untuk mengatakan siapa memerangi siapa. Setiap kelompok memiliki banyak faksi, dan terkadang saling bertarung. Carboni menyinggung aliansi yang tidak biasa muncul di Yaman, pepatah lama “the enemy of my enemy is my friend” adalah kenyataan. Perang menyatukan Salafi dengan Separatis Selatan. Kemitraan erat juga telah ditempa antara koalisi yang dipimpin Saudi dan teroris Al-Qaida untuk memerangi Houthi (themedialine.org).
Dengan demikian, menyimpulkan di Yaman terjadi perang Sunni vs Syiah adalah kesalahan dan riskan. Secuil kebenaran tentang isu sektarian di Yaman hanya pada konflik Syiah Zaydiyah vs Salafi di Dammaj. Sama’a Al Hamadani, peneliti di George Town University dalam artikel, Understanding the Houthi Faction in Yemen (2019) mengatakan, kelompok Houthi ingin “menghidupkan kembali” Syiah Zaydiyah, dan bertujuan untuk melawan kehadiran Wahhabi di Sa’dah yang meningkat, Yaman Utara, dan khususnya di kota Dammaj.
Felice Friedson dkk. dalam artikel, The Damage of Dammaj: How Sectarian Tensions Fuel ISIS in Yemen (2018) mengutip pendapat Vom Bruck, Saudi berusaha menggunakan pengaruhnya di Sa’dah dengan membuka sekolah Salafisme di Dammaj pada 1980-an. Kepalanya adalah Muqbil bin Hadi yang mengubah kota itu menjadi tempat ziarah ribuan siswa seluruh dunia. Pada 2011, Houthi yang tinggal di sekitar Dammaj menuduh kelompok ini menyelundupkan senjata. Houthi menuntut agar Salafi menyerahkan senjata. Begitu tidak terjadi, Houthi mengepungnya dan terjadi bentrokan (jpost.com).
Geopolitik & Bisnis
Walhasil, totalitas perang Yaman adalah kompleks. Ian Black menulis artikel yang konklusinya bisa dipertimbangkan, walau judulnya “berbau” sektarian, Sunni v Shia: why the conflict is more political than religious (2015). Dia menyimpulkan, konteks geopolitiklah yang membuat konflik ini bernuansa sektarian, bukan sebaliknya (theguardian.com).
Isa Blumi dalam bukunya, Destroying Yemen: What Chaos in Arabia Tells Us about the World (2018) menegaskan, perang saat ini, sebenarnya bukan respons terhadap pengaruh “Iran”, tema yang banyak dipasarkan di media Arab dan Barat. Perang yang terjadi sebenarnya respons terhadap dinamika ekonomi politik yang berubah di Yaman.
Apa yang terjadi mengancam kelangsungan proyek investasi, yang sebagian besar dimulai sejak penggulingan rezim Saleh pada 2011. Terdeteksi, dengan perang ini bagaimana para investor Qatar, Emirat, dan Saudi memberikan uang dan pengaruh di belakang aktor-aktor politik yang bersaing yang bersedia berkontribusi pada kehancuran Yaman.
Akhirulkalam, perang Yaman merenggut 377.000 nyawa lebih. Korban anak lebih dari 2000, sekolah dan rumah sakit banyak yang hancur, 11,3 juta anak membutuhkan bantuan. Yaman ditaksir rugi Rp. 700 trilyun. World Bank menjelaskan, Yaman menderita krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Perang hanya menguntungkan penjual senjata.
War Child menuduh produsen senjata Inggris mengambil keuntungan dari kematian anak-anak (Middle East Monitor). Koran milik Saudi, Asharq al-Awsat pada Maret 2018 mengutip dubes AS untuk Yaman, Matthew Tueller bahwa pedagang perang semakin kaya.
Menolak narasi konflik di Yaman sebagai konflik sektarian adalah penting agar tidak menambah kebencian antar kelompok. Dengan menolaknya, analisis tidak melenceng, dan yang terpenting, tidak “tersandera” sekat ideologis yang membuat tercekat untuk menyuarakan kepedihan dan keadilan bagi rakyat Yaman. (MMSM)