Wahidah Zein Br Siregar Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kelembagaan UIN Sunan Ampel Surabaya

Idul Fitri dan Beragam Sikap Menghadapi Pandemi

4 min read

Setiap orang tentu memiliki pengalaman yang berbeda tentang hari raya Idul Fitri. Mengapa demikian? Sebab, setiap individu adalah ciptaan Allah yang sangat unik. Lahir dan besar di keluarga yang berbeda, di lingkungan dan budaya yang berbeda. Sehingga, cara-cara atau tradisi merayakan Idul Fitri tentu berbeda pula. Termasuk makanan yang disajikan pada hari yang istimewa tersebut.

Di Binjai, misalnya tempat saya lahir dan dibesarkan, hampir semua rumah akan memasak lontong sayur pada hari itu. Tidak ketinggalan rendang ayam atau daging sapi yang menemaninya. Pokoknya pada tanggal 1 Syawal siap-siap saja menyediakan perut yang longgar, sebab ke rumah kerabat yang mana saja anda akan berkunjung, tuan rumah akan meminta anda merasakan lontong yang dimasaknya.

Tentu saja ada hal-hal yang sama juga, terjadi karena tuntunan agama. Bahwa shalat Idul Fitri bisa dilakukan di lapangan terbuka atau di masjid, dilakukan dengan dua rakaat. Tujuh takbir di rakaat pertama dan lima takbir di rakaat kedua. Ada pula khutbah setelah sholat. Akan tetapi, makna yang mereka peroleh, sensasi yang mereka rasakan saat dan setelah melaksanakan sholat tersebut bisa berbeda. Hanya individu-individu tersebut yang dapat menjelaskannya. Tentu Allah pula yang maha tahu. Tidak ada yang bisa kita sembunyikan dariNya. Sebab Dia amatlah dekat.

Sebuah kejadian yang sama terjadi pada banyak orang pada saat ini, pandemi COVID-19, menghasilkan pandangan yang berbeda-beda pula di antara individu-individu atau kelompok di masyarakat. Lihatlah bagaimana perbedaan pandangan individu-individu terhadap kejadian ini. Saya memperhatikan paling tidak ada lima jenis perbedaan pandangan.

Yang pertama adalah mereka yang menganggap pandemi ini adalah masalah yang serius. Mereka lalu menetapkan protokol yang ketat pada diri dan keluarganya. Selalu memakai masker bila bertemu dengan orang lain, mencuci tangan jika sudah memegang benda-benda tertentu yang sudah dipegang oleh orang lain, bahkan segera mandi dan mencuci pakaian yang dikenakan ketika habis bepergian keluar rumah. Mereka ini menjadi sangat gundah jika melihat orang lain tak mengikuti protokol Covid-19.

Baca Juga  Rahasia Memiliki Kehidupan yang Bahagia

Kedua adalah mereka yang cuek-cuek saja dengan pandemi ini. Katanya semua yang terjadi adalah takdir Allah. Ada pandemi atau tidak setiap orang pasti akan mati. Tidak ada yang bisa menghindari kematian. Meminta mundur atau meminta maju, bahkan sedetik saja. Jika kematian akan datang, maka tidak ada yang bisa menolaknya. Hanya orang-orang tidak beriman kepada Allah saja yang takut akan kematian. Jelas sekali salah satu rukun iman adalah percaya kepada takdir. Orang ini tertawa terbahak-bahak ketika melihat mereka yang sibuk dengan protokol COVID-19. Mereka ini berperilaku sama saja dengan sebelum hadirnya virus Corona ke muka bumi.

Ketiga adalah mereka yang berpandangan pandemi ini kejadian yang mengerikan tetapi tidak perlu menghadapinya dengan penuh ketakutan. Ikuti saja semua protokol pandemi tersebut dengan santai. Jika sudah demikian, namun tetap berhadapan dengan virus Corona, maka serahkan saja hasil akhirnya kepada Allah. Akan tetapi, di tengah kesantaiannya sebenarnya dia menyimpan rasa kekhawatiran yang cukup besar, akankah dia berhadapan dengan virus Corona?

Keempat adalah yang berpandangan bahwa virus Corona dengan cara wait and see. Perasaannya akan tergantung pada suasana di sekelilingnya, terutama para penguasa di sekitarnya. Kalau hari ini para penguasa tersebut bilang harus hati-hati, ya dia ikut hati-hati. Kalau para penguasa bilang sudah bisa berdamai dengan virus Corona, yang dia ikut saja. Lah, mau gimana lagi,? Yang paling penting dirinya aman-aman saja. Apa yang terjadi nanti ya terjadilah, itu urusan nanti, buat apa capek-capek dipikirin sekarang.

Akan tetapi, dalam hati sebenarnya dia juga bingung mau ikut pandangan penguasa yang mana ya? Jumlah penguasanya banyak, dan pandangan mereka juga berbeda-beda. Yang satu pakai masker lengkap kalau di shooting TV yang satunya tidak pakai masker sama sekali. Yang satu kelihatan menjaga jarak dengan ajudannya, yang satu bahkan berdempetan bahu dengan anak buahnya.

Baca Juga  Pluralisme Gus Dur dan Urgensinya Terhadap Hubungan Antar Agama di Indonesia (2)

Yang kelima adalah mereka yang siap mengikuti para ahli tentang virus Corona ini. Para dokter atau perawat yang menangani pasien yang terkena COVID-19, yang menceritakan pengalaman mereka ketika menjalankan tugasnya, memberi bantuan medis pada para pasien COVID-19 tersebut. Terdapat juga para peneliti, para ahli mikro biologi yang berusaha memahami sifat-sifat virus ini, berusaha mencari tahu apa kelemahan virus ini disamping kekuatannya. Ada juga ahli farmasi dan kimia yang berusaha mencari obat dan vaksin untuk virus yang berbahaya ini, berukuran kecil tetapi membuat panik seantero dunia. Mereka yang berada pada posisi ini akan cenderung protektif dan berusaha mencegah kehadiran virus ini di lingkungannya.   

Di hari raya Idul Fitri ini, mereka-mereka dengan pandangan yang berbeda-beda ini kemudian diminta untuk bertemu. Ada undangan datang lewat group WhatsApp, begini bunyinya: “dikarenakan kita semua tidak boleh mudik, maka kita usahakan untuk tetap bergembira di hari raya Idul Fitri. Besok setelah sholat di rumah masing-masing, maka mari kita berkumpul bersama, di sekitar taman, walau hanya sekejap. Pakailah masker. Kita akan makan ketupat sayur yang sudah disiapkan oleh ibu-ibu. Tidak perlu bersalam-salaman. Habis makan segera pulang ke rumah masing-masing”.

Bagaimana reaksi yang muncul di kalangan orang-orang tersebut? Tentu bisa ditebak. Mereka yang berada pada posisi pertama memilih tidak memenuhi undangan itu. Mereka yang berada pada posisi kedua, senangnya bukan main dengan undangan itu. Katanya, dia sudah tidak sabar untuk mengikuti acara. Mereka yang berada pada posisi ketiga, juga bilang akan hadir di undangan tersebut. Dia berbaik sangka bahwa dengan mengikuti protokol COVID-19 tidak akan terjadi apa-apa padanya. Meskipun di lubuk hati yang paling dalam ada juga rasa takut bagaimana di tengah keramaian itu ada virus Corona. Tetapi pikirannya tentang ketupat sayur menghilangkan suara dari lubuk hatinya.

Baca Juga  Seorang Ahli Alquran yang Malah Menjadi Takfiri

Mereka yang berada pada posisi keempat belum menjawab undangan itu. Dia masih mau menonton TV dahulu, kalau ada penguasa yang diam-diam buat open house maka tak akan segan dia langsung menghadiri undangan itu. Mereka yang berada pada posisi ke lima sama sekali tak ingin hadir diundangan itu. Dia teringat pada para dokter dan perawat yang masih sibuk di rumah sakit. Sempat atau tidak mereka merayakan Idul Fitri, jangankan makan ketupat sayur, menelpon keluarga saja masih harus tergantung pada keadaan pasiennya.

Saya sendiri terus terang memilih tidak menghadiri undangan itu. Saya malah terheran-heran mengapa undangan seperti itu harus disebarkan di saat seperti ini. Tetapi saya tentu tak bisa menahan mereka yang menyebar undangan itu. Indonesia adalah negara yang demokratis karena jelas cirinya, setiap orang berhak mengeluarkan pendapat, juga berhak untuk bersyarikat atau berkumpul mendirikan organisasi. Namun saya tetap berusaha mencegah mereka untuk berkumpul, saya memberi komentar “mau mencoba-coba melawan pemerintah ya”. Tidak ada yang menjawab komentar saya. Tidak jelas juga bagaimana jadinya, apakah mereka yang menyebar dan menerima undangan tersebut, jadi makan ketupat sayur bersama-sama atau tidak.

Bagi saya, saya memilih untuk merasakan suasana hari raya Idul Fitri yang berbeda. Berhari raya Idul Fitri bersama sanak saudara sudah sering saya rasakan, berhari raya Idul Fitri hanya bersama teman di negeri orang sudah juga saya rasakan. Kini saatnya saya merasakan kesempatan yang diberikan Allah kepada saya, berhari raya Idul Fitri di rumah saja bersama keluarga inti: suami dan anak-anak saya. Bangga juga rasanya melihat suami saya memberi khutbah, ternyata bakat terpendam bisa muncul karena keadaan mendesak. Alhamdulillah, ya Allah. []

Wahidah Zein Br Siregar Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kelembagaan UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *