Nur Faizin Pengasuh Pesantren Mahasiswi Bahrul Quran Merjosari Malang; Alumnus Ponpes Langitan Tuban dan Universitas al-Azhar Mesir

Ulasan Syair/Doa Penolak Wabah, Li Khamsatun

3 min read

لِيْ خَمْسَةٌ أُطْفِيْ بِهَا # حَرَّ الْوَبَاءِ الْحَاطِمَةْ
اَلْمُصْطَفَى وَالْمُرْتَضَى # وَابْنَاهُمَا وَالْفَاطِمَة
Aku mempunyai lima yang memadamkan panasnya wabah yang menghancurkan
Muhammad, Ali, dua putranya (Hasan dan Husain), dan Fatimah.

Di saat seluruh negara-negara di dunia sedang melawan pandemi Covid-19 ini, berbagai reaksi masyarakat muncul menanggapinya. Salah satunya adalah dengan doa-doa, termasuk doa yang berbentuk syair seperti bait doa di atas. Dalam kajian antropologis, doa bait itu disebut mantra. Mantra adalah susunan kata-kata yang berunsur puisi yang diyakini mempunyai kekuatan mistik atau gaib yang biasanya diucapkan oleh seseorang yang mempunyai kemampuan supra natural.

Penulis penasaran dengan dua bait syair yang dulu sempat penulis jiplak untuk jadi kaligrafi hiasan dinding sewaktu nyantri di Langitan. Penulis masih ingat, konon khasiat dua bait itu jika dipajang di dinding rumah, maka para penghuni rumah itu akan aman dari penyakit wabah (pagebluk: bahasa Jawa). Rasa penasaran itu bertambah saat mengetahui melalui media sosial yang berseliweran di Handphone bahwa dua bait itu pernah di-ijazah-kan oleh KH. Hasyim Asyari kepada KH. Romli Dimyati Rejoso, KH. Wahab Chasbullah, dan KH. Bisri Syansuri Denanyar sewaktu wabah melanda di masa itu.

Redaksi doa bait itu ternyata bermacam-macam, sejumlah redaksi penulis temukan sebagaimana berikut:

لِيْ خَمْسَةٌ أُطْفِيْ بِهِمْ # نَارَ الَّلظَى وَالْحَاطِمَة
لِيْ خَمْسَةٌ أُطْفِيْ بِهَا # نَارَ الْجَحِيْمِ الْحَاطِمَة
لِيْ خَمْسَةٌ أُطْفِي بِهِمْ # نَارَ الْكُرُوْبِ الْحَاطِمَة
لِيْ خَمْسَةٌ أُطْفِيْ بِهَا # حَرَّ الْوَبَاءِ الْخَاتِمَة

Untuk bait keduanya tidak ada perbedaan di antara redaksi-redaksi itu. (1) bermanka api neraka La dan yang menghancurkan (2) api neraka Jahīm yang menghancurkan (3) api bencana yang menghancurkan (4) panasnya wabah yang mengakhiri.

Baca Juga  Cak Nun, Pluralisme Agama, dan Gus Dur Kedua

Menurut informasi yang diterima penulis, dua bait doa itu termaktub dalam karya Syeikh Abdul Qadir al-Jilani (471-561 H) al-Du’ā’ al-Rabbānī yang dicetak dan diedit oleh cucu beliau, Syeikh Fadil al-Jilani. Selain itu, dua bait juga ditemukan dalam karya kumpulan Fatwa Ahmad Ridha Khan (w. 1340 H), pendiri aliran atau gerakan Barelwi di India, sebuah gerakan yang banyak diikuti di India bagian utara dan di Pakistan. Disebutkan disana bahwa dua bait mantra itu bermanfaat untuk menolak macam-macam sakit dan untuk mendapatkan wasilah serta pahala jika dibaca.

Dari aspek filologis, menelusuri asal-muasal “ijazah” memang tidak semudah menelusuri secara genealogis sebuah karya teks, sebab tranmisi ijazah dari lintas generasi sering bersifat tertutup, hanya kepada orang-orang tertentu saja dan tidak disampaikan untuk publik. Keberadaan aliran atau gerakan Barelwi ternyata juga mengadopsi tarekat Qadiriyyah sebagai kecenderungan sufistik mereka, sehingga apabila doa bait itu menjadi doa yang diajarkan dalam gerakan itu maka sangat tidak mengherankan. Sebagai pendiri NU, KH. Hasyim Asyari tentu juga sangat dekat dengan tarekat-tarekat yang telah tersebar dan dianut oleh kaum nahdhiyyin saat itu.

Keberadaan bait doa itu juga sering dikaitan dengan sababun nuzul atau konteks turunnya salah satu ayat di dalam al-Quran, yaitu QS. Al-Ahzab: 33.

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

Sayyidah Aisyah bercerita: Suatu hari, di waktu pagi, Rasulallah Saw pernah mengenakan selimut terbuat dari bulu berwarna hitam, kemudian datanglah Hasan, beliau pun merangkulnya ke dalam selimut itu, kemudian datanglah Husain, beliau pun juga menyelimutinya, lalu datanglah Fatimah dan beliau pun merangkulnya ke dalam selimut, kemudian datanglah Ali dan beliau juga merangkulnya ke dalam selimut tersebut. Rasulallah Saw kemudian membacakan ayat di atas (HR. Muslim). Dalam riwayat lain, beliau memohon kepada Allah Swt agar orang-orang yang ada dalam selimutnya itu dibersihkan dan disucikan dari segala bentuk rijs (kekejian, kotor, dan sejenisnya). Rasulallah Saw dan keempat keluarganya itulah yang kemudian dikenal dengan istilah Ahl al-Kisā’ (keluarga yang berselimut dengan selimut Rasulallah Saw).

Baca Juga  Makna Fi Sabilillah Sebagai Penerima Zakat dalam Q.S. al-Tawbah [9]: 60

Sejumlah ulama juga telah menulis biografi khusus untuk Ahl al-Kisā’ ini. Sebut saja misalnya Jalaluddin As-Suyuti dalam Risālat al-Kisā’ lah as-Suyuthi fī Khabar Ahl al-Kisā’ wa Fadhlihim, Khadir bin Athaillah al-Maushili dengan Bahjatul Julasā’ fī Ta’rīf al-Khamsah Ahl Kisā’, Hadits Ahl al-Kisā’ al-Khamsah, Qishshah Ahl al-Kisā’, dan lainnya. Meskipun karya ini kebanyakan masih berupa manuskrip yang belum diedit, namun judul-judul karya tersebut menunjukkan bahwa lima sosok itu memiliki posisi khusus dibandingkan keluarga-keluarga Rasulallah Saw yang lainnya.

Dari latar belakang kekeluargaan itulah tidak heran jika kemudian doa mantra itu dianggap bernuansa Syiah. Empat sosok (Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain) itulah yang selalu mendapatkan tempat khusus dalam sekte Syiah. Selanjutnya, kelompok atau aliran yang menggunakan doa mantra itu juga kemudian dianggap tasyayyu’ (kesyiah-syiahan), bahkan tarekat yang mengajarkannya juga diklaim telah disusupi ajaran Syiah. Seperti yang banyak kita temukan dalam tuduhan golongan Salafi terhadap aliran Sufi atau tarekat di dunia Islam ini.

Ditinjau dari segi Ilmu Arudh, doa bait atau mantra itu merupakan bait dengan bahar Rojaz yang wazan taf`ilah-nya adalah mustaf`ilun. Hanya saja disini dipakai yang majzu’ (setiap baitnya hanya terdiri dari empat taf’ilah). Jadi, mantra itu terdiri dari dua bait. Bahar Rojaz merupakan bahar yang paling banyak digunakan dalam syair-syair Arab klasik. Kata “وَالْفَاطِمَة” menggunakan al ta’rīf (modus definitif), jika ditinjau dari segi ilmu Nahwu (morfo-sintaksis), penggunaan itu kurang tepat, namun karena menyesuaikan wazan mustaf`ilun atau istilah umumnya disebut dharuratusy syi`r, maka menjadi tidak mengapa. Namun hemat penulis, secara ilmu Arudh, tanpa menggunakan al definitif pun sudah benar (taf`ilah terakhir makhbūnah, yaitu dielipsis konsonan penutup pertama dari taf`ilah mus/taf/`i/lun, menjadi mu/taf/`i/lun). Dengan kata lain, cukup “وَفَاطِمَة” saja. Akan tetapi, jika tetap ditambahkan al definitif seperti yang umum tertera juga tidak mengapa, apalagi jika dalam ijazah yang kita terima dari guru kita itu memang digunakan al definitif. Wal iyādzu billah min kulli syarr wa fitnah wa wabā’. [mz]

Nur Faizin Pengasuh Pesantren Mahasiswi Bahrul Quran Merjosari Malang; Alumnus Ponpes Langitan Tuban dan Universitas al-Azhar Mesir