Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Kriteria Memilih Pemimpin dalam Tembang Gundul-Gundul Pacul

2 min read

Sunan Kalijaga

Proses islamisasi yang dilakukan oleh Walisongo pada abad ke-15 telah banyak mewariskan berbagai hal, di antaranya bangunan arsitektural, kesenian, sastra, dan budaya-budaya yang telah melalui proses akulturasi.

Salah satu warisan kesusastraan Walisongo adalah banyaknya tembang-tembang yang mereka tulis di mana tembang-tembang tersebut memiliki makna filosofis berupa pesan-pesan moral, sosial, dan keislaman. Salah satu tembang Walisongo yang hari ini masih sering dinyanyikan adalah tembang Gundul-Gundul Pacul.

Pada tulisan sebelumnya penulis mengatakan bahwa syair-syair yang ditulis oleh Walisongo merupakan sebuah ekspresi kesusastraan yang mempunyai peran cukup penting dalam dakwah Walisongo. Tembang-tembang tersebut merupakan produk dari benturan budaya antara Islam dan tradisi lokal yang ada di Nusantara pada waktu itu.

Tembang Gundul-Gundul Pacul bukanlah sebuah tembang yang asing kita dengar, sama halnya dengan tembang Lir-Ilir yang sudah familiar sekali di telinga kita. Salah satu karya Sunan Kalijaga tersebut merupakan sebuah tembang dolanan (permainan).

Ia dikatakan sebagai tembang dolanan karena biasanya tembang itu dinyanyaikan oleh anak-anak ketika bermain di sore hari bersama teman-temannya. Namun, siapa sangka tembang yang hanya dianggap sebagai tembang dolanan ini mempunyai pesan-pesan filosofis yang cukup mendalam.

Makna Tembang Gundul-Gundul Pacul

Mengutip dari situs Badan Kepegawaian Dearah DIY (bkd.jogjaprov.go.id), tembang Gundul-Gundul Pacul merupakan karya Sunan Kalijaga yang ditulis pada tahun 1400-an. Selain sebagai tembang dolanan, biasanya tembang ini juga dinyanyikan dalam kegiatan selawat.

Selain tujuannya untuk berdakwah, tembang itu juga untuk memperkenalkan warisan Sunan Kalijaga. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, tembang ini mempunyai pesan-pesan moral yang cukup mendalam. Berikut ini adalah lirik serta makna dari tembang gundul-gundul pacul.

Gundul-gundul pacul-cul, gembelengan

(Anak kecil kepala botak yang banyak tingkah)

Nyunggi-nyunggi wakul-kul, gembelengan

(Membawa bakul nasi di atas kepalanya dengan banyak tingkah)

Wakul ngglimpang segane dadi sak latar

(bakul nasinya jatuh berserakan sehalaman, ke mana-mana)

Wakul ngglimpang segane dadi sak latar

(Bakul nasinya jatuh berserakan sehalaman, ke mana-mana)

Mengutip dari tulisan Davia Faringgasari, “gundul” bermakna botak, artinya kepala tanpa rambut. Di sini kepala merupakan sebuah simbol kehormatan seseorang, sedangkan rambut adalah simbol yang menghiasi kepala. Sehingga, gundul dapat diartikan sebagai kepala tanpa mahkota, sedangkan kata “pacul” merupakan sebuah alat bertani sehingga sangat identik dengan rakyat kecil.

Baca Juga  Menjalani Hidup Ideal menurut Stoikisme

Ada juga yang berpendapat bahwa “pacul” merupakan singkatan dari papat kang ucul (empat yang lepas), yang dimaksud empat di sini adalah mata, hidung, telinga, dan mulut yang baik. Sehingga jika, keempat unsur tersebut lepas atau hilang, maka hilanglah kehormatannya.

Selanjutnya adalah “gembelengan”, yang memiliki arti sombong dan besar kepala. Sehingga, makna bait pertama dalam tembang ini adalah, apabila seorang pemimpin telah kehilangan empat hal di atas, maka kesombongan akan ia tampakkan dalam kekuasaannya.

Pada lirik kedua, “nyunggi wakul” (tempat nasi) adalah tindakan meletakkan tempat nasi di atas kepala. Nasi merupakan makanan pokok masyarakat. Oleh sebab itu, sebagai tempat nasi yang diletakkan di atas kepala, nyunggi wakul bermakna bahwa kesejahteraan rakyat harus lebih utama dibanding kepala atau pemimpin itu sendiri.

Jika disimpulkan maka pada lirik kedua ini mempunyai makna seorang pemimpin harus menjalankan amanah agar dapat menyejahterakan rakyatnya dan pemimpin tersebut tidak gembelengan (sombong).

Pada lirik ketiga, “wakul ngglimpang segane dadi sak latar” (bakul nasi yang di atas kepala terjatuh). Wakul tersebut melambangkan amanah rakyat yang telah terjatuh akibat kesombongan para pemimpin.

Nasi yang berada dalam wakul jatuh berserakan di mana-mana, yang melambangkan kekayaan dan kesejahteraan rakyat tidak dapat dikondisikan dengan baik. Oleh sebab itu, jika seorang pemimpin mempunyai sifat sombong serta tidak amanah, maka yang menjadi korban adalah kesejahteraan rakyat menjadi terbengkalai.

Pesan dalam Tembang Gundul-Gundul Pacul

Secara umum, tembang Gundul-Gundul Pacul menggambarkan karakter dan budaya masyarakat Nusantara seperti bertani dengan menggunakan pacul; nyunggi wakul (membawa bakul nasi) yang merupakan hal lumrah yang dilakukan perempuan-perempuan di pedesaan. Namun, secara spesifik tembang tersebut mempunyai pesan yang ingin disampaikan kepada para pemimpin dan calon pemimpin.

Baca Juga  Festival HAM 2021: Sebuah Ikhtiyar Untuk Memajukan HAM di Indonesia

Pesan tersebut di antaranya: Pertama. Keijaksanaan. Jika diibaratkan anggota tubuh, maka pemimpin adalah kepala yang punya empat anggota tubuh lainnya seperti mata untuk melihat kesengsaraan rakyat, telinga untuk mendengar kritik, mulut untuk memberi keputusan yang adil, dan hidung untuk mencium kebenaran dan kejahatan. Oleh sebab itu, untuk menjadi pemimpin yang bijaksana seorang pemimpin harus bisa menggunakan empat bagian tersebut secara maksimal.

Kedua, tidak sombong. Seorang pemimpin harus menghindari sifat sombong. Pesan yang kedua ini memiliki korelasi dengan yang pertama. Seorang pemimpin harus menggunakan empat anggota tubuh yang ada di kepala dengan baik. Jika pemimpin memiliki sifat sombong dengan merasa besar kepala, maka ia tersebut tidak akan mau menerima kritik dari siapa pun karena merasa berkuasa atas kepemimpinannya.

Ketiga, amanah. Seorang pemimpin atau calon pemimpin harus memiliki sifat amanah. Hal ini dikarenakan seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab yang besar. Jika seorang pemimpin tidak menjalankan tanggung jawabnya dengan baik, maka akibatnya adalah hilangnya kepercayaan rakyat dan dapat menimbulkan kesengsaraan terhadap rakyat.

Ketiga pesan yang terdapat dalam tembang gundul-gundul pacul diatas dapat dijadikan sebagai nasihat kepada para pemimpin hari ini maupun sebagai kriteria dalam memilih pemimpin yang akan datang. Jika seseorang tidak memiliki kriteria tersebut tentu saja akan dapat menyengsarakan rakyatnya. Wallahualam [AR]

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta