Ainur Rofiq Al Amin Dosen Pemikiran Politik Islam UINSA dan UNWAHA Tambakberas serta pengasuh Al Hadi 2 PP Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang

Polemik Cadar: Apa Benar Cadar Identik dengan Radikalisme-Terorisme?

3 min read

Menteri Agama yang baru, Fachrul Razi, menyatakan akan mengkaji pelarangan cadar. Dia melontarkan gagasan pembatasan penggunaan niqāb (cadar) dan celana cingkrang di instansi pemerintahan,  sipil, dan militer. Apa tujuannya?

Tujuan Menag adalah untuk menangkal radikalisme. DPR pun bereaksi, politikus DPR dari PAN dan PKS menyayangkan gagasan tersebut dan akan mempertanyakan dalam rapat kerja bersama Menag.

Identifikasi Radikal 

Supaya mempunyai persepsi yang sama, orang radikal dalam konteks Indonesia adalah mereka yang anti terhadap Pancasila, NKRI dan berideologi takfīrī yakni gampang mengkafirkan kelompok liyan yang beda pemahaman terkait fragmen ajaran agama. Saat ujaran pengkafiran yang penuh kebencian sering disuarakan, maka hal itu selangkah menuju tindakan terorisme. Dengan ciri tersebut, radikal tidak dalam katagori makna leksikal tapi terkait politik dan kedangkalan pemahaman agama.

Dengan makna yang demikian, mengkaji relasi cadar dengan radikalisme dan terorisme memerlukan elaborasi lebih lanjut. Kalau ditanya apakah cadar identik dengan radikalisme-terorisme?

Tentu kalau dikatakan identik dalam arti sama sebangun tidak berbeda sedikit pun, adalah identifikasi yang salah. Dalam konteks global, Yaman yang rerata perempuannya bercadar, namun mereka tidak disebut dan tidak menjadi radikal serta teroris, demikian pula di Saudi. Dalam konteks Indonesia, tetap salah kalau dikatakan cadar identik dengan radikalisme. Saya mempunyai teman bercadar, dan dia mengaku warga NU.

Sekalipun demikian, dengan menggunakan perspektif ciri terdekat, di Indonesia pada galibnya yang disebut teroris adalah seseorang yang relasi terdekatnya adalah kelompok kecil dan eksklusif dari masyarakat yang berbeda tampilan “aksesoris” fisik dengan mayoritas masyarakat. Beda tampilan “aksesoris” fisik perempuannya adalah cadar. Menelisik berita yang beredar, setelah era reformasi bergulir, terjadi fenomena munculnya pelaku bom bunuh diri di Indonesia, setelah digerebek rumahnya, ditemukan istrinya bercadar.

Dengan penjelasan di atas bisa dikatakan, para pelaku bom bunuh diri di bumi nusantara berkaitan erat dengan lingkungan famili eksklusif yang ciri luarnya adalah cadar. Sangat nadir atau  garib bila tidak demikian. Walhasil, famili eksklusif bercadar adalah ciri terdekat pelaku terorisme, namun tidak semua perempuan yang bercadar pasti radikal dan potensial menjadi teroris.

Baca Juga  Belajar Menjadi Muslim Pluralis dari Nabi Muhammad

Antara Legalitas Larangan dengan Kebijakan Antisipatif  

Karena wacana cadar dilekatkan dengan fiqih, dalam arti pemakaian cadar dan penentangan larangan wacana bercadar juga dalam ranah fiqih, maka menggunakan kajian  fiqih siyāsah (politik) adalah penting untuk memberi perspektif lain terkait gagasan larangan pemakaian cadar.

Bolehkah pemerintah melarang pegawai berpakaian tertentu, atau mengharuskan berpakaian tertentu juga? Dalam kaidah hukum Islam disebutkan, “hukm al-kim yarfa’u al-khilāf” atau kaidah “amr al-imām yarfa’u al-khilāf“, yakni perintah imam (pemimpin) itu menghilangkan silang sengkarut pendapat di kalangan rakyat. Artinya, dalam konteks berpakaian, pemimpin bisa memerintahkan pakaian tertentu dan bisa melarang pakaian tertentu.

Eks-HTI dalam kitab-kitabnya banyak mengutip kaedah di atas, bahkan dalam kitab Nim al-Islām karya Taqiyuddin an-Nabhani ditambahi jika seorang mujtahid (ulama) mempunyai pendapat dalam ajaran agama yang berbeda dengan mujtahid lain, maka mujtahid tersebut tidak boleh melepaskan pendapatnya kecuali apabila seorang imam (pemimpin) telah menetapkan hasil keputusan hukumnya, maka seluruh mujtahid harus melepaskan pendapatnya dan mengikuti pendapat hukum dari imam.

Dalam konteks Indonesia dan dalam kajian fikih politik, presiden adalah pemimpin yang secara fikih wajib ditaati karena dia adalah waliyyul amri, sehingga seperti dikutip oleh Andree Feillard dalam NU vis-à-vis Negara, pada tahun 1954, Menteri agama dan para alim ulama menggelar konferensi yang menghasilkan keputusan bahwa Presiden Soekarno adalah waliyy al-amr al-dlaruri bi al-syaukah, seorang kepala negara yang sah dan karenanya, ipso facto, harus dipatuhi semua umat Islam.

Dengan alur argumen di atas, pemimpin di Indonesia dalam kacamata fikih politik bisa melarang pegawai memakai pakaian tertentu semisal sarung, daster, celana pendek, kaos pada waktu jam kerja. Demikian juga pemimpin bisa melarang wanita bercadar dengan mengganti pakaian yang lain yang tetap dalam koridor etika Islam dan budaya sopan santun. Perlu diketahui, hukum memakai cadar dalam konteks fiqih adalah khilāfiyah (banyak pendapat) yang memungkinkan pemimpin memilih hukum yang relevan dengan konteks sosial-politik yang melingkupinya.

Baca Juga  Harmoni Agama dan Etika Global: Kontribusi Hans Küng dalam Membangun Dunia yang Damai

Sekalipun pemimpin bisa melakukan larangan dalam model pakaian, tapi harus tetap   diperhatikan motif larangannya apakah linier dengan akal sehat atau dalam kaedah fikih siyāsah seperti termuat dalam kitab Al-Asybāh wa al-Nadzāir karya Imam al-Suyuthi disebutkan  “tasharruf al-imām ‘alā al-raiyyah manūth bi al-mashlahah” yakni kebijakan (termasuk perintah dan larangan) pemimpin terhadap rakyatnya mengikuti asas kemaslahatan. Pertanyaannya, apakah sudah dilakukan kajian mendalam tentang maslahat tidaknya rencana larangan tersebut?

Lebih dari itu, apakah di instansi pemerintahan banyak pegawai bercadar yang berpotensi menjadi radikal-teroris? Dalam pembacaan saya, simpatisan kelompok radikal eks-HTI, banyak yang bekerja di instansi pemerintahan yang mereka anggap kufur seperti Indonesia. Dalam disertasi Umi Chaidaroh yang berjudul Fikih Perempuan Hizb al-Tahrir dijelaskan dalam sistem khilafah, perempuan haram menjadi kepala negara, gubernur, bupati, jaksa, militer, polisi,  hakim dan sejenisnya. Kalau dalam sistem khilafah saja haram, apalagi dalam sistem negara yang mereka nilai bukan khilafah. Sekalipun demikian, bagi simpatisan eks-HTI, menjadi buruh, tukang sapu,  dosen,  dokter,  guru, peneliti, perawat, pegawai BUMN dan lain-lain di instansi pemerintahan Indonesia adalah dibolehkan, tentu ini tindakan oportunis.

Namun perlu dipahami, tidak ada perempuan pengikut eks-HTI yang bercadar karena bagi mereka bercadar tidak wajib seperti dijelaskan Taqiyuddin an-Nabhani dalam  Al-Nizhām al-Ijtimāi fī al-Islām. Justru sebaliknya, dalam pembacaan pendek saya, perempuan yang melakukan tindakan terorisme tidak ditemukan yang berlatar pegawai pemerintahan. Hal ini karena mereka menolak tegas bekerja di sistem taghut.

Dengan demikian, melarang pegawai pemerintah yang bercadar dengan alasan untuk membasmi radikalisme adalah tidak tepat sasaran. Apalagi mengaca kepada peristiwa bom bunuh diri, tempat atau lokasinya di fasilitas umum bukan kantor pemerintahan, kecuali kantor kepolisian, namun di kepolisian juga tidak ada polwan aktif yang bercadar.

Baca Juga  Mengenali Metode Sokratik sebagai Pijakan Berpikir Kritis

Seandainya hendak dilakukan pelarangan, semisal dengan argumen sadd al-dzarīah (menutup celah potensial berbahaya), maka yang tepat lokasi larangannya adalah di tempat umum. Tentu larangan baru bisa diterapkan apabila sudah dilakukan studi mendalam.

 

Artikel ini juga dimuat di laman

https://alif.id/read/ara/polemik-cadar-apa-benar-cadar-identik-dengan-radikalisme-terorisme-b224162p/

Ainur Rofiq Al Amin Dosen Pemikiran Politik Islam UINSA dan UNWAHA Tambakberas serta pengasuh Al Hadi 2 PP Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang